Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Rindu] Riwayat Rindu di Bukit Kasih

7 September 2016   09:40 Diperbarui: 7 September 2016   11:11 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jabal Rahmah. Dok Pribadi

Dalam ziarah spiritualku tanpa terasa sudah berada di bukit Kasih, orang setempat menyebutnya jabal Rahmah. Bukit itu tidak begitu tinggi. Bongkahan batu besar nan kokoh berpadu menjadi ketinggian, tetumbuhan pun jarang ditemui. Inilah karakter tandus negeri Arabia. Di tempat itu kutemui kerumunan manusia dari berbagai bangsa, yang tak lelah menuju puncak bukit.

Semua orang pun tahu mengapa tempat ini disebut bukit Kasih. Tempat ini mempunyai sejarah setua peradaban manusia itu sendiri, manusia pertama dan kedua : Adam-Hawa. Mereka sepasang kekasih yang ditakdirkan hidup di surga. Dan takdir pula yang menentukan lain, mereka diusir Tuhan karena memakan buah yang dilarang.

Turun ke bumi dalam kondisi terpisah. Adam pun mencari Hawa begitu pula sebaliknya. Mereka telusuri hamparan bumi dengan harapan kembali bersatu seperti di surga dahulu. Waktu demi waktu terus bergulir dengan perasan rindu yang mendalam, kekasih yang dicintainya tak kunjung bertemu.

Takdir baik masih berpihak pada mereka yang hanya berdua di muka bumi ini sebagai manusia. Perlahan tapi pasti akhirnya kedua pun berjumpa setelah sekian lama berpisah. Di bukit inilah sebuah saksi bisu perjumpan mereka setelah sekian lama berpisah dengan dirundung rindu. Aku dan kerumunan orang yang ada seolah berebut rasa penasaran bagaimana perjumpaan Adam-Hawa yang berakhir rindu dibayar tuntas itu.

Aku tidak membayangkan terlalu jauh, sampai di bukit ini merupakan anugerah sendiri. Bukankah semua orang mendambakan apa yang dinamakan kasih itu, yang secara kebetulan tersimbol sebuah bukit. Bukit yang tandus ini seakan menyesuaikankan para hati manusia yang gersang karena rindu. Mereka para pezirah seolah ingin merasakan napak tilas sang manusia awal. Yang membawa rindu untuk merangkai puzzle kasih yang selama ini terserak.

Setiap tempat mempunyai kisahnya sendiri untuk dapat dikenang. Bukit Kasih akan terus dikunjungi selama peradaban manusia masih ada. Ribuan orang bahkan jutaan manusia akan silih berganti untuk datang dengan kisah yang beragam. Telah ku jejakkan kaki di bukit ini dengan rasa harap dan cemas bahwa kehidupan harus terus berlanjut yang bisa menjadi rangkaian cerita, suka-duka.

Ku tatap lagi bukit itu sebelum kembali ke bus. Perjalananku kali ini bukan sekedar hanya persoalan spiritual saja seperti harapan orang-orang tetapi juga urusan hati. Bukit Kasih seakan memberikan pelajaran akan satu hal. Manusia adalah makhluk sosial yang pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri. Tak terasa terngiang dibenakku ungkapan sang pujangga Khahlil Gibran, “Setiap hati mendamba hati lain, hati yang bisa diajak untuk bersama-sama mereguk kehidupan dan menikmati kedamaian, sekaligus melupakan penderitaan hidup”.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun