Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan Tercecer Masa Lalu: Dongengan Sastra dan Kekuatan Sosial Politik

25 November 2022   07:27 Diperbarui: 25 November 2022   07:32 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pada tataran ini karya dan pengarangnya berada dalam suatu konteks sejarah dan masyarakat tertentu, serta dipengaruhi oleh suatu kondisi tertentu pula. Hasil karya pengarang dapat berupa konsensus ataupun penolakkan terhadap konteks sejarah atau kondisi yang berpengaruh. Dengan keluasan wawasan, kejelian, kepiawaian penalaran, ketajaman intuisi, kepekaan sosial, serta kepedulian melakukan verifikasi terhadap kebijaksanaan penguasa dan anggapan-anggapan masyarakat, didukung oleh pemanfaatan bahasa dan pengutaraan yang lugas, maka karya sastra akan memberikan pengertian dan atau pemahaman terhadap masyarakat secara jelas tentang apa yang terjadi di sekitarnya. 

Sastrawan yang  baik akan selalu berhasil melukiskan/mencerminkan zaman dan keadaan masyarakat, serta peta kerakyatan dengan segenap penderitaan mereka. Dengan demikian menjadi sah andaikata dalam karyanya sastrawan mengabstraksikan perlawanan atau koreksi terhadap kekuatan yang berada di luar sastra-dalam konteks pembicaraan ini kekuatan yang dimaksud adalah penguasa sastra, lewat sifatnya yang "pasemon", dapat hadir sebagai wakil dari suara rakyat untuk menggugat penguasa. 

Gugatan tersebut dapat berkaitan dengan pemapanan kekuasaan negara, hegemoni pembangunan, dan lain sebagainya. Goenawan-Mohamad (1992) menulis bahwa sastra merupakan pasemon: semacam sindiran yang sangat halus, yang menyarankan "sesuatu yang bukan sebenarnya tetapi mendekati sifat tertentu". Jadi, dalam pasemon makna hadir bukan dengan menceritakan sesuatu "sebagaimana adanya", tetapi dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan. 

Dengan kata lain sastra dapat dipahami dengan melihat sejauh mana dia mampu merepresentasikan dan atau memisrepresentasikan kenyataan atau ideologi yang dominan. Sebagai contoh kita cermati cerita pendek "Palaran" (karya Indra Tranggono, dimuat dalam Kompas, 4 Januari 1994) dan "Sukab" (karya Agus Noor, dimuat dalam Kompas, 28 November 1993). 

Kedua cerpen itu tampil sebagai resistensi terhadap hegemoni negara dan pembangunan. Eksistensi negara dan pembangunan yang hendak dimapankan, dipersoalkan dan digugat dalam kedua cerpen itu. Cerpen "Palaran" berkisah tentang Adipati Anom, seorang penguasa kadipaten Padas Lintang. Setelah cukup lama berkuasa, Adipati Anom dibuat resah oleh bunyi gamelan yang mengalunkan gending Palaran: gending yang dimaksudkan sebagai tantangan dan isyarat peperangan kepada penguasa. Sedangkan cerpen "Sukab" bercerita mengenai seorang lelaki desa yang miskin, sehari-hari bekerja sebagai buruh tani (lelaki itu tidak lain adalah Sukab). 

Sekilas kedua cerpen tersebut menceritakan sesuatu yang sangat sederhana; tetapi justeru di balik kesederhanaan itu ada gugatan-gugatan yang mencekam jika pemahamannya dilakukan dari perspektif sastra sebagai pasemon. Dalam cerpen "Palaran", bunyi gending selalu mengingatkan Adipati Anom akan apa yang dilakukannya ketika ia berusaha merebut kekuasaan dari tangan Adipati Sepuh (yang dianggap tidak becus memimpin Padas Lintang) Adipati Anom ingat bagaimana usaha perebutan kekuasa itu membuat Padas Lintang berubah menjadi lautan darah: mayat Adipati Sepuh dan ribuan rakyat terapung di atasnya. 

Kini setiap kali mendengar bunyi gending Palaran, Adipati Anom merasa cemas, jangan-jangan keturunan Adipati Sepuh akan menlakukan balas dendam. Untuk mengatasi kecemasannya, Adipati Anom memerintahkan Tumenggung Sendika Dawuh menyebarkan mata-mata ke seluruh Kadipaten Padas Lintang, mencari sumber suara gamelan dan menangkap orang-orang yang berani mengalunkan gending Palaran.

Dalam konteks Indonesia Orde Baru, makna cerita "Palaran" sarat dengan pasemon. Walaupun tidak persis sama, kemunculan Megawati-yang oleh banyak pengamat dikatakan sebagai fenomena pasang naik politik arus bawah-dalam batas tertentu dapat dipandang sebagai semacam "palaran" terhadap kekuasaan negara Orde Baru. 

Jika dalam cerpen itu negara dipersonifikasikan lewat diri Adipati Anom-merespon apa yang dipandang sebagai "palaran" dengan teror secara langsung, maka negara Orde Baru merespon suara-suara (dan gerak-gerik) politis yang dianggap sebagai "palaran" dengan retorika-retorika yang mengingatkan akan munculnya kembali bahaya-bahaya seperti "ekstrim kiri", "ekstrim kanan", dan sebagainya. 

Paralelisme lain antara cerpen "Palaran" dengan negara Indonesia Orde Baru adalah pengatasnamaan keamanan yang berkaitan dengan stabilitas nasional sebagai upaya memapankan kekuasaan. Atas nama keamanan, Adipati Anom menyita seluruh gamelan di Kadipaten Padas Lintang. Pasemon di dalam "Palaran" berpuncak pada gugatan terhadap pemapanan kekuasaan. Matinya Adipati Anom karena teror  menyangkut ancaman-ancaman terhadap kekuasaannya, dapat dimaknai sebagai simbolisasi dari proses pembusukan politik karena penguasa hanya memikirkan bagaimana mempertahankan dan memapankan kekuasaan tanpa memikirkan secara sungguh-sungguh masalah suksesi kepemimpinan. 

Di sisi lain, cerita "Sukab" mulai bergerak ketika para utusan dari kecamatan datang ke dukuh Klampok dan memerintahkan agar pedukuhan itu segera dikosongkan karena akan dibangun bendungan, warga pedukuhan harus bersedia ditransmigrasikan. Sejak itu Sukab sering bermimpi aneh, ia ditemui seorang lelaki tua gagah dan maha sakti, Ki Sardodok, tokoh cikal bakal pedukuhan Klampok. Seorang warga lain, Mang Srawang, ternyata juga sering bermimpi ketemu Ki Sardodok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun