Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya "Asal Bapak Senang" (ABS)

31 Maret 2019   13:28 Diperbarui: 31 Maret 2019   22:49 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari http://www.satuharapan.com

Dalam debat semalam ada satu hal yang cukup menarik, budaya asal bapak senang. ABS. Penjilat. Sebagai budaya, bikin meringis hati ini. Setara dengan budaya korupsi.

Takutnya nanti koruptor dan juga penjilat birokrasi nanti merasa diri sebagai budayawan. Karena tindakan mereka disebut sebagai salah satu budaya masyarakat. Tapi sebenarnya, baik di lingkaran kubu 02 dan 01 ada juga penjilat penjilat birokrasi.

Buktinya, kalau pilihan mereka melakukan kesalahan, segera yang membuat klarifikasi dan pembelaan adalah para loyalisnya. Mereka seperti ingin menyenangkan jagonya. Pilihannya. Prabowo menyampaikan pengalamannya dulu di militer, bayangkan militer saja ada kebiasaan, saya sebut kebiasaan sajalah ya, daripada disebut kebudayaan, untuk ABS. Apakah jaman sekarang juga masih ada?

Ada beberapa peristiwa yang mau saya acu untuk membaca hal tersebut. Pemangkasan birokrasi dalam arti tertentu sudah sangat berhasil di jaman sekarang. Seorang guru, pensiunan pegawai negeri, bercerita dalam kesempatan bersharing komunitas.

Sebagai pegawai negeri, dahulu bahkan kalau ambil gaji saja, selalu ada amplop amplop yang harus diberikan kepada petugas. Lebih dari dua meja untuk dilalui dalam pengambilan gaji dan masing masing harus diberi amplop. Isinya uang tentu saja. Ada amplop didahulukan dan dipermudah pengambilan gajinya. Baru pada akhir akhir beliau menjelang pensiun belum lama ini, cara cara semacam itu sudah tidak ada lagi. Cerita dari seorang mantan guru SD.

Beda lagi ceritanya dengan seorang ibu juga, yang punya banyak sekali tanah di Jakarta, dia dulu menjabat direktur BUMN sekarang masih dipekerjakan sebagai konsultan perusahaan multinasional. Dia bercerita, dahulu, lagi lagi dahulu, ketika menjabat sebagai direktur BUMN, "saya itu mau uang berapa saja mas... gampang... orang setiap tanda tangan selalu ada uangnya. yang namanya bungkusan uang itu numpuk numpuk. Tapi semenjak menjelang pensiun (hampir sama ya dengan yang tadi) cara kerja semacam itu sudah tidak ada lagi, saya ikut senang sebenarnya meskipun tentu saja pemasukan berkurang"

Waktu itu saya menyahut, "Ah... ibu baru setelah mau pensiun bertobatnya..."

"Hahaha... itulah sekarang saya sekarang membuat silih, tobat, saya memberikan banyak amal." Dan memang amal yang diberikan baik kepada ormas maupun individu sangat besar dari beliau ini.

dahulu, segitu-girunya berusaha menyenangkan atasan tapi sekarang situasinya berubah. terutama sejak ada pemangkasan birokrasi yang dahulu berbelit belit. Terutama dengan adanya sistem ebudgetting. Dalam birokrasi pemerintahan juga sudah dipangkas sedemikian rupa sehingga ada harapan ke depannya jauh lebih baik. Misalnya kita mendengar juga dulu akrab dengan istilah 'damai' kalau ditilang polisi. Nyatanya sekarang hal tersebut sudah bisa dipastikan tidak ada lagi. Setidaknya sekarang suara suara 'perdamaian' semacam itu sudah tidak terdengar lagi.

Tetap Ada

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun