Untuk itu saya tidak ragu mengambil perumahan dengan jangka waktu pembayaran sepuluh tahun. Gaji per bulan yang saya terima saat itu sekitar satu juta lebih sedikit.
Bukankah biaya hidup di desa lebih murah jika dibandingkan di kota? Setidaknya harga sayur mayur, buah-buahan, telur, dan beras, tidak semahal di perkotaan. Jauh dari kota berarti berjarak dengan mal, kafe, rumah kecantikan, tempat nge-gym, dan tempat hiburan lainnya, berarti akan menghemat pengeluaran.
Begitulah, langkah berikutnya yang kami tempuh adalah hidup sederhana dengan merencanakan pengelolaan keuangan, memprioritaskan kebutuhan primer, mengurangi keinginan membeli barang secara berlebihan, apalagi barang branded.
Ibu Negara membuat anggaran pengeluaran dengan memprioritaskan kebutuhan dasar seperti keprluan makan, bayar listrik, cicilan rumah, dan transportasi (bensin). Selanjutnya, mengalokasikan sebagian pendapatan untuk tabungan atau dana darurat guna mengantisipasi kebutuhan mendesak.Â
Hidup dengan mengencangkan ikat pinggang dan memakai kacamata kuda kami lakukan demi memiliki rumah dan agar hidup tidak terseok-seok.
Sementara saya sendiri membangun portofolio investasi jangka panjang dengan mengembangkan keterampilan, berharap dapat meningkatkan potensi pendapatan. Tentu saja upaya itu dibarengi dengan membangun brand image secara personal.
Meskipun begitu, kami tetap tidak lapar mata, tidak ngawula waduk (mengutamakan perut), dan menjauhkan diri dari aji mumpung. Artinya kami tetap setia dengan menikmati hidup apa adanya.Â
Bahkan sampai hari ini pun, di lingkungan perumahan, motor kami tetap motor manual, bukan motor matik seperti yang dimiliki keluarga lain. Baju dan sepatu yang kami kenakan pun bukan keluaran Uniqlo atau Skechers. Kesetiaan kami terhadap ungkapan ngeli neng aja nganti keli, tetap tergenggam erat.