Mengapa pengembangan dan perkembangan sastra terus berdetak tak pernah mati di Yogyakarta? Apakah semata-mata karena penerbitan buku karya sastra tak lekang oleh waktu? Atau karena banyaknya perguruan tinggi dengan jurusan seni, bahasa, dan sastra? Barangkali bisa  juga disebabkan oleh banyaknya media (majalah, koran) yang memiliki rubrik budaya dan sastra?
Bagi saya pribadi, sebagai kota seni dan budaya, Yogyakarta memang merupakan lahan subur untuk tumbuh kembang kesenian, termasuk di dalamnya dunia sastra.Â
Dari lahirnya koran Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, majalah Basis, Citra Yogya, munculnya era buku indie, dan berbagai platform media sosial pada belakangan ini, Yogyakarta senantiasa menghadirkan denyut sastra tak berkesudahan.
Komunitas sastra mengakar kuat dalam pertumbuhan sastra di Yogyakarta. Setidaknya jika seseorang ingin menulis perkembangan sastra di Yogyakarta, tidak mungkin ia bisa lepas dari pengamatan terhadap komunitas Persada Studi Klub (PSK) yang melahirkan sastrawan-sastrawan kampiun seperti Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Mustofa W Hasyim, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, dan lainnya.Â
Kehadiran PSK didukung Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito.
Kehadiran berbagai komunitas sastra itu menjadi semacam "dapur" tempat kreativitas dan beragam ide dikelola dan dimatangkan bersama.Â
Anggota komunitas tidak hanya sekadar berkumpul membaca puisi, melainkan belajar bersama, menjadikan komunitas sebagai rumah dalam menumbuhkan generasi baru penulis dan penggiat sastra. Peran inilah yang membuat ekosistem sastra di Yogyakarta hidup berdaya guna, lentur, dan dinamis.
Memaknai Komunitas Sastra Bulan Purnama
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan sastra ditentukan oleh sinergi timbal balik antara pengayom, penulis, dan pembaca (kritikus).Â
Pengayom merupakan individu atau lembaga yang tergerak menjadi "sponsor" kegiatan bersastra, bisa berupa bantuan untuk penulisan, penerbitan, pelaksanaan kegiatan sastra, dan pemberian hadiah karya sastra.
Pengertian pengayom adalah orang atau lembaga yang bertindak sebagai pendukung/pelindung (dalam pengertian luas) dalam menggiatkan olah kesastraan. Pengayom berpartisipasi dalam memberikan dukungan material terhadap kelangsungan kegiatan bersastra.
Savitri Damayanti, pekerja seni lulusan Sastra Nusantara UGM dan pernah bekerja di Rumah Budaya Kratonan, Surakarta, dan Amor Event Organizer, mengakui, kelebihan berbagai komunitas di Yogyakarta karena siapa pun (dari berbagai latar belakang dan usia), bisa menjadi bagian komunitas.
"Meskipun begitu, ada satu kekurangan yang menyertai keberadaan komunitas di Yogya. Tidak ada yang mampu bertahan lama, kecuali Sastra Bulan Purnama," ujar perempuan penulis puisi dan cerita pendek ini, lugas.
Hebatnya, SBP setiap bulan mengadakan satu atau dua kali  kegiatan sastra, baik pembacaan karya sastra maupun diskusi buku. Kegiatan ini berlangsung sejak tahun 2011 dan terus dikawal dengan baik oleh Ons dan kawan-kawan.
Tosa San Tosa alias Subari, lelaki asal Jambi yang kini bergerak di bidang fashion/modeling- meskipun semula berkeinginan menjadi dokter- mengaku senang bergabung dengan SBP karena terlepas dari eforia sebagai desainer. Â
Meskipun lelaki yang gemar menyanyi ini tidak tahu persis sumber keuangan yang digunakan SBP untuk mengadakan kegiatan.
Selepas merasakan kuliah di Teknik Kimia UPN, sekitar tahun 1988, mulai terjun ke dunia fashion. Dalam proses selanjutnya, sebagai orang dengan latar belakang teknik, Tosa San Tosa, belajar bagaimana cara mengelola sebuah event dengan baik.Â
Tahun 2002 ia membuat event Afif Syakur dengan batik Sekaring Jagad di Hotel Ambarukmo, dihadiri kalangan elit dan utusan keraton Yogyakarta. Tahun 2006 dipercaya membuat konsep Jogja Fashion Week. Tahun 2013 bergabung dengan SBP.
"Di SBP saya merasa berada di dunia baru dan itu sangat menerima saya. Saya berbahagia, makanya sampai sekarang  masih ada di SBP," jelas lulusan SMA Negeri 2 Yogyakarta itu.
Tosa San Tosa meyakini bahwa dunia seni membuat siapa pun lebih bernilai.
Sonia Prabowo, perempuan muda serba bisa, meskipun berlatar belakang sekolah ekonomi dan bekerja di lembaga penelitian di bawah pimpinan Mari Pangestu, sangat menyukai seni.
"Saya tidak pernah menyatakan diri sebagai seniman karena saya anak baru di segala lini. Baru belajar dengan teman-teman dengan modal nekat, sing penting dadi," ujar penghobi memotret, merendah.
Ia nekat membuat buku puisi pertamanya. Niat semula menghadirkan buku fotografi, tapi karena punya banyak puisi, curahatan-curhatan sing ora cetho, akhirnya jadilah buku puisi.Â
Ketika itu, setelah covid berlalu, Mas Farid (fotografer) memperkenalkan dirinya kepada Mas Ons Untoro (koordinator SBP), sejak itulah ia lalu terlibat dalam kegiatan SBP.
"Terus terang saya tidak pernah masuk komunitas karena  tidak suka berkomunitas, kecuali di SBP. Hal ini terjadi karena sikap teman-temen di sini netral dan semua ingin maju bersama," ujar Sonia bangga sekaligus penuh haru.
Di SBP, ia merasa nyaman karena dalam pelaksanaan kegiatan selalu berjalan lancar, meskipun tanpa iuran.
Bagi saya pribadi, Ons Untoro, pendiri sekaligus koordinator SBP merupakan sosok yang sekaligus berperan sebagai pengayom, Â pembaca (kritikus), merangkap penulis.Â
Modal yang ia punyai untuk "menghidupi" SBP selama empat belas tahun adalah masa lalunya yang tidak dapat dilepaskan dari LSM, aktivis mahasiswa, kedekatan dengan media massa/jurnalistik, gedung kesenian, dan kepiawaiannya menjaga relasi dan ngopeni orang-orang yang diprediksi mampu melangkah lebih jauh.Â
Di luar itu adalah sikap yang dipegang teguh bahwa  kreativitas dalam menulis harus terus dibangunkan.
"Kalau kita tidak memiliki etik dalam persahabatan, kita bisa memanfaatkan teman-teman di sekeliling kita. Kita bisa lebih menonjol dengan memanfaatkan orang lain," papar Ons.
Dalam SBP, persahabatan dibangun dengan terus saling menjaga, supaya  iklim kreatif sama-sama tumbuh. Soal nanti ada yang terkenal atau tidak, itu perkara lain. Artinya, etik menjadi penting dalam menjaga SBP agar tetap berkesinambungan keberadaannya.
Di samping itu, tidak ada tokoh atau yang ditokohan dalam SBP karena semua adalah tokoh. Jika ada orang yang ingin berperan menjadi tokoh, ditokohkan, maka pasti akan  kecewa berat.
"Saya sendiri memposisikan diri hanya sebagai koordinator agar acara SBP berjalan lancar. Cuma memikirkan jadwal kegiatan agar tidak tumpang tindih," jelas Ons.
Persahabatan mengandaikan keutuhan, meskipun tidak selalu harus bersama, namun hati dan ingatan selalu menyatu: saling bersapa dari jarak yang berbeda. Begitulah, melalui puisi, SBP menandai persahabatan yang tidak retak... (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI