Pembagian rapor telah usai. Namun bagi sekolah swasta, ini bukanlah akhir, justru awal dari kecemasan tahunan: akankah masih ada siswa baru di tahun ajaran mendatang?
Setiap tahun, Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) menjadi penentu nasib bagi ribuan sekolah swasta. Sayangnya, pelibatan SMA swasta dalam sistem ini masih bersifat kosmetik. Di SPMB tahap 1, porsi domisili 35%, afirmasi 30%, dan mutasi 5% memang tampak inklusif. Namun ketika swasta ditempatkan sebagai pilihan ketiga, realitasnya menjadi terang: ini hanyalah formalitas agar calon siswa bisa lanjut ke tahap berikutnya. Orangtua tidak sungguh-sungguh memilih. Dan ketika nama anak mereka ditempatkan di sekolah swasta, berbondong-bondonglah mereka mencabut berkas demi bisa ikut SPMB tahap 2 : jalur prestasi yang masih menyisakan 30% kuota.
Ini bukan cerita baru. Tahun lalu pun sama. Dan kemungkinan besar akan terus terulang, selama regulasi ini tidak dievaluasi secara menyeluruh. Lebih menyakitkan lagi ketika ada bisik-bisik soal "jalur belakang" atau istilah halusnya "jalur donasi" --- praktik yang tidak hanya mencederai keadilan pendidikan, tapi juga menimbulkan ketimpangan di lapangan. Tak ada yang mau membicarakannya secara terbuka, tetapi semua tahu itu nyata.
Penderitaan SMA swasta tak berhenti di PPDB. Ketika siswa kelas X mulai merasa betah di sekolah swasta, datanglah gelombang mutasi ke sekolah negeri saat naik kelas XI. Entah karena tekanan ekonomi, prestise, atau rayuan tidak langsung, sekolah negeri yang sebelumnya hanya menerima 9 kelas kini membuka 10 kelas di tengah tahun ajaran. Tambahan ini bukan tanpa korban, korban itu adalah sekolah swasta yang ditinggalkan muridnya satu per satu.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka SMA swasta akan terus menjadi pelengkap penderita dalam sistem pendidikan nasional. Padahal, banyak sekolah swasta yang sudah bekerja keras membangun sistem pembelajaran yang baik, meningkatkan mutu guru, dan bahkan berinovasi dalam layanan pendidikan.
Pertanyaannya kini bukan lagi soal siapa yang salah. Tapi:
Apakah kita serius menjadikan pendidikan sebagai hak semua, atau hanya memperkuat sistem dua kasta: negeri yang dielu-elukan dan swasta yang dilupakan?
Jika jawaban kita masih kabur, maka bersiaplah menyaksikan makin banyak sekolah swasta yang tutup, bukan karena tak berkualitas, tapi karena tak diberi ruang untuk bersaing secara adil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI