Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertanyakan Puisi

14 Juli 2023   19:23 Diperbarui: 14 Juli 2023   20:15 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidur di Matamu/Foto: Hermard

Mengapa puisi terus ditulis orang? Bukankah puisi hanya berisi khayalan? Apa yang didapatkan dari mencipta dan membaca puisi?

Rentetan pertanyaan itu sering muncul sebagai kegelisahan tak berkesudahan.  Terlebih banyak penyair baru terus bermunculan dan penyair lama tetap bertahan dalam dunia yang semakin tidak menjanjikan karena media ekspresi puisi  kian menyempit: ruang puisi (sastra budaya) di koran-koran ditepikan oleh berbagai iklan dan pertunjukan pembacaan puisi tidak semeriah tahun 1990-an.

Lalu apa yang dicari penyair dengan berpuisi? Mengapa mereka terus mau menulis sedangkan keperluan hidup tidak bisa dibeli dengan satu dua biji puisi? Hidup lebih terjamin dengan tendangan bola atau kemerduan suara. Tidak mengherankan jika kegiatan olah raga dan pentas musik lebih mudah mendapatkan sponsor dibandingkan lomba mencipta dan membaca puisi. 

Hal ini terjadi karena olah raga dan musik merupakan warga kelas satu atau kelas dua di negeri ini, sedangkan sastra merupakan warga kelas tiga (untuk tidak menyebutnya kelas kambing). Di negeri hutan kayu dan batu bisa jadi tanaman ini, konon,  sastra layak ditendang-tendang bagaikan bola.

Salah seorang penyair terkemuka bahkan menyatakan bahwa tanpa puisi, Indonesia tetap berlangsung hidup dan tetap bergerak tanpa berkurang ketegarannya. 

Hal ini mendapat pembenaran Emha Ainun Nadjib karena puisi bukan dewa, bukan dzat agung, bukan sesuatu yang perlu  dibesar-besarkan dan didramatisir.

Emha pun sejak tahun 1984 mempertanyakan: untuk apa kita susah payah menghadirkan puisi-puisi  ke sana kemari? Sebagai hiburan, ia tak begitu laku. Sebagai obat, ia tak begitu berkhasiat. Sebagai khotbah, ia menjadi terseret untuk gegabah. 

Terlalu kecil pula ia untuk mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat: sistem yang eksploitatif dan manipulatif, susunan keadaan yang timpang, arah kehidupan yang mendangkal, usaha-usaha  membahagiakan yang makin menyusahkan, upaya perluasan yang lebih menyempitkan, hasrat pengembangan yang justru menguncupkan, penciptaan senjata-senjata mutakhir kemanusiaan yang menjelma jadi bumerang. Apa yang bisa kau perbuat untuk semua itu, dengan sebiji puisi?

Meskipun begitu, Sutardji Calzoum Bachri membela keberadaan puisi. Baginya, menulis puisi adalah pekerjaan bersaksi. Puisi sebagai kesaksian telah dituliskan dan tak bisa didustakan. Berakrab dengan kalbu, puisi selalu berada pada kebenaran. Puisi selalu otentik, tidak bisa dan mustahil untuk dipalsukan.

Sebagai kesaksian yang otentik tidak bisa ditolak atau didustakan, bahkan oleh penyairnya sendiri. Sebagai kesaksian yang otentik, pada mulanya puisi adalah khazanah yang tersembunyi.

Kembali ke pertanyaan awal, mengapa pada zaman yang seperti sekarang ini kita masih menulis puisi? Apakah kita termasuk wong edan? Orang kesepian? Atau kita tetap menulis karena puisi merupakan ungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang kita renungkan dengan sungguh-sungguh?

Herlinatiens
Menemu Batu

kata-kata yang kau jangkarkan menelan apa-apa yang ingin kusampaikan sebab percuma saja bicara bila ratapku hanya menemu tembok batu tingginya hati dari ingatan-ingatan yang terus kau simpan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun