Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan Tercecer Masa Lalu: Dongengan Sastra dan Kekuatan Sosial Politik

25 November 2022   07:27 Diperbarui: 25 November 2022   07:32 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Herry Mardianto

Buku sastra bisa dibredel tapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan. Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutupi kebenaran adalah perbuatan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi. (Seno Gumira Ajidarma)

/1/

Tidak terlalu salah jika ada yang mengatakan bahwa perkembangan kesusastraan sebagai fenomena kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari berbagai ketergantungan dan rekayasa. Fenomena ketergantungan dan rekayasa kehidupan sastra Indonesia terhadap "kekuatan" di luar dirinya sendiri mulai terasa sejak kasus heboh sastra tahun 1968 muncul kepermukaan, disusul oleh pertarungan sengit antara kelompok sastrawan pendukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)-yang menekankan komitmen sosial dalam berkesenian-dengan kelompok sastrawan pendukung . 

Manifes Kebudayaan pernyataan seniman Indonesia yang menegaskan hak seniman untuk terbebas dan tekanan politik; diteruskan dengan pelarangan buku-buku Pramudya Ananta Toer, tidak diizinkannya Rendra membacakan beberapa puisi, pelarangan pementasan N. Riantiarno maupun Butet Kertarejasa, dan sebagainya. Pada umumnya alasan pelarangan itu tidak begitu jelas dan tidak ada pihak yang berupaya menjelaskannya. 

Menurut Sapardi Djoko Damono (1994) beberapa pelarangan yang terjadi di Indonesia terutama ditujukan kepada pementasan dan pembacaan di depan khalayak ramai, sedangkan karya sastranya sendiri tidak begitu dipersoalkan. Sikap itu didasari oleh anggapan bahwa masyarakat Indonesia masih cenderung dengan kebudayaan lisan sehingga mendengar sastra dianggap lebih efektif, dan oleh karenanya bisa lebih membahayakan ketenteraman umum dibandingkan dengan kegiatan membaca sastra. 

Kekacauan pementasan kelompok musik Kantata Takwa Samsara, misalnya, membuktikan bahwa budaya mendengar memang lebih efektif untuk menciptakan keonaran Pementasan Kantata Takwa (6 Juli 1998) yang dikaitkan dengan Istigotsah warga NU se-Jabotabek, mengambil tempat di Parkir Timur Senayan, dihadiri oleh ratusan ribu massa "partai" Iwan Fals (meminjam istilah Garin-Nugroho), direncanakan akan menyajikan 28 lagu dan 6 puisi, terpaksa terhenti setelah lagu kesepuluh-Asmaragama-diperdengarkan. Menurut laporan Kompas (7 Juli 1998), kekacauan dipacu oleh penampilan Rendra dengan sajak "Kecoa Pembangunan". 

Rendra tampak sengaja memberi penekanan pada larik-larik tertentu dan penonton pun seperti tersulut. Mereka berteriak sambil melemparkan botol plastik bekas kemasan minuman ke udara sembari memberi tepuk tangan dan mengulangi kata-kata yang disuarakan Rendra: Kecoa-kecoa pembangunan/Kecoa bangsa dan negara/Lebih bahaya ketimbang raja singa. Meskipun puisi "Kecoa Pembangunan" disinyalir merupakan simultan dari kekacauan yang terjadi, tetapi sampai hari ini tidak ada persoalan terhadap puisi tersebut. 

Diskusi yang berkembang kemudian lebih dikaitkan dengan "kejanggalan-kejanggalan" yang terekam lewat sembilan   kamera video yang meliput seluruh sisi pertunjukkan. Simpulannya, ada rekayasa yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan Pentas Kebudayaan Kantata Takwa.

Garin Nugroho dengan tulisannya "Selamat Datang Partai Iwan Fals!" (Kompas, 12 Juli 1998) menilai kekacauan itu sebagai cermin masyarakat yang kehilangan panduan untuk mewujudkan hak-hak individu karena selama 32 tahun tidak pernah mengalami hak-hak keadilan, tak pernah dapat mendeskripsikan dan memahaminya. Yang muncul di tengah semangat reformasi adalah perwujudan setiap keinginan sekaligus ketidakpercayaan terhadap berbagai panduan oleh berbagai bentuk kepemimpinan.

/2/
Dalam tegangan antara sastra, rekayasa, dan kekuatan yang ada di luar dirinya, sastra merupakan bagian dari kerja manusia sebagai makhluk sosial, di mana mental masyarakat diolah kembali ke dalamnya. Pengarang sebagai individu yang lahir sebagai makhluk sosial menghasilkan karya yang diperuntukkan kepada makhluk sosial yang lain (pembaca). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun