Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya "Asal Bapak Senang" (ABS)

31 Maret 2019   13:28 Diperbarui: 31 Maret 2019   22:49 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari http://www.satuharapan.com

Nyatanya masih ada juga kasus pejabat tertangkap suap. Lepas dari investigasi lebih jauh, dan saya tidak kompeten untuk melakukan investigasi semacam itu, pengandaian saya masih ada tindak suap, korupsi, dan kebiasaan asal bapak senang itu. Tapi ada perbedaannya, apa yang terjadi sekarang dengan apa yang terjadi jaman dahulu.

Kalau dahulu hal itu dianggap wajar dan bukan sebuah kejahatan, sekarang sudah dipastikan sebagai tindak kriminal. Kejahatan luar biasa malah. Lepas dari kenyataan dan juga opini yang terbangun di dalamnya apakah masih semacam itu atau tidak. Sekarang kenyataannya entah kawan entah lawan dari pihak eksekutif sekarang, yang pasti semua ditangkap tanpa pandang bulu. Ini jelas sebuah kemajuan.

Dahulu, orang yang mau melawan korupsi seperti Jenderal Hoegeng, malah justru disingkirkan secara struktural. Artinya secara birokratis dia dibuang karena sikapnya yang anti korupsi. Sekarang kasus serupa juga ada, dengan bermacam dalih, tokoh tokoh yang anti korupsi malah justru disingkirkan dengan dalih demokrasi. 

Masalahnya memang kejahatan kalau dilakukan bersama sama itu seakan akan menjadi benar. Sebaliknya, orang benar kalau sendirian malah banyak musuhnya. Mungkin itu juga yang sekarang terjadi, maaf saja, dengar curhatan banyak orang termasuk para abdi negara. Banyak yang mengatakan karena kerja mereka sekarang kelewat berat, terlalu spaneng, padahal kita ini negeri yang kaya masak kerjanya harus ditekan tekan. Mbok ya yang nyantai saja (mungkin seperti jaman dahulu). Kerja datang dan pergi sesukanya. Eh, seperlunya. Itupun uangnya sudah besar.

Secara politis tetap saja ada orang orang yang penjilat semacam itu, tergantung siapa yang didukungnya dan siapa yang lebih menguntungkan. Misalnya sekarang ketika sedang ramai ramainya pilpres misalnya, kalau ada tokoh yang menyampaikan pernyataan kontroversial kok ya yang membela orang lain, membuat klarifikasi orang lain. Baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo.

Kenapa tidak orangnya langsung? Mungkin pertimbangannya adalah nanti terlalu habis waktunya untuk klarifikasi. Padahal semua yang dibicarakan hampir pasti mengundang kontroversi karena memang apa yang keluar dari mereka menjadi pusat perhatian.

Tapi ya, itulah hakikat pejabat publik yang mestinya harus mau untuk dokritisi. Masalahnya sekarang itu, dalam banyak hal bukan sikap kritis yang muncul dikedua belah pihak, tapi kedangkalan kritis. Pernyataan dan sikap dipotong potong lalu dimaknai sendiri dibangunkan opini yang entah bagaimana harus sesuai dengan kepentingan pembuatnya.

Tapi juga kalau kita lihat, mereka yang kampanye juga ABS saja, asal bapak senang. Asal pemilih senang saja, masalah bisa ditepati atau tidak nomor sekian. Tapi kebiasaan mereka ya begitu, kan? Lihatlah betapa banyak kampanye yang tidak masuk akal sekedar membuat penyataan pernyataan yang menyenangkan meskipun jelas jelas tidak bisa mewujudkannya.

Imbas Pendidikan yang Salah Arah

Sebenarnya mau saya tulis dalam bagian tulisan tersendiri tentang hal ini. Tapi gini ya, pendidikan kita itu kan lebih menekankan keseragaman mulai dari pakaian sampai cara berfikir, menekankan kepatuhan (semu) dan ketertiban berfikir. Pertanyaan, kritis, ditiadakan. Kedalaman nihil. Padahal dalam teori pendidikan apapun cara semacam itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini lebih bisa dilihat sebagai cuci otak dibandingkan dengan pendidikan.

Hubungannya dengan kebiasaan ABS apa? ya, sistem kepatuhan, sistem keseragaman semacam inilah yang menjadikan kita itu munafik. Berpura pura patuh demi mendapatkan pujian atau nilai yang baik. Padahal di dalam dirinya ada sesuatu yang mengganjal. Atau kemudian terpaksa untuk patuh daripada menerima konsekwensi yang tidak baik. Atau, sejauh saya merasakan baik sebagai seorang pimpinan perusahaan, maupun sebagai seorang pengajar, merasakan betapa karyawan maupun mahasiswa itu 'malas berfikir'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun