Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Perkembangan Teater Indonesia di Yogyakarta (1980--2000)

23 Januari 2023   14:37 Diperbarui: 23 Januari 2023   14:44 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan naskah Teater Gandrik/Foto: Hermard

Gambaran itu tidak lazim karena kegiatan tipikal kelompok  teater saat itu adalah  kegiatan teater yang didukung oleh komunitas dalam lokalitas tertentu. Misalnya, kelompok Stemka (berdiri tahun 1969), didukung oleh komunitas pemuda di lingkungan  gereja katholik Kumetiran, wilayah di bagian barat Malioboro; Teater Dipo didukung oleh remaja dari kampung Dipowinatan dan sekitarnya.

Meningkatnya mobilitas fisik dengan membanjirnya kendaraan bermotor roda dua sejak Orde Baru, mampu "membebaskan" kegiatan kelompok teater di Yogyakarta dari ikatan ketat sosial geografis. Teater Gadjah Mada yang termasuk paling tua di Yogyakarta dapat dijadikan ilustrasi dalam konteks pembicaraan ini.

Teater Gadjah Mada didirikan pada tahun 1975, gagasan pembentukan Teater Gadjah Mada datang dari Drs. Soeroso M.A. (rektor UGM pada waktu itu) untuk merayakan Dies Natalis UGM dengan pementasan lakon "Prabu dan Putri" karya Rustandi Kartakusuma di Gedung "Batik PPBI" Jalan Yudonegaran, Yogyakarta, tahun 1973. Penyutradaraan dipegang oleh Mochtar Probottingi (mahasiswa Jurusan Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan). Pendukung produksi pementasan, antara lain Syafri Sairin, Imran T. Abdullah, Rafan Yusuf, Syamsul Arifin, Roestamadji Broto, Tamdaru Tjokrowerdojo, Sigit Dwianto, Sayuti Abdullah, Sayekti, Agustin Nurhayati, Suharyoso Sk. dan Landung Simatupang.

Perintis berdirinya kelompok teater yang dua kali memenangkan festival teater mahasiswa nasional ini adalah Suharyoso Sk (mahasiswa Geografi) dengan dibantu Suprapto Budi Santoso (mahasiswa Teknik Sipil), Yuwono (mahasiswa Psikologi), dan Landung Simatupang (mahasiswa Sastra). Tiga nama yang disebut awal adalah mahasiswa pemondok. Suharyoso Sk datang dari Kediri  (Jawa Timur), menyewa rumah sederhana di kampung Terban bersama adik-adiknya. Suprapto Budi Santoso berasal dari Madiun (Jawa Timur) dan mondok (nderek) satu keluarga (rekan sejawat ayahnya) yang tinggal di perumahan karyawan PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) di Bumijo. Sedangkan Yuwono, dari Solo, nderek pada keluarga salah seorang kerabat orang tuanya di kampung Sosrokusuman. Dalam kegiatan keseharian, relasi sosial mereka dengan masyarakat setempat sangat renggang dibandingkan dengan para pelajar dan mahasiswa yang nderek di rumahtangga keluarga-keluarga di Yogyakarta tahun 1950---1960-an.

Perkembangan lain terjadi pada tahun 1980-an ketika pertumbuhan ibukota kabupaten semakin pesat berbenah menjadi "kota" dengan segala fasilitas di berbagai sektor, termasuk kesenian. 

Institusi pendidikan tinggi dan pendidikan menengah mulai merambah lokasi di luar kotamadya. Teater yang semula seperti terkungkung di kota, meluber dan merambah ke desa-desa kabupaten  (berupaya menjelma menjadi kota). Di kabupaten Sleman, muncul kelompok Teater Majenun,   mementaskan lakon "Ben Go Tun" (Saini KM) di gedung kesenian Serba Guna kompleks perkantoran Kabupaten Sleman pada tahun 1980-an. Teater  Majenun (dipimpin  Hedi Santoso, penduduk Murangan, Sleman) sempat pentas di gedung Purna Budaya Yogyakarta membawakan lakon "Nabi Kembar" (Mroszek). Teater ini tidak terdengar lagi sejak awal 1990-an.  

Di sisi lain, Paguyuban Teater Bantul dengan tokoh Sigit Sugito terus berkembang dan kian menampakkan sosoknya. Komunitas ini banyak memanfaatkan keberadaan gedung kesenian Gabusan, Bantul. Di Bantul bilangan timur, muncul Teater Lampu, pementasannya selalu diberitakan  koran Kedaulatan Rakyat.

Kedudukan ibukota kabupaten sebagai pusat-pusat kegiatan sastra juga diakui dan dikukuhkan oleh lembaga  semi-pemerintah seperti Panitia Festival Kesenian Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta seni tahunan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika pada awal penyelenggaraan festival kegiatan pementasan dilakukan hanya di kota Yogyakarta, pada waktu berikutnya festival dilangsungkan pula di ibukota-ibukota kabupaten di DIY.

Apa pun persepsi orang tentang "aroma Yogyakarta"  dalam kebhinekaan teater kontemporer Indonesia, yang pasti adalah bahwa kenyataan itu terbentuk melalui proses yang berlangsung cukup lama.

Sistem Pengarang
Penulis/pengarang merupakan komponen  sangat penting dalam penciptaan karya sastra (naskah drama) karena tanpa kehadiran penulis, tidak mungkin  lahir naskah drama. Penulis/pengarang merupakan sumber pesan dalam karya sastra.
Dalam konteks pembicaraan sistem penulis/pengarang, maka drama Indonesia di Yogyakarta yang dimaksudkan adalah naskah drama yang lahir (terbit) di Yogyakarta atau ditulis oleh sastrawan yang berdomisili di Yogyakarta dan sastrawan yang secara  kultural dalam proses kreatifnya tidak dapat dilepaskan dari Yogyakarta.

Pembicaraan tentang Sri Murtono/Foto: Hermard
Pembicaraan tentang Sri Murtono/Foto: Hermard
Kelompok teater di Yogyakarta memiliki cara dan "tradisi" sendiri dalam penulisan naskah untuk pementasan. Ada kelompok teater yang memiliki penulis naskah, di samping ada pula kelompok teater yang tidak mempunyai penulis, sehingga naskah yang dipentaskan merupakan naskah hasil adaptasi, terjemahan, atau bahkan naskah yang berasal dari penulis kelompok teater lain.

Setiap penulis naskah dalam suatu grup atau kelompok teater di Yogyakarta  memiliki beragam sistem penulisan naskah. 

Naskah "Patung Kekasih" yang dipentaskan Teater Dinasti, misalnya,  ide awal naskah   merupakan "ngengrengan" dari Simon HT, kemudian dilatihkan dengan sistem dramatic reading (dibaca bersama anggota grup) untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Setelah tahap ini selesai, tugas selanjutnya merupakan penyempurna "isi, misi, dan visi", dikerjakan oleh Cak Nun.  Ide cerita bisa datang dari anggota Teater Dinasti. Naskah "Sepatu Nomor Satu", ide cerita berasal dari Agus Istiyanto, kemudian dikembangkan dan disempurnakan   Simon  HT serta Joko Kamto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun