“Jas Merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, sebuah ungkapan yang dikatakan bung Karno. Apa yang dikatakan bung Karno itu benar. Setiap kejadian masa lampau walaupun pahit apalagi itu suatu kejayaan seyogyanya tetap diingat sebagai tonggak untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
Untuk mengenang sejarah masa lampau, berbagai upaya dilakukan, salah satunya adalah dengan membuat museum. Mendengar nama Singosari, jelas akan diindentikkan dengan kerajaan Singosari (ada yang menyebut Singhasari) yang merupakan cikal bakal Majapahit di kemudian hari. Kerajaan Singosari juga tidak lepas dengan nama Ken Arok dan Ken Dedes beserta kisah kutukan keris mpu Gandring didalamnya.
Maka membangun museum yang berkenaan dengan Singosari adalah langkah tepat walaupun itu terlambat. Pemerintah (c.q. Pemkab Malang) yang telah mengusahakannya yang diberi nama Museum Singhasari, dan telah diresmikan pada 20 Mei 2015 (sumber). Museum itu terletak di Perumahan Singhasari Residence, Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Pembangunan Museum Singhasari merupakan angin segar dalam menambah destinasi wisata di daerah Malang, disertai pula menunjang aspek yang lain: kebudayaan, ekonomi, dan pendidikan. Selama ini kita memang tak acuh terhadap namanya sejarah masa lalu. Jika kita ke daerah Singosari, coba tanya kepada para anak mudanya (baca: siswa) siapa itu Ken Arok, Ken Dedes, ataupun Kertanegara. Jawaban kebanyakan adalah mereka tidak tahu, suatu hal sangat miris memang.
Lebih tepatnya museum itu belum dapat disaksikan. Gembar-gembor selama ini masih belum ada wujudnya. Beberapa ruangan yang disediakan masih tertutup rapat, dan nampak dari pintu atau jendela yang berkaca, ruangan itu kosong. Di sebelah luar pun masih ada yang lumayan, pada dinding tertempel gambar besar bangunan kuno peninggalan Singosari.
Dalam kompleks museum itu juga dibangun semacam pendopo berukuran sedang yang dapat dipakai untuk kegiatan yang sifatnya terbuka. Museum itu tampak seperti bangungan mati saja, tidak ada aktifitas. Tidak ada kantor dinas yang mengurusinya, demikian pula dengan petugasnya. Tidak banyak yang dapat kita gali dari museum ini.
Museum Singhasari terlanjur berdiri. Bangunannya memang sedang-sedang saja, tidak terlalu mewah dan tidak dapat dikatakan jelek pula. Sayang rasanya bila sesuatu yang ada disia-siakan. Menunggu bahan isian museum yang belum tentu didapat dapat dijadikan alasan. Selama ini peninggalan dari kerajaan Singosari bertebar di mana-mana. Ada di luar kota bahkan diluar negeri, serta di beberapa kolektor.
Dan untuk mendapatkannya pun tidaklah mudah, dan jelas membutuhkan biaya yang besar pula. Selain itu dilihat dari faktor keamanan, bangunan museum ini cukup mengkhawatirkan, tidak ada tanda-tanda pengawasan yang begitu ketat. Jika barang asli yang ditaruh disitu, tentu sangat mengkhawatirkan akan keberadaannya di kemudian hari. Untuk saat ini –sementara waktu- biarlah benda peninggalan itu tetap pada asalnya, asal aman dan terdeteksi keberadaannya.
Untuk mengatasinya agar museum Singhsari itu “berisi” maka dapat saja pengelolanya membuat replika mengacu benda yang asli. Walaupun itu tiruan, tidak lah mengapa asal esensi dari pengenalan tentang sejarah Singosari itu mengena.