Mohon tunggu...
Hestri Parahest
Hestri Parahest Mohon Tunggu... hobi menulis

coretan si miskin diksi dan intuisi

Selanjutnya

Tutup

Love

Sedih Sekeluarga, Ketika Ayah Dapat Panggilan Kerja

10 Oktober 2025   15:36 Diperbarui: 10 Oktober 2025   15:36 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang bapak rumah tangga (Sumber : Annushka Ahuja via Canva Pro)

Hari itu Vina datang ke rumah, menenteng sebuah kotak kue berisikan beberapa potong bolu buatan ayahnya.

"Makasih ya Vin. Ini yang bikin bolu ayahmu?" tanya saya.

"Iya mbak. Cobain to, ayahku kalau bikin bolu wuenak banget," ujarnya dengan raut berbinar, berharap saya mencicipinya.

Saya lalu mengambil sepotong dan memakannya. Masya Allah, enak sekali ternyata. Aroma vanila dan menteganya begitu wangi, teksturnya lembut, dan manisnya juga pas. Tak kalah dengan bolu yang dipajang di toko-toko roti ternama.

Vina adalah putri sulung Pak Hadi, tetangga sebelah rumah kami. Pak Hadi memiliki dua anak perempuan, Vina dan Putri. Vina sudah kuliah, sedangkan Putri masih duduk di bangku SMA kelas satu. Istri Pak Hadi bekerja sebagai manager HRD di sebuah rumah sakit swasta di kota kami.

Dulu, waktu Vina masih TK, Pak Hadi bekerja di sebuah kantor swasta. Tapi setelah Vina duduk di bangku SD, entah kelas satu atau dua saya lupa, Pak Hadi keluar dari pekerjaannya dan memutuskan untuk mengurus rumah dan mendampingi putrinya. Saya tidak paham betul alasan sebenarnya. Bisa jadi waktu itu si Vina kecil memerlukan pendampingan orangtuanya di rumah.

Sejak itu, Pak Hadi berpindah karir menjadi bapak rumah tangga, dan mengambil peran sentral sebagai nahkoda yang tangguh dalam mengurus anak, mengelola dapur, dan menata kehidupan domestik rumahnya. Singkat cerita, jam terbang akhirnya membentuk Pak Hadi menjadi komandan rumah tangga sejati, dengan multitasking bintang lima di dalam rumahnya.

Pak Hadi terampil pula menjadi seniman dapur, yang sigap mengubah bahan-bahan sederhana menjadi hidangan lezat, yang membuat seluruh keluarga ketagihan. Keahliannya tak berhenti pada spatula saja, Pak Hadi juga ahli strategi belanja. Berbekal daftar belanja yang cermat dan mata elang pada diskon terbaik, ia dapat menaklukkan pasar dalam hitungan menit, dan membawa pulang bahan makanan berkualitas, tanpa membuat dompet habis terkuras.

Pak Hadi menjadi sosok perpaduan sempurna antara seorang ayah dengan kehangatannya, seorang koki dengan kepintarannya, dan seorang superhero rumah tangga dengan gercepnya. Kisah Pak Hadi ini bukanlah cerita fiktif. Pak Hadi adalah tokoh nyata, tetangga kami, yang kami tahu betul kesehariannya. 

Saya sering melihat rutinitas Pak Hadi bolak-balik dengan motornya lewat depan rumah saya. Berangkatnya mengantar Putri sekolah, pulangnya sudah nyantol dua tas kresek penuh sayur dan belanjaan. Saya bisa bayangkan, setelah itu Pak Hadi pasti masak, bersih-bersih rumah, dan seterusnya. Herannya, saya hampir tidak menemukan semburat lelah atau 'kemrungsung' di wajahnya. 

Saya pernah mendengar perkataan Bu Hadi saat mengobrol dengan ibu saya di teras rumah. "Mas Hadi itu nyawa saya bu, saya nggak tahu bagaimana jadinya rumah dan anak-anak tanpa dia," curhat Bu Hadi yang begitu membutuhkan peran suaminya di rumah.

Dari sini saya menyadari betapa Pak Hadi telah berhasil menumbangkan stereotip lama, dan membuktikan bahwa mengurus rumah bukanlah sekedar bantuan, melainkan sebuah kepemimpinan penuh waktu yang sama mulia dan menantangnya dengan karir di luar rumah.

Kembali saya menikmati bolu yang dibawa Vina. Saya perhatikan gadis yang biasa ceria itu tiba-tiba muram.

"Minggu lalu di rumahku heboh mbak," kata Vina membuka cerita.

"Heboh piye," jawab saya dengan nada bertanya.

"Ibuku nangis, aku nangis, Putri juga nangis," ucap Vina.

"Lha kenapa?" tanya saya. 

"Ayah diminta bosnya yang dulu untuk kerja lagi di kantornya. Bosnya butuh ayah banget mbak," ungkap Vina sedih.

"Trus?" sahut saya.

"Awalnya ayah setuju mbak, tapi ibu malah nangis. Putri juga nangis. Mereka merasa berat nggak ditungguin sama ayah," jawab Vina.

"Kan bisa nyari ART to Vin," kata saya.

Vina terdiam sejenak. Wajahnya masih muram.

"Bulan lalu, ayah kan ada urusan keluarga di Surabaya seminggu. Trus ibu pinjem ART-nya Bu Heri untuk ngurus rumah. Tapi aku sama Putri yang nggak cocok mbak. Nggak nyaman lah. Udah gitu masakannya nggak enak lagi. Lebih enakan masakan ayah. Dan keselnya, rumah kan harusnya lebih bersih dan lebih rapi ya, ee .. malah lebih rapi dan lebih bersih kalo ayah ada di rumah. Pokoknya kalo nggak ada ayah itu suasana rumah jadi nggak enak lah mbak," ujar Vina.

Saya tersenyum. "Lha trus akhirnya piye tadi? Ayahmu jadi terima tawaran bosnya?" tanya saya.

Vina menggeleng. "Nggak jadi mbak. Ayah nggak tega, ditangisi sama ibu, sama aku, sama Putri juga," jawab Vina.

Pada akhirnya, sosok Pak Hadi mengajarkan kita tentang kekuatan sejati seorang ayah tidak diukur dari posisi karirnya di luar sana, melainkan dari cinta dan dedikasi yang ia tuangkan di rumah. Perannya sebagai bapak rumah tangga, bukan hanya sekedar mengurus anak atau menyelesaikan pekerjaan rumah, namun ia mendefinisikan ulang makna kehadiran seorang ayah dalam keluarga. Ini menjadi sebuah pekerjaan yang tidak ternilai, dan tidak bisa ditukar dengan apapun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun