Mohon tunggu...
Hesdo Naraha
Hesdo Naraha Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

God Is Good All The Time 💝

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Pola-pola Disruption dalam Perubahan Perilaku Manusia

28 Desember 2020   02:36 Diperbarui: 28 Desember 2020   03:14 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar 1) Perlahan komunikasi konvensional mulai ditinggalkan. Termasuk pelayanan kesehatan pun akan mengalami perubahan menuju: Telemedika.

“mari mengakhiri tahun ini dengan melihat realitas perubahan yang sulit dipercaya…….”

Dunia yang terus berubah-ubah 

Abad ke-21 sangat dekat dengan istilah Revolusi Industri 4.0; sebuah mahzab baru dalam perkembangan atau Revolusi besar-besaran pada sektor industrial yang tidak hanya berdampak pada ekonomi masyarakat secara global, tetapi juga berdampak pada semua sektor dan aspek kehidupan manusia baik secara sosial maupun individual. Pada revolusi industri 1.0 (yang pertama) hal ini ditandai dengan adanya peralihan penggunaan tenaga hewan dalam sektor perdagangan, menjadi tenaga mesin yang dianggap lebih mudah, hemat serta menarik -pada masanya.

Siapa sangka? Hari ini kita mengecap revolusi yeng keempat ini. Dunia yang terus berubah-ubah adalah bukti bahwa manusia merupakan makhluk kosumerisme, bahwa segala hal akan dibutuhkan oleh manusia pada saat yang bersamaan, baik yang penting maupun tidak, sebab life style manusia modern umumnya mengikuti patokan orang lain yang menjadi modelnya. Konsumerisme berarti kebutuhan manusia modern tidak hanya tentang sandang, pandang, dan papan saja, eksistensi dimedia sosial kini menjadi kebutuhan, membangun dan menjalin relasi dengan orang yang sebanyak-banyaknya; agar dikenal telah menjadi kebutuhan, selalu tampil modis sesuai trend fashion kini menjadi kebutuhan.

Setiap perubahan dalam dunia ini adalah faktual, rill, dapat terlihat, dirasakan, dialami, tetapi tidak sepenuhnya terkendali, bahkan adapun perubahan yang tidak disadari; diam-diam terjadi, dari perubahan yang kecil justru tidak diduga lama-kelamaan menjadi perubahan yang berdampak besar, bahkan semakin besar pun orang nyaris tak menyadarinya. Professor Renhald Kasali dari FEB UI menyebutnya sebagai “Disruption” dalam bukunya yang berjudul serupa.

Salah satu contoh konkret adanya disruption dapat kita saksikan pada perubahan kebutuhan manusia akan media komunikasi. Mengakhiri abad Ke-20 pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat umumnya masih bersifat konvensional: agar dapat menyampaikan suatu pesan tertentu orang tua kita masih menggunakan surat-menyurat, adapun yang jauh lebih etis pada masa itu, ialah dengan cara menyampaikan secara lisan; sehingga untuk menyampaikan suatu berita, pembawa berita harus berkunjung ke rumah orang yang dituju, dan kemudian disampaikan secara langsung.

Walaupun 20 tahun sudah dunia menikmati berbagai perubahan yang ada diabad ke-21 ini, tetapi rupanya pola komunikasi yang bersifat konvensional masih terus terjadi. Sayangnya, hanya sedikit saja dari total populasi masyarakat secara global yang masih menggunakannya. Mengapa? Karena sekarang kita disuguhi dengan pola yang baru, suatu sistem komunikasi yang menawarkan kecepatan, kemudahan, tarif yang murah serta menawarkan privalage yang lebih ditengah masyarakat. Ditahun kedua puluh abad ini, hampir semua penduduk di dunia dari berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi, ras, agama; semuanya telah mengenyam Social media sebagai suatu media yang memberikan jaminan komunikasi yang lebih praktis.

Hari-hari ini nyaris tidak ada seorang anak berusia tujuh tahun yang tidak memiliki akun Facebook, walaupun yang mengelolahnya adalah orang tua sang anak. Seringkali saya berpikir dan bertanya-tanya dalam kalbu “apa tujuannya anak-anak kecil ini dibuatkan akun Facebook?” ternyata terjawab oleh salah satu sistem komunikasi diatas, yaitu:  privalage yang lebih ditengah masyarakat. Tidak semua orang bisa memiliki facebook kalau tidak mempunyai alat komunikasi, misalnya HP, Tablet, PC, Laptop, dsb. Ketika orang menggunakan media sosial tentunya dalam satu kali memposting dia telah mendapatkan privalage yang lebih ditengah masyarakat; karena adanya pengakuan, pujian –semisal postingannya positif, memamerkan sesuatu yang  belum dimiliki orang lain.

Dari hal-hal sederhana inilah, kita melihat adanya perubahan yang sangat masif dalam seluruh aspek kehidupan secara intrapersonal maupun interpersonal. Saya tidak akan membahas secara mendalam mengenai dampaknya pada aspek Psikologi seseorang, tetapi yang menariknya ialah perubahan secara individu sebenarnya merupakan dampak dari perubahan individu yang lain –sudah saya sebutkan sebelumnya diatas, yaitu: manusia modern umumnya mengikuti patokan orang lain yang menjadi modelnya. Hal ini adalah suatu pola yang terbentuk menjadi sebuah siklus, bahwa semua orang akan mengalami hal yang sama, dan semakin banyak kesadaran akan adanya perubahan disitulah tonggak awal perubahan secara sosial itu terjadi, maka tidaklah heran jika saya menuliskan judul kecil diatas Dunia yang terus berubah-ubah. 

Disruption dalam perilaku manusia Modern

Ketika saya bersama kakak yang ketiga bercerita tentang kehidupan sebagai mahasiwa, ternyata telah terjadi begitu banyak perubahan hampir diseluruh aspek kehidupan dalam konteks yang sama. Saya memasuki dunia perkuliahan pada tahun 2018 di Yogyakarta, Kakak saya menematkan studi S1-nya di Manado pada tahun 2007; kami bercerita secara langsung pada Februari 2020 saat saya pulang untuk liburan semester III. Walaupun konteks cerita kita ialah sama-sama membahas mengenai kehidupan masing-masing sebagai mahasiwa, nyatanya sedikit saja kesamaan yang kami jumpai, selebihnya adalah perbedaan yang bahkan tidak pernah dibayangkan olehnya.

Pada tahun-tahun sebelum 2010, ketika perusahaan Gojek belum beroperasi di Indonesia sebagai layanan transportasi ojek secara online; kehidupan mahasiswa dimasanya kakak saya masih bersifat manual, sebabnya perjalanan ke kampus harus ditempuh dengan berjalan kaki, untuk membeli makan harus mencari warung makan yang terdekat dengan kost, hampir semua kebutuhan akan mengutamakan mencari sumber yang terdekat. Sekarang kita bisa melihat dengan jelas perbedaan yang ada, saya tidak perlu bangun satu jam lebih awal untuk mempersiapkan diri ke kampus, karena cukup 30 menit sebelumnya saya bisa menggunakan jasa Gojek dengan tarif lebih murah, dengan fasilitas yang menjamin kecepatan, dan kenyamanan maka saya sudah bisa tiba dikampus tanpa takut terlambat.

Cerita yang lain dari seorang Pendeta di Gereja saya, beliau bercerita tentang jam makan malamnya sewaktu masih kuliah di lima belas tahun yang lalu, saat itu kami sedang makan bersama di salah satu tempat makan legendaris di Kota Jogja, yaitu Nasi Teri Gejayan. Dia bercerita biasanya jam makan malamnya adalah diatas pukul dua belas malam, karena kalau lebih awal akan lebih cepat lapar akibat energi yang habis terpakai untuk mengerjakan tugas kuliah, ketika keluar dia akan berjalan kaki karena seringnya jalanan sudah lebih sepi. Seminggu kemudian saya kembali makan disana, saya melihat rupanya Nasi Teri Gejayan juga dapat dipesan melalui layanan Go-food dari Gojek, saya lalu berencana dalam hati; ketika nanti lapar dan ingin makan, walaupun jaraknya jauh dari kosan saya, makanan ini bisa dipesan melalui Go-Food.

Cerita-cerita diatas adalah realita yang saya jumpai dalam kehidupan, dan itulah yang membuat saya semakin yakin bahwa Disruption juga berdampak pada perilaku manusia. Pada hakikatnya manusia mengalami perubahan karena dua hal: Sebagai proses evolusi (nature) dan Proses belajar (nurture). Izinkan saya menjelaskannya.

(Gambar 2) Media sosial menjadi salah satu bentuk nyata disruption benar-benar nyata.
(Gambar 2) Media sosial menjadi salah satu bentuk nyata disruption benar-benar nyata.

Disruption sebagai proses evolusi (nature) 

Istilah evolusi tentunya sudah tidak asing ditelinga kita, seringnya kita mendengar tentang evolusi manusia, tetapi saya tidak berniat membahas hal itu; sebab saya yakin anda semua sudah cukup paham mengenai persepektif Darwin yang sangat kontroversial tersebut. Evolusi dalam pandangan saya ialah sebuah proses perubahan secara alami yang disebabkan oleh adanya stimulasi alamiah, sehingga mahkluk hidup secara mandiri melakukan adaptasi untuk mencapai kesesuaian dengan kondisi yang dihadapi. Pola ini terjadi secara terus-menerus hingga tanpa disadari berdampak pada suatu perubahan sistem, yang membuat komponen didalamnya mengalami pembaharuan self dan komunitas dengan sendirinya.

Bagaimana caranya kita memahami hal ini?

Ingatkah anda pada saat pandemic Covid-19 mewabah pada satu bulan pertama di Indonesia, tepatnya bulan Maret – April, 2020. Pada saat itu kebutuhan masyarakat akan masker, dan hand sanitizer melonjak secara mendadak, sebagai pebisnis tentunya toko-toko farmasi memandang ini sebagai sebuah peluang untuk meraup keuntungan. Saya ingat betul, pada hari sabtu sore di minggu awal ketiga bulan maret, saat itu sepulang dari gereja, saya mampir untuk membeli obat FLU di salah satu toko, saat berada di sana saya mendapati harga masker medis mengalami kenaikan harga yang sangat luar biasa.

Waktu berjalan dengan sangat cepat, kini masker, dan hand sanitizer menjadi mudah ditemukan di mana saja. Sayangnya hal ini memunculkan masalah baru, yaitu: limbah medis tersebut menjadi meningkat. Dampaknya ialah pengelolan terhadap sampah menjadi sulit terkendali, akibatnya para aktivis lingkungan kembali mengakat masalah ini ke publik, dan menuntut agar masyarakat lebih bijak dalam mengelolah sampah medis yang dihasilkan.

Upaya yang paling tepat untuk menangani hal ini ialah, dengan mengurangi aktivitas diluar rumah sehingga kebutuhan akan masker menjadi lebih sedikit. Sepuluh bulan berlalu (desember, 2020) masyarakat menjadi lebih terbiasa untuk tetap berada dirumah, hal ini menunjukan bahwa environment yang adalah bagian dari nature atau alam kita, telah melakukan disruption bagi setiap kita yang hidup dimuka bumi ini. Secara tidak sadar kita telah mengalami proses evolusi dalam konsep berpikir kita, bahkan saya pun menjadi penasaran apakah seorang yang mencintai alam sebagai bentuk sifatnya yang bebas, pasca berbulan-bulan di rumah justru bisa mengalami perubahan perilaku? Semoga di lain kesempatan saya bisa membahasnya.

(Gambar 3) Pandemi telah membuat kami belajar banyak hal, termasuk perayaan Natal tahun ini harus mengikuti Ibadah Natal dengan Protokol kesehatan.
(Gambar 3) Pandemi telah membuat kami belajar banyak hal, termasuk perayaan Natal tahun ini harus mengikuti Ibadah Natal dengan Protokol kesehatan.

Disruption sebagai proses belajar (nurture) 

Pada masa awal perkembangan ilmu Psikologi, saat itu para ahli saling beradu argumen mengenai asal-muasal perilaku manusia. Ada yang berpendapat bahwa perilaku manusia adalah nature; manifestasi dari atribut genetis yang wariskan oleh orang tua kepadanya, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa “perilaku individu di masa sekarang adalah warisan dari nenek moyangnya terdahulu” (pandangan ini disampaikan oleh Carl. G. Jung dalam teori Psikoanalitik, mengenai archetype). 

Tetapi apakah pandangan Jung, dan ahli lainnya yang sependapat sudah cukup untuk menjawab rasa ingin tahu kita, mengenai asal-muasal perilaku manusia? Menurut saya tidak cukup, karena kita masih memiliki satu konsep lagi yang berbicara mengenai nurture. Dalam keseluruhan pandangan teoritikus Psikologis, nyaris tidak kita temukan adanya penjelasan secara lateral mengenai disruption. Tetapi izinkan saya menjelaskannya.

J. B. Watson, Albert. Bandura, Ivan Petrovic. Pavlov, B. F. Skinner, dll. Mereka adalah nama-nama besar yang oleh buah pikirnya, kita dapat memahami bahwa nurture atau proses belajar bisa mempengaruhi pembentukan, dan perubahan perilaku manusia.

Ingatkah kita pada masa sebelum pandemi Covid-19 mewabah, rasanya menggunakan masker sebagai salah satu protokol kesehatan jarang sekali diterapkan, termasuk ketika seseorang yang mengalami FLU biasa. Seringnya ketika beraktivitas di luar rumah, justru tidak menggunakan masker, karena berpikir bahwa tidak berbahaya. Hari ini (28/12/2020) ketika kita melewati perempatan atau pertigaan lampu merah, dan melihat penjual Koran, pengemis, dll. Semuanya pasti dengan tertib menggunakan masker.

Apakah mereka melakukannya karena ada pendidikan atau proses belajar secara khusus? Saya tidak menjamin untuk mengatakan “ya” tetapi mungkin saja ada, karena sepanjang yang ketahui para tenaga penyuluh kesehatan secara konsisten terus memberikan edukasi mengenai penerapan protokol kesehatan. Tanpa kita sadari pandemi ini hadir menjadi inspirasi bagi kita dalam belajar mencintai diri sendiri. Artinya hanya dengan mematuhi protokol kesehatan, kita lalu bisa tetap survive menjalani hidup secara berdampingan dengan pandemic Covid-19.

Jelaslah bahwa pandemi pun merupakan manifestasi dari disruption itu sendiri, sehingga dengan penuh keyakinan saya menyatakan “kita semua telah belajar untuk menghadapi sang disruptif dengan sangat bijaksana.” Sampai hari ini, tahun 2020 sebentar lagi akan berakhir. Kiranya kita tetap bersabar, terus memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, hindari kerumunan untuk aktivitas yang tidak penting, dan tetap berpengharapan di dalam TUHAN PEMILIK KEHIDUPAN. Agar kita tetap hidup untuk menjadi saksi perubahan, dan pelaku perubahan itu sendiri, sebab life must go on.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun