Mohon tunggu...
Literasi Kata
Literasi Kata Mohon Tunggu... Bukan Terikat

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Roman

Perempuan Penjemput Subuh

10 Agustus 2024   22:46 Diperbarui: 10 Agustus 2024   23:32 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5. Peluang


Fatimah terus memainkan gas pemacu kendaraannya, melewati kota Banjarmasin. Jalanan nampak ramai seperti biasanya.
Dewie yang sebulanan ini telah bergabung di organisasi FSDI jujur tak pernah jalan malam. Dewie ngin sekali tahu bagaimana kegiatan penduduk di Banjarmasin. Kini ia tertegun, melihat betapa kerlap-kerlip lampu yang terang benderang menyinari jalanan. Jajanan pedagang kaki lima semakin banyak memadat di tepi jalan.
Menyusuri jalan Pasar Lama. Kerumunan pejalan kaki merangsek ketengah untuk berjalan. Sifat egois yang tinggi membuat mereka menyepelekan peraturan. Akibatnya motor semakin tergeser menumpuk di tengah jalan. Sulit berjalan. Macet dan sesak bernafas. Sebagai pembonceng, tentu penat tidak terlalu ia rasakan. Fatimah yang kelihatannya lelah. Motor Beat biru yang ditungganginya telah membuat tubuhnya meliuk ke kanan dan ke kiri. Pegal tampaknya.
Klakson terus berbunyi, mengisyaratkan pengendara lain untuk segera cepat berjalan atau ke pinggir. Lampu merah berganti hijau. Padat jalan tetap saja tidak berubah. Fatimah masih saja melenggokkan badannya, walau motornya telah berjalan lambat.
Belok kanan, dan Fatimah membawa Dewie melewati daerah yang bernama Pantai Jodoh. Motor  Beat itu berjalan kian melamban mengamati keadaan sekitar.
Coba kamu lihat Wie..? muka Fatimah mengarah ke samping kiri dengan diiringi dagunya yang maju menunjuk.
              "Pasangan muda-mudi tengah asik bercengkrama dengan pasangan yang berlaian muhrim. Bertatap-tatapan menggunakan nafsu. Mereka sadar Wie, tapi asumsi mereka adalah hidup masih muda. Memang musuh sebesar-besarnya musuh adalah nafsu. Nabi Muhammad pun mengakuinya. Lebih dahsyat berperang dengan nafsu bila dibandingkan dengan perang Badar sekalipun.Sedikit yang bisa menahan nafsu, harus berpegang teguh pada akidah sehingga tidak lena dengan rayuan" kata Fatimah.
                "Iya..kamu benar  Mah?" tukas Dewi kurang fokus.
                 "Betul betul ramai. Jadi yang sering aku dengar nongkrongn di Pantai Jodoh itu di sini to ternyata. Apa orang tua mereka tidak peduli yo Mah?"
                  "Orang tua mereka bervariasi sikap Wie. Setahuku ada yang memang telah menasihati anak-anaknya, khususnya cewe untuk belajar, dan hanya jalan-jalan pada siang hari. Namun namanya juga anak muda Wie..? turun naik nada suara Fatimah seperti keheranan.
                Dapat hasutan dari teman cowonya, ya sudah. Seperti murid yang pintar membuka contekan; mereka pun lihai mencari alasan. Ada juga Wie yang orang tuanya memang cenderung sibuk dengan kerjaannya. Jadi anknya menemukan pendapat dan kepercayaan sendiri. Lihat itu Wie? sambil menujuk ke sudut jalan yang terdapat kerumunan anak punk. Mereka sebenarnya banyak dari keluarga mampu Wie lanjut Fatimah menjelaskan.
                      " Coba lihat lagi" dagu Fatimah maju memberi isyarat. "Pakaian mereka itu rata-rata harganya lebih duaratus lima puluh riu?.
               Yang mirip pakaian orang gila itu Mah? sangkal Dewie tak percaya.
Benar, aku tidak bohong. Dulu temanku ada yang ikut community seperti itu. Dia bilang sendiri:  jika untuk dapat berpenampilan seperti anak Punk, ya memang rata-rata rombakan baju sampai celana serta asesorisnya, itu lebih tiga ratus ribu Wie. Wah mahalnya Mah..? Dewie terkagum.
Fatimah memang punya pengetahuan luas. Apalagi ia sudah semester 6 jauh di atas Dewie. Senior. Fatimah sangat sering bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang ia ketahui. Seperti saat ini dan Dewie pun sebagai penikmat informasi, dia sangat suka mendengarkannya.
Motor melaju tetap lamban dengan kecepatan 20km/jam. Mereka berdua masih mengamati keramaian di Pantai jodoh. Sebentar kemudian mereka telah melewati tempat itu dan beralih melintasi siring Sabilal Muhtadin.
Keadaan Siring juga tidak kalah dengan Pantai Jodoh. Ramai dan berbagai community mulai dari anak Alay, anak sepeda pikcy, community dari berbagai STM dan perbengkelan serta bermacam-macam lainnya. Masing-masing berkumpul dalam kelompoknya. Ada yang membawa spanduk dan dijemur di tepi jalanan sebagai tanda jika itulah slogan atau nama dari geng mereka.
Beragam komunitas tersebut juga tidak luput dari perbincangan Fatimah dan Dewie. Namun mereka sepakat berpendapat kalau di tempat ini keadaanya lebih terkontrol daripada di Pantai Jodoh tadi. Setidaknya mereka berdua hanya menemukan kegiatan ngobrol dan jalan-jalan bersama di lokasi itu. Sedangkan di Pantai Jodoh, yang pencahayaannya tidak terlalu terang. Redup remang-remang, mereka menemukan banyak muda-mudi menuruti gaya Amerika. Berbuat sesuatu yang berbau kebebasan. Kemerdekaan berekspresi dan Kebarat-baratan.
Perbincangan tentang beaneka komunitas yang mereka temukan di Siring tidak terlalu lama. Sebab perbincangan mereka lebih tentram ketika topik yang dibahas adalah keagungan masjid yang megah Sabilal Muhtadin.
Dewie sebenarnya pernah salat di masjid yang sering ia lihat di televisinya itu, tepatnya dalam stasiun channel TVRI. Namun sekali lagi, hal tersebut ia lakukan pada siang hari, dan untuk malam ini, matanya terlihat berbinar melihat agungnya Masjid Raya itu. Lampunya terang. Cerah bercahaya menentramkan.
Pulang nanti kita singgah di depan Masjid itu ya Mah?, Indah banget lampu-lampunya pinta Dewie dengan tidak melepaskan pandangannya ke arah samping-samping masjid.
Gampang Wie..nanti pulang dari toko buku kita singgah di situ balasnya sambil membelokkan motornya kekiri, menuju jalan Veteran;  di mana lokasi toko buku itu berada.
Jalan Veteran juga tak kalah ramai dengan jalan Pasar Lama tadi. Tapi untuk kepadatannya tentu lebih padat jalan Pasar Lama.
Di jalan Veteran, Dewie melihat banyak pedagang kaki lima. Tapi wajah-wajah mereka seperti bukan asli orang Indonesia. Sipit matanya dan putih rupa mukanya. Lebih mirip Cina. Dan banyak. Mereka ramai dengan beragam kegiatan.
Belok kekiri, dan tibalah mereka berdua di toko buku. Motor di parkir di samping toko kemudian masuklah mereka ke dalam toko tersebut.
Bau AC menyambut cepat kedatangan Fatimah dan Dewie mengalahkan sambutan dari para SPG yang berdiri menghadang di samping pintu utama.
Di dalam toko, keduanya memisah dengan pencarian buku yang berbeda-beda. Dewie berpindah-pindah dari satu jenis rak buku ke rak buku lainnya. Mencari-cari hal yang membuat dia tertarik. Sementara Fatimah sudah asik duduk dengan sikap kosentrasinya membaca sebuah novel yang dia sukai.
Tak lama berselang, saat Dewie sedang asik memilah-milah buku.
Hey..kelihatan serius banget membaca buku masak-memasaknya. Koki ya,,?.
Terkejut Dewie tatkala seorang pemuda yang tiada ia duga mengusik kosentrasinya. Pemuda tinggi dengan kemeja hitam dan kulit putih. Dewie tak mengenali sama sekali pria itu. Dari raut wajahnya terlihat ia lebih tua berapa tahun darinya. Mungkin seumuran Sigit.
Oh,,enggak..?" ucapnya dengan senyum dan sedikit menunduk malu. Aku cuma suka dengan cara penyajiannya. Cantik?.
Iya..benar" tukas pemuda itu ikut menatap isi buku yang terkulai di lengan Dewie. "Seperti acara yang ada dalam televisi Master Chef saja ya."
Dewie hanya mengangguk  terus fokus melihati anaeka hidangan yang tersaji dalam buku masak tersebut.
Kalau tidak mengganggu, boleh aku kenalan dengan kamu? pinta pemuda itu dengan senyum lesung pipitnya.
"Ooh ndak mengganggu kok, boleh..? .
Dewie mengiyakan permintaan  pria tersebut, bukan karena ia memandang bahwa cowo yang berdiri di sampingnya itu tinggi gagah dan tampan. Melainkan karena ia berprinsip, berteman dengan siapa saja selama teman barunya  tidak membawa dampak yang negatif baginya, itu adalah pencerminan dari sikap Nabi. Selalu ramah dengan siapa saja yang telah ramah dahulu kepadanya. Itulah sebabnya kenapa ia mengamini kehendak pria berkemeja hitam itu.
Melayangkan tangang kedepan untuk bersalaman, pria berkemeja hitam itu memperkenalkan dirinya Aku Irwan., Kamu sendiri siapa namanya ?.
"Dewie" sambil senyum tanpa memblas jabatan tangan.
Irwan dengan sikap sopan dan murah senyumnya membawa Dewie berbincang-bincang panjang. Mereka berdua duduk di kursi yang lapaknya terbuat dari busa hitam.
Diketahui bahwa Irwan  juga seorang mahasiswa semester 4. Ia kuliah di UNIN Banjarmasin dan mengambil jurusan Seni. Irwan  anak Banjarmasin asli. Rumahnya di daerah Pekapuran.
Entah perasaan apa yang dialami Dewie saat itu, pemuda yang baru dikenalnya  tersebut terlihat nyaman di pikirannya. Dari cara dia berbahasa, seperti benar-benar mengerti tata cara sikap yang diinginkan Dewie.
Topik tentang pergaulan ia menguasai, topik mengenai sikap ia tahu, dan topik tentang agama pun Irwan begitu membuat Dewie merasa betah. Sungguh unik pria ini. Pintar dan berwawasan, Dewie tertegun, mukanya polos mengamati Irwan yang masih bercerita di sampingnya.
Terus bercerita Irwan, hingga membuat Dewie lupa untuk mencari tujuan pokoknya.
Wie? panggil Fatimah. Cukup sudah oi.. ujarnya dengan senyum-senyum.  Ngobrol terus yang berdua ini?? sambil menggawil pundak Dewie.
Dengan sedikit terkejut seperti teguran pertama dari Irwan, Dewie pun menjawab astaghfirullah ..kagetnya aku Mah.
 Iya kagetlah ngelamun kok..,siapa itu Wie? dagunya menjulur sedikit ke arah Irwan. Ini Irwan orang UNIN.
Fatimah dan Irwan pun berkenalan.
Wie.., kita pulang yo. Kayaknya sudah larut? kata Fatimah. Terus jadi enggak kamu mau ke Sabilal tadi" lanjutnya lagi.
 Ooh..iya,  benar-benar lupa aku Mah, ya sudah ayo, kita pulang setujunya.
Kamu tidak beli buku Wie? tanya Fatimah lagi.
Ah..kapan-kapan saja,  belum ada yang menarik Mah"  tukas Dewie dengan bercanda-canda.
Ooh??.
"Wan? panggil Dewie. Dan Irwan pun secepat angin langsung merespon dengan menatap Dewie yang sejak percakapan dengan Fatimah tadi, posisinya berdiri membelakangi Irwan.
 Kami duluan ya
. Oh iya hati-hati saja Wie.  Eh sebentar dulu sela Irwan.
Pemuda itu mendekati Dewie dan berbicara sedikit, lalu mempersilahkan Dewie lagi untuk pulang dengan berbalas-balasan senyum.
Mereka berduapun meninggalkan toko buku  lalu menuju masjid.
*
Beberapa hari ini ada perubahan yang sungguh Dewie rasakan. Tiap waktu HP Dewie selalu sibuk berbunyi. Bahkan mengganggu teman kosnya yang bersebelahan kamar. Dahulu HP Dewie selalu penuh dengan kotak masuk Sigit di Wa. Kini  Sigit sama sekali tak pernah memberi kabar atau bahkan ucapan manja setelah dan sebelum tidur kepada Dewie. Tapi Dewie tetap biasa menghadapi situasi ini. Baginya ini yang terbaik walau kadang ada juga perasaan bersalah dan rindu dengan guyonan Sigit.
Pagi itu Dewie yang sedikit kesiangan bangun karena hari minggu. Terlihat jari-jemarinya memainkan keyboard HP. Mata dan raut mukanya tak mampu menyembunyikan keriangan yang tengah melandanya. Sigit kah itu yang membuatnya sibuk. Bukan, kali ini Dewie sedang senang karena canda-canda yang dikirimkan Irwan, teman barunya itu.
Hari-hari yang lalu ketika di toko buku sebelum berpisah tentu Irwan meminta nomor WA Dewie di penghujung pembicaraan. Dewie pun memberikannya.
Sekarang keduanya tampak akrab. Tidak ada yang membosankan dari cara Irwan mengungkapkan isi ceritanya, Dan benar, Dewie selalu dibuat cekikikan karena leluconnya.
Hingga pada inti cerita yang disuguhkan. Pemuda tersebut ingin mengajaknya makan di luar. Awalnya Dewie tidak mau menerima tawaran itu, ia tetap konsisten pada prinsipnya. Dewie tak ingin menimbulkan perasaan yang lebih di hati Irwan. Semuanya atas dasar persahabatan. Tidak lebih.
Tapi Irwan tetap tenang. Dalam pesan singkatnya ia terus memberi Dewie perhatian, saran-saran, motivasi, dan tidak marah ketika usulnya untuk jalan bersama dipatah terus oleh Dewie. Ia sabar lebih sabar daripada Sigit.
Di suatu kesempatan, Dewie mencoba minta pendapat dengan Fatimah tentang pria yang dikenalnya di toko buku beberpa hari yang lalu. Pendapatnya bagus dan ia memberi saran agar Dewie mencoba untuk membuka kesempatan bagi Irwan. Siapa tahu memang ia hanya ingin bersahabat dengan Dewie.
Dewie mengiyakan gagasan sahabatnya tersebut. Meski masih bimbang-bimbang langkahnya, namun Dewie percaya jika ucapan kawannya itu ada benarnya l. Tidak baik berprasangka jelek dulu kepada orang sebelum mata melihat dan telinga mendengar.
*
Suatu malam,  Dewie menyetujui ajakan Irwan. Berjalanlah mereka berdua menikmati hingar-bingar kota Banjarmasin.
Hati Dewie serasa melihat kehidupan yang indah menyenangkan. Irwan membawanya keliling Banjarmasin. Melewati pemukiman dengan cahaya lampu berwarna-warni dan berbagai gedung pertokoan serta perbelanjaan  yang semakin membuat gadis itu beraut muka gilang-gemilang. Dewie tak pernah melalui jalanan ini. Yang ia tahu, setiap ia keluar dari kos-kosannya hanya toko buku tujuan akhirnya.
Di penghujung malamnya, Irwan membawa Dewie untuk makan di salah satu kafe. Ruangan kafe itu mungil dan sederahana. Akan tetapi cahaya lampunya yang beraneka warna, kerlap-kerlip sungguh membuat kafe itu serasa kelas elit. Letaknya di pinggir sungai dengan lantunan tembang lembut dari pemain organ tunggal. Nuansa itu membuat hati Dewie kian larut dalam udara sayup-sayup asmara tersebut. Mereka kemudian memilih kursi yang kosong di tepian sungai yang bisa menghirup langsung udara dingin dari malam. Kursi kafe itu pun sengaja dibuat bundar dengan payung-payungan di atasnya. Hal itu membuat  mereka duduk bisa saling bertatap-tatapan.
Malam itu Irwan bercerita lebih spesifik lagi tentang kehidupannya.
Inginku sih berusaha mandiri" ujar Iwam sambil kedua siku tangannya bertopang pada meja lalu lengannya tegak. Jari-jari tangan kanannya menjalin-jalin  dengan jari-jari tangan kiri seperti anyaman. "Aku pernah kuliah sambil bekerja, namun tak tahan oleh karena semua peluhku tak pernah dianggap bosku"imbuhnya bercerita.  
Di mana kamu bekerja Wan? tanya Dewie.
 Aku bekerja sebagai tukang cuci piring di hotel saja, lumayan juga gajihnya. Punya bos Cina tutur  Irwan dengan muka sedikit kesal, mengingatnya.
Pernah aku kala itu begadangan karena jam telah sampai pada pukul 3 pagi. Itupun baru saja aku usai mencuci piring, dan entahlah. Mata ini seperti punya nalurinya sendiri. Tertidur aku sejenak, karena lelah. Bayangkan saja" urai Irwan sambil menatap tajam Dewie yang duduk di hadapannya. "Aku kerja mulai jam 7 malam sampai kadang ke pagi hari. Wajarlah bila aku kelelahan.  Tapi Tachi  itu benar-benar tak pernah paham" ungkapnya sewot. Tampak getar-getar pipi Irwan menahan jengkel.
 Lalu? tanya Dewie singkat.
Ya,  akhirnya aku dimarahi karena teledorku Wie.  Disangkanya aku bermalas-malasan. Akhirnya berujung pada pemecatanku' katanya dengan tidak lagi menatap Dewie. Kini mata Irwan beralih keluar menatap sudut-sudut tempat. Seolah tatapannya itu ialah wujud pembuangan dari semua kesal dari ingatan cerita yang ia suguhkan.
"Kasihannya kamu Wan kata Dewie peduli. Kenapa kamu nekad begadang-begadang  untuk bekerja, padahal orang tuamu mampu untuk membiayaimu? Dewie bertanya lagi dengan mata terlihat berkaca-kaca haru.
Mengambil kentang goreng yang telah tersaji di awal tadi, Irwan menjelaskan lagi
"Aku mencoba untuk tidak tergantung pada orang tua. Ini karena mereka masih kacau balau. Masih harus berbenah-benah. Apalagi ditambah kewajiban mengurus anak, yang menjadi sampingan urusan kedua mereka jelas Irwan.
Tak menyangka Dewie, di kota ramai seperti ini masih ada pemuda yang berjuang tidak hura-hura untuk memajukan diri agar menjadi seseorang yang dianggap di mata orang lain. Utamanya dalam kisah hidup yang dituturkan Irwan, pada akhirnya membuat miris hati Dewie. Ia seperti merasakan juga kesedihan dan tekanan-tekanan  yang dialami Irwan. Hati Dewie seakan terhipnotis oleh silsilah hidup Irwan .
Dewie berjanji akan menjadi teman curhat Irwan yang  sebisa mungkin dapat memberi saran dan masukan positif. Mata lelaki itu tampak berbinar mendengar jawaban Dewie. Hal inilah yang ia harapkan lalu malam pun kian larut membawa dongeng psikologi yang ruwet.
*
Setiap pola pikir manusia terkadang sulit menetap pada satu arah. Berubah-ubah dan tidak elastis dalam penerapannya. Jika sebuah masalah yang padat datang menghantam, pikiran seseorang yang labil cenderung kian mendesak dan menekan. Selanjutnya keegoisan serasa seperti racun mengalir dalam urat menggrogoti semua isi yang dijumpainya. Jejak pendapat dan musyawarah  tidak menjadi jalan utama penyelesaian pelik yang melanda suatu kelompok. Tak mengherankanlah bila sering dijumpai sebuah kelompok, ormas, dan partai-partai yang sering cekcok di dalam satu ikatan organisasinya. Hingga berujung pada pecahnya sebuah golongan. Sebuah ikatan dan sebuah kebersamaan jka sikap egois diri telah memonopoli saraf dan sudah sekongkol bersama nafsu, kehancuran akan melanda. Dibutuhkan tidak hanya saling keselarasan warna dalam tujuan, namun juga kesadaran yag teguh, dan sikap keterbukaan. Inilah yang terjadi di dalam organisasi yang Dewie geluti.
Mulanya hanya karena minimnya anggota-anggota baru yang ikut begabung. Bahkan mungkin tidak ada. Semuanya hanya terdiri dari anggota-anggota lama yang perlahan telah berkurang karena kelulusan kuliah. Kesenjangan anggota itu, kadang juga sering berbuah pada selisih paham dalam kegiatan mengajukan sebuah proposal penyelenggaraan suatu acara. Yang satu ingin demikian, dan yang satu ingin seperti ini. Semua punya presepsinya sendiri-sendiri. Maka perlahan keaktifan anggota mulai menuju ke arah kemunduran. Jarang lagi mereka berkumpul. Hingga berujung pada jalan sendiri-sendiri, berkeinginan sendiri-sendiri dan sesuai pilihan sendiri-sendiri.Singkatnya organisasi FSDI mengalami masalah yang sulit teratasi. Hampir bisa dikatakan bubar karena sepi anggota dan masalah-masalah di dalamnya.
Kini dalam kos-kosan Nilam itu pun hanya terdapat tiga saja anggota FSDI yang tersisa. Yang lain sudah malas-malasan bergabung, dan menjangkau kesBukan masing-masing.  Fatimah sendiri telah lulus beberapa minggu yang lalu. Anggota yang tersisa itupun sebenarnya tetap mencoba eksis, tapi nyatanya tak mampu bertahan juga. Terlalu sedikit ormas dan beban dalam organisasi akhirnya ditelan oleh perorangan..  Kesibukan pribadi pun terus menekan mereka yang membuat organisasi tersebut akhirnya benar-benar lumpuh.
Dewie merasakan semua itu sebagai inti yang menghilang dari kesehariannya.  Mulanya ia juga tetap bertahan, ia yakin mampu mengatasi renggangnya oraganisasi ketika para pejuangnya banyak yang berhenti. Tapi sebagai manusia biasa yang haus akan pendapat dari teman-teman dekat, kerab kali rasa bosan juga selalu datang. Dewi pun mencari pelarian penghilang jenuh. Tapi di mana ia mencari, hendak berjalan motor tak ada. Warnet hanya sepintas menghibur saja setelah itu jemu kembali menerpa. Ingin menelpon Sigit, tak mungkin lagi ia mau untuk meluangkan waktunya menemani Dewie bercerita.
Ujung pikirnya tertuju pada Irwan yang tetap setia menjadi teman berbagi untuknya dan malam itu, berjalanlah mereka berdua.
Teman berbagi curhat berbalik menjadi pencurhat. Dewie menceritakan semua perubahan dan dilema yang ia rasa.
Irwan dengan bijak selalu memberi solusi yang tepat.
Sembahyang malamlah, mungkin itu dapat meringankan keluh kesahmu salah satu nasihat Irwan.
Sebagai pemuda yang merasa telah menemukan kelemahan pasangannya, maka kejenuhan Dewie itu menjadi jalan jitu bagi Irwan untuk lebih mendekatinya. Tentu masih tetap dengan bahasa lembut dan rayuan yang jauh berkarakter ketimbang Sigit.  Irwan menyampaikan maksudnya.
Teman itu berbagi suka dan duka"
              "Maksudnya?"  tanya Dewie bingung.
                Tidak ada maksud apa-apa Wie? katanya rendah.  Hanya ungkapan saja.  Selama kita jalan bareng ini, serasa semua nasihat yang kamu beri ke aku, benar-benar penuh dengan kedewasaan? akui Irwan.
 Jadi pengennya seperti apa Wan? tekan Dewie.
           Yah itu tadi Wie, aku mohon baget semoga kamu memberi kesempatan buatku untuk lebih dekat lagi mengenalmu.
Pahamlah Dewie, semua ungkapan Irwan di malam itu. Ia tidak serta merta menjawab. Dia tunda dan minta diberikan waktu. Ikrar untuk tidak berpacaran sedang teruji untuk kedua kalinya. Dalam kosnya Dewi bingung memilih, ingkar atau tetap teguh mengamalkannya.
Namun jika aku teguh, aku takut bakal membuatnya lari seperti yang sudah-sudah. Ah bingung.
            Begitulah pikiran Dewie menjelang tidurnya. Sekian kalinya masalah seperti ini tak dapat membuat tidurnya nyenyak.  Hatinya terus bergulat lagi dalam  lamunan pilihan.
Tilulilulit..lulit..lamunannnya pecah ketika bunyi nada dering di HPnya menunjukkkn jika ada seseorang yang ingin menghubunginya.
          Siapa jam segini menelpon gumamnya.
       Tangannya meraba-raba dengan malasnya mencari ponsel yang tergeletak di sisi kasurnya.
       Nomor baru, siapa ini matanya tertuju pada layar ponsel yang tertera nomor tanpa foto profil WA.
Assallamuallaikum, ini siapa? sambutnya.
Ini aku Wie Ibumu, sudah tidur toh.
"Hah.?? kaget bercampur sumringah saat Dewie mendengar suara Ibunya menelpon di jam tidur seperti ini. Dewi sama sekali tak mengira ibu menelponnya.
Oh belum bu," jawabnya santun. Ibu pakai HP siapa, jadi jam segini nelpon Dewie
        Tadi siang Bu baru dapat rejeki lebih Ndo..terus temen ibu ada yang pengen nawari HP setengah pakai, setelah tawar-tawaran ternyata dia mau. Sekarang gak usah lagi minjam tetangga hehe.., jelas Bu Sumarni dengan nada ringan ceria. Ibunya senang sekali mendengar suara anaknya.
         Piye keadaan di situ Wie., kamu sehat-sehat aja toh" tanyanya lagi.
         Alhamdulillah sehat Bu"
Kemudian terdengar sedikit cakap-cakap Bu Sumarni dengan suaminya dari spiker HP. Bu Sumarni meminta Pak Darwis untuk gantian ngobrol dengan anak semata wayangnya.
 Berdehem-dehem sejenak, hallo ucap ayahnya gugup.
             Sang ayah memang tak biasa dengan telpon biasa atau WA sehingga ketika ia berbicara di ponsel tersebut, nampak suaranya  tak terkontrol.  
Dewie yang mendengar suara ibu dan bapaknya di malam itu sungguh riang. Lupa lagi ia dengan beban yang menindihnya. Ia tertawa geli mendengar ibu dan bapaknya bertengkar guyon dalam telepon tersebut. Saling salah-salahan dengan bumbu canda yang  sungguh membuat Dewie semakin terpingkal. Suara ayahnya lucu saat di telepon, sengau mirip suara hidung yang tanpa cengkokan bass.
Pembicaran yang berlangsung kurang lebih 20 menitan itu pun usai. Ibunya seperti biasa selalu memberikan petuah-petuah bagi Dewie. Ia mengingatkan agar seberapa letihnya badan dan pikiran, tetap jangan lupa untuk beribadah. Syukur-syukur bila sanggup menagamalkan salat tahajudnya secara rutin karena itulah obat yang ampuh untuk semua permasalahan dan semua hal yang manusia  inginkan.
Selanjutnya Dewie mencoba mengatur kosentrasinya. Mencoba rileks untuk mengistirahatkan tubuh juga saraf.  Di atas busa kasur, badannya sekarang terlihat enteng, tidak geser kesana-kesini lagi. Tidak gelisah dan pandangannya pun mulai redup.
*
Siasat
Jam 01.00 WIB
Dewie bangun dari tidurnya. Empat jam berselang,  nasihat-nasihat yang ia dengar dari Ibunya masih sangat jelas. Beranjak kaki-kaki Dewie yang bersih dari tempat tidur menuju dapur di kosannya. Hendak berwudu. Ingin dia mencoba menjalankan petuah Ibunya itu.
Mengenakan baju piyama dan membuka pintu kamar, udara dingin ternyata masuk ke dalam ruangan. Dewie mendekap bahu-bahunya sendiri untuk menamengi dirinya dari hawa. Pandangannya sipit oleh kantuk.  Sering sesekali ia menguap dan tangan kanannya juga berpindah lagi menggaruk-garuk rambut. Dewie terus berjalan.
        Ini hanya uap setan yang mencoba merayunya agar tidak sembahyang, gerutu Dewie  yang sedikit banyak jengkel karena terus menguap. Berat benar memulai sebuah aktivitas yang banyak berpahala. Beda dengan melakukan kegiatan yang berbau sara, sungguh cepat dan tak terasa. Terus ingin tambah dan benar-benar tak kenyang.
Melewati jalan yang di samping kiri dan kanannya adalah kamar teman-teman Dewie, terasa sungguh lengang ruangan itu. Langkah kakinya gontai menuju kran air. Satu persatu pintu kamar ia lalui, namun langkah kakinya tepat terhujam dan tidak bergerak melangkah lagi pada sebuah kamar. Telinganya jelas mendengar suara sesuatu di dalam kamar itu. Kamar dengan pintu berwarna ping dan bertuliskan Dont Disturb tersebut, lama-lamat terdengar suara garau seorang pria.
Kesan ngantuk telah hilang kini. Mata sipit Dewie juga telah mulai terbelalak. Badannya sedikit membungkuk dan menempel di dinding.
Dewie ingin mengetok pintu. Telunjuk tangannya mulai ia tekuk sebagai tanda ia telah siap memastikan seuatu keadaan. Dan sekali lagi, gerakan tangan itu berhenti karena ia jua digelayuti rasa ketidakdopanan mengganggu aktivitas pribadi orang.
Jelas suara pria yang di dalam itu. Tapi  bagaimana bisa. Ini kos-kosan putri dan mana mungkin pria boleh masuk, batin Dewie kebigungan
Saudara mungkin, tapi tidak masuk akal jua perepsi itu. Aku mengerti benar, suara itu adalah suara lelaki yang kira-kira usianya sepantaran saja denganku,  lanjut herannya.
Dewie terus mendengarkan percakapan dengan tenang. Sesekali senda gurau terseruak di dalam kamar tersebut. Hingga ujungnya, suara cakap-cakap di dalam kamar itu senyap.
          Tahukah mereka bila aku menguping? pikirnya cemas.
          Dewie kemudian ditikam risih yang mekin mendalam, hendak kakinya ia langkahkan lagi menuju tujuan utamanya. Tapi kali ini, kakinya benar-benar terasa besi menempel di magnet lantai.
Tercekat dia di hantam sejuta keheranaan.
Percakapan yang menghening itu berubah menjadi suara yang tidak jelas di benaknya. Bunyi seperti decitan bercampur ringkikan kuda perlahan terdengar. Semakin meningkat kecepatan bunyi itu. Sesekali helaan nafas ngos-ngosan pria mendesis dari dalam kamar. Dewie makin bingung. Bingungnya menjadi-jadi, membuat replika khayal aneh-aneh.  Ia tempelkan lebih rapat. Lebih lengket lagi telinganya ke dinding pintu.
Dengan posisi pipi yang menempel, dan kedua tangannya ikut jua menempel sebagai penyeimbangnya,  Dewie kosentrasai mengamati suara khas dari dalam kamar itu.
Ngos-ngosan tiba-tiba luluh tak lagi ia dengarkan, suara garau itu hilang di telan malam, dan kini berganti dengan suara dari temannya. Masih tetap seperti suara ringkikan. Pikiran Dewie tiba-tiba kacau mendengar suara ini. Khayal-khayal seakan hidup dan merasuk. Memaksa dia melihat sebuah adegan yang terbuka blak di depan mata.
          Gila mereka!!!, batinnya menghardik.
Dingin malam kembali menjentil kulit Dewie. Menggigil dia. Kini benar-benar melangkahkan kakinya menuju tempat kran air untuk berwudu. Sejuta halusinasi dan praduga masih berkecamuk di pikirannya. Ia tak mengerti dengan semua ini. Ia sadar pikirannya tertuju pada satu jawaban, dan kedewasaannyalah yang menuntunnya menuju jawaban itu. Secara pendengaran, dia menolak kejadian itu dengan hujatan. Tapi secara panca indera, entah kenapa hal itu seperti terterima jiwanya.
 Ini Banjarmasin. Ini kebebasan berekspresi, ucap salah seorang temannya di dalam kelas yang masih dapat ia ingat raut dan gaya tangannya ketika menyampaikannya.
*
Lebih setengah  tahun Sigit telah bekerja di perusahaan Tanjung Selat, dan tiap ada libur, biasanya ia akan  menengoki orang tuanya. Begitu juga siang itu. Ia pulang. Namun walau bekerja di perusahaan itu lama, dan lebih naung ketimbang di persawahan, tetap saja badan Sigit hitam. Tak mengubah warna apapun. Ia tetap Sigit si anak pengaritan seperti terdahulu.
Ayahnya kemudian muncul dari horden yang menutup pintu depan. Dengan membawa secangkir kopi Kapal api. Duduklah ayahnya menemani ngobrol anaknya itu.
Kalau mau kopi buat sendiri di dapur sana ucap sang ayah.
"Inggih Pak
" Bagaimana kabarmu Git?"
Alhamdulillah baik Pak.
"Bagus. Terus selama di Banjar, kamu sering ndak nengoki Dewie Git? tanya langsung pak Ratno, sambil menyeropot kopinya.
 Ah bapak kie..,kok langsung kesitu. Lagian buat apa Pak, nengoki Dewie. Nggak sakit juga kata Sigit dengan duduk bersila berhadapan dengan ayahnya.
Lho.? nada ayahnya heran. Bukan begitu Git.., bapak malah nyaranin kamu buat berdekatan dengan dia. Dewie  itu anak tunggal lho Git?, gak punya saudara-saudara. Nanti aku hubungkan dengan ayahnya. Siapa tahu kalian berjodoh, dan hidupmu bakal makmur"  ujarnya bersungguh-sungguh.
Cress!!!! Api kecil meliuk-liuk dari batang korek, dan dengan cepat membakar tembakau berbungkus papir putih dari pabrik.
Hyufff!!!..hembus Sigit dengan mulut penuh asap.
"Dewie itu anak kuliahan Pak? sanggah Sigit yang berlainan pandang dengan pendapat ayahnya.
"Yah jujur saja, dia itu cakep. Membuat laki-laki juga ingin menjadi teman hidupnya" lanjutnya sembari menjentikkan abu rokok kedalam asbak yang berada didekatnya. "Tapi sepantasnya,  Dewie itu berjodoh dengan laki-laki yang seprofesi dengan dia Pak. Kalau dengan kita jauh banget. Sigit juga tidak tega Pak, jika nanti mungkin Tuhan menjodohkan Sigit dengan Dewie hanya untuk bertani. Kasihan dia, dan orang tuanya Pak" sambung Sigit.
Orang tuanya?" balas Pak Retno angkat bahu.
"Memang kenapa dengan orang tuanya Git? sambung sang ayah sambil seropotan kopi kembali membawa  nada heran dari pak Ratno.
Orang tuanya menyekolahkan dia jauh-jauh selain biar jadi guru juga supaya ia ketemu jodoh yang mampu membuatnya tentram." Sigit menunduk dan menatap sarung yang dikenakan ayahnya. "Tidak setiap hari berpanas-panasan seperti kita Pak.
"Lho kalau orang tuanya setuju Git.  Toh kamu dipandang baik di mata mereka."
 Sigit sebetulnya memang masih mencintai Dewie. Dahulu ia sakit karena penolakan yang dilayangkan Dewie kepadanya. Tapi cinta tetaplah tak mau bersanding dengan logika. Cinta itu tak punya rupa dan bukan suatu yang perlu untuk dijelaskan dengan bahasa. Cinta untuk dijalani dan dipahami.
Selama bekerja di perusahaan, Sigit lebih mengerti tentang semua yang dijelaskan Dewie kepadanya. Dewie memang benar ingin membuat orang tuanya bahagia bersamanya.  Aasan menjauhnya Sigit sampai saat ini, bukan lagi karena ia tak terima penolakan kala itu. Melainkan ia memang tak ingin mengganggunya, serta juga agar rasa di hatinya menjadi rasa yang murni kakak adik yang dulu pernah Dewie ungkapkan kepadanya.
Toh bila jodoh tentu ia takkan kemana, , batinnya suportif.
Kamu sekarang sudah dewasa Git? kata ayahnya dengan menggulung-gulung tembakau sekarang.
"Bapak cuma ingin mencarikan kamu pasangan yang bisa membuat masa depanmu tentram."
"Benar Pak." Jemari Sigit menjatuhkan abu lagi kedalam asbak. "Hidup Sigit nanti bakalan tentram. Tapi ya seperti tadi Pak, kasihan Pakde Darwis dan bude Sumarni, kalau punya mantu sepertiku.
Ah!!!.., kamu itu mbantah terus kok Git! nada sang ayah tinggi. Tampak muka ayahnya merah. Marah kelihatannya.
Jangan mikirin orang Git karena orang juga belum tentu mikirin kita!!. Lihat sawah dan kebun Dewie itu lho Git, nanti kalau kamu berjodoh, semuanya bakal lari kepadamu. Kamu yang mengolahnya dan membuatnya menjadi ladang duit buat masa depan kamu dan Dewie. Pokoknya bapak juga akan bujuk-bujuk si Darwis agar kelak jodoh putrinya jatuh ke kamu jelas Pak Ratno lalu pergi meninggalkan Sigit untuk mengembalikan gelas yang telah kosong oleh air kopi.
Kenapa ayahnya begitu terobsesi dengan idenya itu. Seolah ia tak memikirkan tentang bagaimana kedepannya kehidupan orang tua Dewie. Dewie kuliah karena ia tak ingin orang tuanya di umur yang uzur tetap berpanas-panas setiap hari. Ia ingin orang tuanya ketika usia lanjut, hanya duduk di kursi sambil minum teh memetik hasil yang mereka tanamkan. Dewie hanya ingin membalas semua budi orang tuanya. Dia tak mungkin ingin membiarkan mereka tetap bekerja di usia manula.
*
Jam kuliah telah usai. Jarumnya menunjuk ke arah angka 1 siang. Dewie berjalan menuju kos-kosannya. Tengah hari yang terik, tiba-tiba didapatinya Irwan sudah duduk ngaso di atas jok motornya. Pakaiannya rapi berkemeja putih kotak-kotak.
Mau apa anak itu, pikir Dewie.
Padahal sudah lama, Irwan telah menerima jawaban penolakan sama seperti jawaban yang diterima Sigit. Tapi tak sedikitpun Dewie menemukan perubahan dari sikap Irwan kepadanya. Bahkan semakin enteng percakapan di antara mereka. Saling mengisi dan hal inilah yang unik menurut Dewie. Pikirannya yakin  jika Irwan memang benar-benar membutuhkan seorang teman berbagi cerita suka maupaun duka.  
Dewie pun menghampiri Irwan dengan sambutan senyumnya,
 Tumben siang-siang kesini Wan. Gak kuliah?.
 Dengan senyum pula Irwan menyahut Sudah pulang Wie. Aku kesini sekadar muak aja. Di rumah seperti biasa bosan mendengar suara gaduh.
Pahamlah Dewie, jika suara gaduh yang dimaksud temannya itu adalah suara pertengkaran ayah dan Ibunya. Dewie pun kemudian menyuruh Irwan duduk di pelataran kos yang berlantai keramik tersebut.
Mereka berdua ngobrol dengan pakaian Dewie yang belum berganti.  Dari nada-nadanya, Irwan sepertinya ingin membawa Dewie  jalan-jalan siang itu.
Ada pertunjukan di taman Murjani Banjarbaru, dan acaranya mulai beberapa jam lagi jelas Irwan pada salah satu topik ceritanya.
Dia ingin membawa Dewie nonton acara tersebut.
Dewi menolak bujukan Irwan. Dewie belum salat dan juga belum makan. Namun Irwan dengan telaten terus meyakinkannya.
Nanti makan di sana saja Wie dan kita juga nontonnya nggak lama. Sepulang dari acara sempat saja buatmu salat Zuhur. Masalahnya  jika kita terlambat nonton, pasti tidak dapat tempat" kata Irwan memelas.
Maafkan aku Wie jika usulku membuatmu tidak enak lanjutnya. Aku cuma perlu teman membuang semua unek-unekku ini. Aku ingin" rayunya sambil menatap Dewie dengan pandangan berharap-harap bahkan mengiba. "Kamu buat temani aku Wie."
Akhirnya karena kasihan dengan segala pengorbanan yang diberikan kepadanya sampai saat ini, siang itu Dewie mengamini usul Irwan. Dewi ikut melihat pertunjukan di taman itu. Ia meninggalkan salat Zuhurnya dengan beragapan, nanti setelah pulang dari acara masih sempat untuk menunaikannya.
*
Sampai di lokasi pertujunjukan, ke empat kaki yang sebelumnya menggantung dipijakan motor itupun  turun lalu berjalan lirih berkumpul dengan ribuan kaki yang seakan riuh dengan suasana.
Dari bawah pangggung yang letaknya lumayan jauh, Dewie menyaksikan konser Band-band yang cukup favorit lagu-lagunya. Mereka berdua pun ikut larut dalam situasi itu, hingga badan Dewie serasa bergerak sendiri dengan beringkrak-jingkrak layaknya pengemis yang rebutan hadiah dari sang dermawan. Berjingkrak-jingkrak di kerumunan yang lumayan belakang. Tak berani ketengah karena suasana di sana seperti mulai anarkis.
Untuk pertama kalinya ia berpora siang itu. Tertawa-tawa dan saling senggol dengan penonton yang lain muhrim. Lupa dia dengan laparnya. Satu hal yang jelas dari itu, Dewi lupa salat Zuhurnya.
Di dalam keadaan itu, Dewie juga melihat muda-mudi tanpa malu-malu berpeluk-pelukan. Di tatapan puluhan pasang mata. Sejoli itu telah menganggap diri mereka seperti bintang film saja. Yang dengan ria bermesra-mesra di padang banyak. Tersenyum heran Dewie, tatkala tangan kanan lelaki yang merangkul pasangannya itu mencoba bergerak naik kedada pasangannya. Merogoh mulai baju dalam, dan dengan masih berjoget badannya, tangan pemuda itupun ikut pula berjoget-joget di sana.
Musik semakin keras dentumannya. Air disemprotkan panitia dengan kencang menyembur ratusan kepala yang banyak itu. Kepala Dewie pun ikut kena, untung ada kerudung yang masih menudunginya. Tapi lama  ikut basah juga ternyata Dewie. Guyuran semakin menjadi-jadi.  Di samping Dewi Irwan juga basah. Dewie melihat Irwan geleng-geleng sendirian. Kelihatannya, larut juga Irwan dalam hura-hura siang itu.
Lelah berjoget padahal musik masih heboh berdentum-dentum. Penonton lain masih kuat loncat-loncat. Tapi tak bagi Dewie.  Keringatnya mulai bercucuran deras, hingga membuat lekukan-lekukan garis di kerudung Dewie yang belum sepenuhnya kering. Malu dengan keringatnya yang nampak, Dewie pun akhirnya melepas kerudungnya. Tergerai rambut hitam sepinggulnya yang terawat. Harum sampo Dove juga membesit hidung Irwan dari dekat. Sedikit banyak, wangi sampo dan geraian rambut Dewie sudah memberi nada lain di hasrat Irwan. Mengamati dengan diam-diam terus. Memendam hasrat dengan diam-diam pula.
Selanjutnya Dewie dan Irwan berjalan keluar kerumunan lalu beristirahat di bawah pohon sengon besar di pinggir taman. Dengan menawarkan minuman dingin dan cemilan irwan memulai obrolan basa-basinya. Obrolan yang harus membuat Dewie tertawa. Obrolan yang harus membuatnya terhibur, dan obrolan yang menyudutkan kata dari tenggorokannya.
Ah Wan? kenapa tanya itu lagi! mata Dewie menatap Irwan tajam ketika ia mengungkapkan kedua kali maksud hatinya itu.
 Aku belum mau pacaran Wan" lanjut Dewie mengosok-gosok rambut agar hilang airnya.
 "Tau sendiri?, pacaran itu yang ada malah ngerusak kosentrasi kuliah. Aku gak pengen  kuliahku sia-sia. Maafin aku Wan."
Tidak apa-apa Wie. Kamu tenang saja. Kamu cuma belum menjalaninya, dan hanya mendengar isu dari mulut ke mulut ungkap Irwan tanpa menatapnya.
 Mata Irwan memancang keluar taman melihati aneka Tronton dan mobil-mobil lain yang hilir mudik dengan kesibukan sendiri-sendiri.
 Cinta untuk dijalankan Wie, bukan berupa teori. Kita gak akan pernah mengerti, jika hal ini selalu kita dekte dengan landasan teks yang ada di buku. Apalagi hanya gumam-gumam seseorang. Mungkn hatimu belum mempercayai aku Wie. Tapi aku yakin jika nanti aku terasa senyap di keseharianmu maka pasti hatimu pun akan merasa sesenyap seperti yang ku alami.  Satu hal yang perlu kau tau jelas Irwan lagi sembari jari jemarinya bertekuk-tekukan yang berujung pada bunyi gemeretak yang timbul dari ruas jari-jarinya.
 Jika kosong itu datang menyusup di pagi dan malammun maka itulah yang sedang kau ingkari Wie. Itu rasa sepi karena cinta yang kau ingkari.
Kata-kata Irwan membius Dewie dengan sejuta kelinglungan. Di satu sisi benar juga semua penjelasannya itu. Ketika dahulu Sigit perlahan menanggalkan semua perhatian untuknya, maka di saat itulah perlahan sunyi selalu menderu mengusik telinga dalam lamunan dan tidurnya. Hal itu pasti terulang hari ini.  Tiba-tiba cemas bermain lompat tali di pikiran Dewie. Cemas muncul sebagai sosok tamu tiba-tiba. Tamu yang muncul karena ucapan Irwan.
Dewie termenung. Diam beberapa jurus sementara Irwan kembali menyuplai kata-kata yang menyerang psikologinya.
Apa kamu pernah Wie. Merasa seperti yang kukatakan tadi?"
Terkejut sedikit Oh tidak Wan? A.,akku belum pernah merasakan seperti yang kamu jelaskan tadi.  
Senyum melihat responnya  Irwan pun berujar lagi, Aku berharap kamu jangan sampai merasakannya Wie. Dahulu aku ini tipe cowo yang tak terlalu menghiraukan perasaan orang akui Irwan.
"Jujur saja, banyak cewe yang pernah mengungkapkan perasaannya kepadaku Wie. Tapi tanpa aku sadari, aku selalu menyepelekan keinginannya itu. Pada akhirnya, satu persatu mereka hilang dari keseharianku. Di posisi itulah aku merasa benar-benar terpuruk dengan kesunyian.  Aku cerita kepada salah seorang sahabatku ternyata sama yang ku ucapkan kepadamu itulah jawabanya tegas Irwan.
Dewie percaya dengannya. Paras Irwan yang manis, putih dan berperawakan gagah itu tentu mengundang perhatian para wanita di sekitarnya. Apalagi dengan semua sikap ramah tamahnya. Cowo itu sungguh baik. Banyak benda telah diberikan untuknya, atau sekedar dipinjamkannya, seperti Laptop. Dewie tak meminta, namun Irwan yang memaksanya agar mau menerima berian atau bantuan  yang ia anggap sebagai kenang-kenangan itu.  
Obrolan berlangsung beberapa jam. Lewat dari perkiraan dan tak berasa kumandang azan Asar telah menyeru umatnya untuk beribadah.
Wah sempat tidak Wan aku sembahyang ini" ujar Dewie sedikit cemas.
Mungkin masih sempat? kata Irwan dengan menerawang-nerawang langit seolah tahu ia tentang waktu.
 Ayo kita pulang Wie? serunya lagi.
Khawatir jika tidak sempat salat kamu nanti nadanya peduli.
Iya, ayo Wan.
*
6. Munajat


Dua hari lagi Dewie bayar  SKS  untuk semester empat. Bagaimana Bu. Apa ada tabungan lagi? tanya suaminya yang tengah duduk sambil menebas rumput.
Tabungan ibu cuma ada lima ratus Pak? ungkap Bu Sumarni.
"Aku cuma punya kiranya seratus lima puluhan juga Bu,  bagaimana ya?.
"Ibu  hendak jual beberapa karung gabah kita ke tempat Supri saja ya Pak? mudahan dia mau? usul isterinya .
Gabah sedang anjlok sekarang" jawab Pak Darwis sedikit sebal
"Andai panen kita tahun ini gak diserbu walang sangit, mungkin kita nggak terlalu kelabakan seperti ini Bu? protes Pak Darwis.
Ini juga bermula akibat ulah orang tua tolol itu Bu" terusnya bersungut-sungut.  "Kalau saja mereka itu tida neko-neko main gila dengan isteri orang, tentu kejadian seperti ini tidak terjadi!
Seminggu lalu ada warga yang tetangkap basah selingkuh dengan isteri tetanggannya di kebun pisang. Masyrakat setempat meyakini bahwa melorotnya gabah di musim panen ini, juga akibat tingkah keterlaluan warganya yang berbuat dosa itu. Jelasnya mereka anggap walang sangit yang mendera padi adalah buah teguran dari kecerobohan salah satu warganya.
Sabar Pak. Ambil hikmahnya isterinya menenangkan.
Semuanya sudah ada yang mengatur. Biar saja gabah anjlok tapi semoga saja tidak berpengaruh pada dagangan Supri.
Malam itu juga Bu Sumarni bersepeda mendatangi rumah Supri untuk menawarkan gabah.  
Aduh maaf sekali Bule, kiranya saya tidak dapat membantu. Bule tentunya sudah paham, gabah kita harganya turun. Gara-gara warnanya belang bertetol-tetol dan banyak jabuk, jadi gabah pun saya gak berani membeli kata Supri ketika ditemuinya di depan pintu gudang penimbunan gabah.
Itu Bule bisa lihat sendiri" terang Supri dengan menunjuk ke dalam gudang. "Dalam situ saya hanya ada beberapa tumpukan gabah tahun kemarin."
Oo ndak apa-apa Pri? ucap Bu Sumarni.
Iya sih Pri, tahun ini gak paham juga aku, kok nasib gabah jadi seperti ini keluh Bu Sumarni tanpa mau menyalahkan seseorang yang oleh sebagian kampung tersebut dianggap biang kerok penyebab semua musibah ini.
Bu Sumarni kembali ke rumah dengan raut wajah yang t gelisah sebagai orang tua yang ditekan dengan kebutuhan sang anak.
Bagaimana Bu.. sambut Pak Darwis yang duduk di emperan rumah .
Supri ndak berani nukar pak ucapnya lesu. Aku juga bingung mau kemana.
Bapak carikan hutangan saja ya Bu gagas Pak Darwis.
Jangan Pak!!.., hutang cuma jadi beban dan kebiasaan nanti tolak isterinya lagi.
"Kalau begitu seperti apa Bu? Apa boleh jika Dewie sedikit nunggak SPPnya, dibayar setengah dulu.
"Nggak tega aku Pak, jika Dewie harus nunggak. Yang ada dia nanti pasti malu dengan teman-temannya jelas sang isteri.
Sambil bersandar pada sebuah tiang emperan rumah, Bu Sumarni kembali mengungkapkan kepercayaan dan keyakinannya.
Jalan tentu ada pak.?, besok masih ada hari, berarti masih ada kesempatan.
 "Aku gak mau behutang atau menunggak pembayaran SPP Dewie tegasnya. Allah SWT masih memberi jalan. Insya Allah pasti ada kemudahan dibalik semuanya Pak" semangatnya kembali dan bergegas ke pinggir rumah menata dagangan.
*
Waalaa aali sayyidinaa Muhammmad. Kamaa shallaita alaa sayyidinaa Ibraahim wa alaa aali sayyidinaa Ibraahim, wa baarik alaa sayyidina Muhammmad waalaa aali sayyidin Muhammad. Kamaa barak-ta alaa sayyidina Ibraahim wa alaa aali sayyidina Ibraahim, fil aalamiina innaka hamiidummasjiid.
Assalamualaikum warahmatulloh.........Assalamualaikum warahmatulloh...
Selesai mengucap salam nafasnya kembali mendengus ringan mengucapkan wiridan dan salawatan  pelengkap salat malamnya. Dan pada bagian penutup kedua tangannya menangkup terbuka kedepan meminta rahmat dan kemudahan dalam menyelesaikan perkara yang mengujinya.
Ya Allah..Engkau segala pemberi kemudahan. Engkau Maha Melihat dan Maha Tahu tentang semua kejadian di esok hari. Hamba hanya semut dihadapn-Mu, menadahkan tangan dan tanpa malu mengeluh setiap waktu. Sungguh hamba hanya kecil dimata-Mu.
Hangat dan kemudian panas, cairan bening meleleh di tengah malam, tetes kemukena yang berwarna putih kusam. Keluar dari sela-sela kelopak matanya yang nanar.
Ya Allah, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berserah dengan semua peraduanku. Mudahlkanlah jalanku. Buatlah aku menunaikan kuwajibanku sebagai orang tua. Selamatkan keluargaku dari murka-Mu. Selamatkanlah anakku dari timpaan cobaan yang berat dan selalu membuatnya berjalan di persimpangan ragu. Tetesanya pedas menderas. Badannya bergetar hebat ketika doanya  tertuju untuk keselamatan anaknya.
Suara itu kini tak berhayat dan tak berbunyi jelas. Hanya gumam dengan lekukan bibir menahan suara tangis yang ingin menyeruak keras di tengah malam.

Ya Allah Ya robbi ..,hamba mohon kepadaMu!!, kabulkanlah keinginanku..Amin ya robbal alamin.
Usapan kedua telapak tangannya mengawali kehidupan baru yang menunggunya. Ia berjalan ke dapur. Seperti biasa menyajikan makanan pagi untuk suaminya dan segera kembali membelah kabut di buta hari.
*
Memang membiayai anak kuliahan itu berat Wis, tapi yah begitu sudah kewajiban orang tua. Kalau aku sendiri tidak berani Wis ngambil keputusan kayak kamu. Anak perempuan itu resikonya besar Wis, gak bisa kena hasutan ungkap pak Ratno sambil bibirnya mencong ke kiri diiringi  mimik wajah mengkerut ketika menjelaskan  kata yang menurutnya sebuah pengingkaran.
Bagaimana lagi Nho, jika anak memang bulat pengen nerusin cita-citanya" tekan Pak Darwis.
Lha terus bagaimana pendapatmu? Tinggal sehari lagi SPP anakmu harus segera dibayar toh" ujar Pak Ratno sambil menebas-nebas rumput dengan arit dan membelakangi Pak Darwis yang duduk di atas batang pohon rebah.
 "Kamu tadi juga bilang katanya Supri gak mau beli gabahmu. Maklumlah Wis, gabah kita cacat, jelaslah ia tidak berani beli. Gabah cocok buat makan ayam kok di beli! jelasnya yang jengkel juga dengan musim panen tahun ini.
 Ah!! menghela napas. Ibunya tadi pergi ke pasar Selasa. Mungkin ada dapat kabar atau sesuatu di sana Nho. Aku juga pengennya gak nganggur-ngangguran seperti ini." Mata Pak Darwis melirik bawah kakinya dan tangannya mencoret-coret tanah yang ada di situ memakai ranting.
"Pengen cari sampingan, tapi sampingan apa musim tanggung kayak gini? ungkap Pak Darwis.
Ehh!!..,susah cari sampingan Wis?" Pak Ratno berdiri karena selesai membersihkan rumput.
"Kalau kamu mau, pinjem duitku dulu saja buat tambah-tambah sangu anakmu? usul pak Ratnho.
 Wah ndak brani aku Nho."
Lho ndak begitu, jangan cemas dulu kata Pak Ratnho.
Ya caranya jangan sampai ketahuan isterimu toh,  kamu kan bisa beralasan jika duit itu upah borongan dari  bekerja  lanjut Ratnho membujuk.
Sejenak suasana di pekarangan kebun pak Ratnho siang itu mendadak sunyi. Penuh pilihan pada satu pihak pemilih yang didesak dengan kebutuhan dan diserang rasa  gelisah. Gelisah mencari tambahan di tengah keadaan yang tak pernah ia duga dan berusaha menolaknya.
Keputusasaan itu masuk lagi dalam memori Pak Darwis, hingga orasi-orasi Ratno begitu kental membeku dikeyakinannnya. Nalurinya tertarik dengan ide dari pak Ratno. Demi anaknya pikirnya. Demi Dewie yang ia perjuangkan. Dan kepercayaan dari sahabatnya yang tulus membantu. Pak Darwis pun sepakat.

*
Ini Bi ada titipan dari Abah buat Bibi kata Hj. Inun sambil menyelinapkan sebuah amplop untuk Bu Sumarni yang tengah menunggu pembeli.
'Apa ini, Jah? sahut Bu Sumarni sambil memandang ke wanita yang berbusana nyentrik Islami tersebut.
Dengan senyum Hj. Inun menjawab:
"Bukan apa-apa Bi. Bibi diterima ya?,Jangan menolak suatu pemberian orang. itu titipan dari H. Idrus untuk Bibi? jelasnya lagi.
Bungkusan amplop berwarna putih itu cukup tebal.
 Terima kasih ya Jah? semoga keluarga selalu mendapatkan rezeki yang lebih dari yang sudah-sudah..Amin ya robbal alamin  doa Bu Sumarni bersamaan dengan tanganya yang sigap mencari pisau. Bu Sumarni segera memotongkan batang umbud yang ranum dengan irisan besar beserta campuran waluh dan sayur mayur lainnya. Dia lalu bergegas memasukannya ke dalam bakul Hajjah itu.
Ini apa Bi..? kata Hj. Inun agak risih. Tidak usah repot-repot seperti ini? tambahnya sungkan.
"Sudah Jah..ini sekadar ungkapan banyak terima kasih dari saya, mohon Bu Hajjah terima."
 Geh..terima kasih Bi sahut Hj. Inun tersenyum.
*
Sampai di rumah Bu Sumarni tidak langsung membuka amplop tersebut. Ia menunggu suaminya. Tampak  suaminya belum datang ke rumahnya.
Di boncengan Bu Sumarni, terlihat beberapa puluh bibit karet yang ia peroleh dari hutan karet yang ia lalui sepulang dari pasar. Dia akan menanam karet-karet itu di sekitar rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ancang-ancangnya berharap kelak karet-karet itu bila telah tumbuh besar dapat dipanen getahnya untuk tambah-tambah biaya Wisuda putrinya.
Sebenarnya tidak hanya karet. Aneka tanaman sayur seperti kangkung, pucuk waluh, daun singkong, katuk, dan beragam pohon buah-buahan juga akhir-akhir ini mereka tanam di pekarangan belakang rumah. Inilah persiapan mereka.
Ditunggu lumayan lama namun suaminya tak kunjung tiba. Hari telah menjelang sore. Dia urungkan niat untuk menunggu suaminya berlama-lama. Sebaiknya aku mencari dagangan, pikirnya.
Amplop itu kemudian ia simpan di sela-sela tumpukan baju dalam lemari lalu dengan helaan napas semangat lagi ia gerakkan badan cekingnya untuk meluncur mencari dagangan.
*
Ayam-ayam kembali riuh bunyinya. Kali ini mereka menyambut kedatangan tuan prianya.
Pak Darwis langsung pergi ke dapur mengambil satu kaleng beras lalu disebarlah beras itu kepelataran rumahnya.
Ayam-ayam saling tabrak, saling desak, dan dorong memburu makanan yang diberikan sang majikan. Benar-benar lapar  gencar  menyerang. Padahal baru kiranya dua jam saja ayam-ayam itu  diumpani Bu Sumarni.
Lelaki itu kemudian duduk di depan pintu. Dia keluarkan amplop dari dalam saku celananya. Ia mengingat jumlah uang yag ada diamplop itu kira-kira lebih lima ratus ribu. Dengan telaten Pak Darwis pandangi amplop itu dan kembali memasukkannya kedalam kantong. Laki-laki itu berharap, untuk malam ini menyampaikan maksudnya kepada isterinya bahwa hari ini ia mendapat sedikit rezeki. Pak Darwis mendekati Bu Sumarni. Akan tetapi niatnya terkatup manakala Bu Sumarni yang membuka topik.
Pak, aku tadi dikasih amplop oleh seseorang. Ndak tahu apa isi amplopnya. Itu masih ku simpan ditumpukan baju kata Bu Sumarni sambil menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya.  
Amplop apa Bu? tanya suaminya heran.
 Sepertinya uang sih Pak. Ingat H.Idrus?? Yang dahulu kita datangi rumahnya untuk minta pendapat."
Pak Darwis mengangguk Ya, Bapak ingat.
"Nah..,mungkin H.Idrus baru dapat rezeki lebih Pak. Oleh sebab itu beliau membagikan seperempat rezekinya kepada kita. Ibu yakin H. Idrus itu orangnya suka untuk bederma. Mungkin karena melihat penampilan ku yang kesannya seperti orang hilang ucapnya sambil senyum-senyum.
 Beliau tau kalau kita kuliahkan Dewi. H. Idrus juga punya keinginan menyekolahkan anaknya. Sayang anaknya kecelakaan dan meninggal. Mungkin dari itu beliau memberi fitrah kepada kita ya Pak? jelasnya panjang lebar sampai nasi dalam piringnya sedikit terabaikan.
Yah syukur kalau begitu, Bu sahut Suaminya yang sedikit banyak heran, kenapa bisa sama. Dia juga punya amplop dan isterinya  pun punya amplop. Tapi dua amplop itu beda statusnya. Satu pinjaman dan satu fitrah. Seperti dua bilik yang berbeda-beda.
Bu Sumarni berhenti makan. Sesaat kemudian kakinya berjalan membawa tubuhnya menuju lemari untuk mengambil apa yang sebenarnya ada dalam amplop itu. Sementara Pak Darwis yang melihat isterinya tengah mengambil amplop, menjadi enggan untuk bercerita tentang pekerjaan yang direka-rekanya. Ia tidak jadi menunjukkan amplop miliknya dan menyimpan amplop itu rapat-rapat dalam kantong celana.
Nah ini amplopnya" kata Bu Sumarni memberikan.
"Coba dibuka saja ya Bu? pinta suaminya.
Saat amplop dibuka senyum isterinya mekar Alhamdulillah, masyallah...Ya Allah dimudahkan juga semua urusan ini? ucap Bu Sumarni berkaca kaca.
Dari dalam amplop itu diambil semuanya. Sekitar 15 lembaran uang ratusan ribu. Bu Sumarni masih tersenyum haru. Tangannya tanpa perintah bergetar sendiri memegang rezeki yang ada di depannya.
"Sejuta lima ratus.  Masyallah ini cukup sekali untuk bayar SKS Dewie, Pak."
 Pak Darwis juga menunjukkan raut muka berseri. Ia berterima kasih kepada Tuhan meski entah mengapa selama ini ia sering melalaikan perintahNya untuk beribadah. Faktor letih dominan menjadi penyebabnya. Hal itu mengubah kebiasaan untuk taat beribadah. Jika sudah begini biasanyai susah untuk dibentuk karena malas sudah menjadi kerak di dalam hati.
Malam itu mereka berdua sungguh riang lepas dari sebuah belenggu yang menguji. Bu Sumarni terutama, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur dan doa-doa untuk sang pemberi zakat bagi keluarganya. Semoga ia mendapatkan balasan yang lebih dari apa yang ia bantukan untuk keluarganya.
*
7. Insiden dan Adaptasi

Musim penghujan ini adalah saatnya lahan sawah dibersihkan  setelah banyak rumput liar dan damen basah menghambur memenuhi area tanam padi. Biasanya masyarakat Rawomangun yang tergolong mampu akan memakai jasa tlaktor agar cepat beres dan tanah menjadi gembur. Tapi seperti di bagian awal bahwa jika petani terlalu bermain dengan sewa dan hutang agar garapannya cepat selesai maka saat panen berkemungkinan besar dia akan los untung. Artinya hanya impas balik modal hasilnya karena pembayaran yang cukup besar.
Petani yang memikirkan itu atau memang berekonomi pas pasan cenderung membersihkan lahan sawah dengan cara manual. Ya. Dengan alat tajak yang mirip parang besar dan cara pakainya itu diayun macam main golf, petani perlahan akan membersihkan garapannya. Pagi itu juga seperti biasanya terlihat Pak Darwies menajak lahan.
Byurrr!!!...Crass...!!!! tepian tajak bertepi lebar nan berat, jatuh menebas rumput yang bersembunyi di bawah air.  Sebelumnya sisi tajak besar itu melayang mengkilat di udara membias matahari. Setelah mengudara sekian detik kini tajak itu terjun lagi dengan derasnya.
Tiba tiba seru teriakan aduh!!!! menyambut suasana pagi itu jadi tegang.
Air bening dalam sawah yang dipijak Pak Darwis mendadak  berwarna merah. Membuncah kental warna itu kemudian membuat Pak Darwis  sulit untuk kokoh berdiri. Coba tetap ia bertahan, berusaha agar tidak oleng. Perih begitu terasa dan katur mulai merambat naik ke areal paha. Tiba-tiba mentari pagi di langit tampak silau beda dengan biasanya. Pandangan Pak Darwis pun membuyar. Perlaha kabut datang menjadi buram. Coba lagi tajak itu Pak Darwis jadikan penopang. Secara lambat ia angkat kakinya dari permukaan air. Pada bagian otot belakang mata kaki kanan tampak sayatan menganga berwarna merah kental. Keringat bagai hujan dan keburaman pandangan yang sejak tadi ia tahan langsung merangkum wajah Pak Dawis. Ia ambruk di tengah sawah.
Sekitar enam orang datang memburu melihat kejadian itu. Mereka segera membopong tubuhnya kepinggiran. Pak Ratno ada dalam segelintir petani itu. Percakapan mereka tak jelas di telinga Pak Darwis yang pudar. Tak terdengar, dan hanya menyisakan pedih yang berkepanjangan yang terbalut suasana alam ketidaksadaran. Mereka terus bopong tubuh Pak Darwis pulang ke rumah. Kaki kanannya terbungkus kain sobekan baju pak Ratno. Sobekan itu ikut berwarna dan tanpa ragu bertitikan cairan merah menghias rumput-rumput di tanah.
*
Bu Sumarni di tengah pasar bingung bukan kepalang. Wanita itu tiada tujuan lain terkecuali pulang ke rumahnya. Telepon beberapa menit lalu berhasil menggoyahkan  kosentrasi berdagangnya.
Tanpa peduli dengan sayur mayur yang masih banyak, ia pesan ojek lalu ngebutlah ojek itu membawa  ke pusat gelisah Bu Sumarni.
Setengah jam kemudian sampailah Bu Sumarni di Puskesmas desa.
Ya Allah Pak!!!!..Pak!!!! kamu ini kenapa.. mbo yo jangan melamun kalau bekerja! seru Bu Sumarni cemas.
Tangis tak mampu ia bendung, sementara tangannya yang bergetar-getar terus memijat lengan suaminya yang tergeletak tak sadar di atas pembaringan puskesmas. Tampak selang  infus telah terpasang di pergelangan tangan Pak Darwies.
Ini tadi kok bisa seperti ini kenapa Nho!!"  tanya Bu Sumarni khawatir, dan dengan muka yang benar-benar pucat .
Nggak tahu dia ngelamun apa tadi Mar. Tiba-tiba saja jatuh lalu kami langsung memburu mengerubung. Ternyata sobek otot kakinya kena tajak!!.
Satu jam kiranya Pak Darwis pingsan.
Dalam ruangan, Mantri mengatakan jika otot tungkai kaki kiri belakang Pak Darwis putus.
 Tajak yang ia ayunkan benar-benar lepas tanpa halangan kata Mantri.
Syukur cepat ditolong Bule. Soalnya jika telat berapa puluh menit saja. Mungkin Pak Darwis akan kehilangan banyak darah!! nasihat Mantri yang usianya di bawah Bu Sumarni.
Cemas masih mewarnai muka Bu Sumarni. Keningnya mengkerut dan wajahnya tertunduk lesu menatap lantai Puskesmas. Sedikit mengangkat muka bicaralah Bu Sumarni.
"Lalu bagaimana nanti dengan ototnya itu San" tanya Bu Sumarni kepada Hasan, si mantri.  "Apa dapat disambung?.
Tangan Hasan yang sejak tadi bertelungkup berjalin-jalinan antara jari-jemarinya pun ia renggangkan dan berubah tegap dengan lengannya maju menempel di meja duduknya.
" Kita lihat hasil jahitannya Bule nadanya meyakinkan.
"Yang jelas, kemungkinan besar suami Bule tidak dapat berjalan dengan tegap seperti biasa lagi
          Tercekat Maksudnya San.
          "Iya Bule," ucap Hasan yang menatap  Bu Sumarni. "Pak Darwis jika telah sembuh, kemungkinan tidak dapat berjalan dengan kaki kirinya. Lumpuh  karena otot kaki kirinya putus, kemungkinan kecil buat bisa dialirkan darah lagi. Otot susah disambung, paling dapat di jahit robekan kulitnya itu jelasnya masih dengan menatap.  
           Pak Darwis harus berjalan dengan ditopang tongkat untuk menyeimbangkan tubuhnya" imbuh Hasan.
Apa kata yang tepat untuk membalas ucapan Mantri itu. Mulut Bu Sumarni hanya terus beristighfar. Astagfirullahalazim!!. Badannya tak mampu bergerak hingga duduknya benar-benar kaku dengan keringat menjadi lem yang merekatkannya. Ujian yang kini Engkau berikan sungguh menguji nurani hamba ya Robb, gumamnya.
Pikirannya sejak awal tadi berimbun perasaan yang membeban. Ia sudah teringat dengan putrinya. Kata apa pula yang harus ia layangkan untuk mengabari Dewie. Sementara ia tak ingin anaknya tersebut terganggu kuliahnya. Tapi tetap harus ia beritahu putrinya itu.
Wie..' panggil Ibunya lesu di telepon.
"Ada apa Bu?.
 Kamu sibuk toh hari ini tanya Bu Sumarni masih dengan lesu.
Ndak Bu..Dewie sedang tidur-tiduran saja siang ini. Kenapa?.
"Kamu bisa ndak pulang sebentar"
Dewie telah mempunyai prasangka yang macam-macam. Ia bisa dengar suara isak tangis dari mulut Ibunya yang ditahan-tahan. Kenapa ini. Pikirannya mulai dilanda kekuatiran yang kian menebal. Secepat ia berprasangka, secepat itu pula mulutnya bertanya kepada Ibunya
Kenapa Bu?, kenapa ibu menangis"
  Bapakmu di sawah tadi Hening sebentar. Kakinya kena tajak Wie!. Sekarang bapakmu ada di Puskesmas.
Seettt!!!..penjelasan Ibunya langsung menelusup cepat ke ruang pikiranya. Menelusup dengan beringas, selanjutnya merusak alam logika dan menciptakan ilusi-ilusi gambar katakutan dalam akal kewarasan Dewie.  Kini getaran yang dirasakan Bu Sumarni berpindah dengan segera mengerubung jasmani anaknya.  
           "Kamu hati-hati kesininya yo Ndo"  kata Ibunya lagi dengan masih sesekali terisak.
Telepon terputus. Dengan gelisah, Dewie kemudian berlari kesudut-sudut kamar mengambil tas, dompet juga baju-baju seperlunya. Dewie nampak hilang rencana. Pikirannya hanya pulang. Sama seperti hal yang juga dirasakan Ibunya di pasar.
Dewie pinta kepada teman-temannya untuk mengantarya. Syukur temannya ada yang mau karena solidaritas. Drngan pakaian yang dikenakan tanpa  teratur rapinya, pulanglah Dewie ke desa.
*
Jarum jam di dinding Puskesmas bergerak tanpa mau diprotes oleh siapa saja. Waktu berjalan membundar terus tanpa mau mempedulikan seseorang yang peduli dengannya.
Jarumnya menunjuk keangka 3. Bu Sumarni duduk termangu di kursi kamar. Di pinggir suaminya. Masih memijiti.  Kini syukurlah suaminya telah sadar.
"Bu panggil anaknya dari balik pintu dengan iringan ketokan  tiga kali.
Mendengar suara anaknya, Bu Sumarni datang membukakan pintu yang berwarna putih itu. Pintu berderit, dan masuklah Dewie bersama temannya kedalam ruangan kamar.
Dipandangnya, ayah sedang berselimut dengan motif garis biru putih belang-belang dalam tempat tidur pesakitan. Cairan infus terlihat masih mengalir naik turun dari selang yang dihubungkan pada tangan kanannya. Sementara kaki kananya terbalut perban, dengan bau alkohol begitu mencuat memusingkan kepala. Tergolek lemah nampaknya ia.
Ayahnya berbicara sedikit dengannya. Yah tubuh tua itu pasi, karena darahnya sempat mengucur hebat hingga membuat mulutnya kelu untuk berucap lantang.
Kamu tadi jam berapa berangkat dari sana Wie? lesu bunyi suara sang ayah. Jam setengah 2 Pak? jawab Dewi mendekati dan memijit-mijit tangan ayahnya.
 Sudah, Bapak tidur saja dulu? lanjut Dewie  menyarankan.
Ayahnya mengikuti bujukan Dewie. Memang obat yang  masuk dalam kerongkongannya menimbulkan kantuk yang amat sangat. Ditahan tetap saja terus mendesak.  Ditahan dengan berbicara, dengan dengan bergerak, dan  dengan melihat kesemua sudut kamar, toh tetap saja obat itu kuat melawan. Tidurlah ayahnya karena  kalah menahan rasa kantuk.
*
Sejak kejadian naas itu, berbeloklah semua rencana yang masak-masak dari Bu Sumarni. Meleset dari target yang telah disusun.  Lumpuh  Pak Darwis benar-benar berarti perubahan. Untuk berjalan saja sekarang tampak susah, apalagi untuk bekerja. Sawah tak ada yang bisa menggarap lagi.  Siapa yang menggarap, sedang daya pengggarapnya telah layu bagai kembang disengat panas. Jika Bu Sumarni diberi kuasa untuk memilih, ingin rasanya badannya ia bagi dua agar mampu bertani dan berdagang.
Terus Bu Sumarni beriktiar disetiap salatnya, meminta petunjuk dan dijauhkan semua keputusasaan dari hati suaminya. Tekanan Bu Sumarni kembali membumbung, ketika mengetahui bahwa anaknya juga akan membayar SKS yang telah mulai mepet temponya.
Semester lalu, mungkin Bu Sumarni masih dapat lepas dari pelik keuangan karena mendapat rezeki yang berasal dari ketiadadugaan. Tapi apakah semester ini ibunya itu masih mampu juga mendapat pertolongan dari hal yang tak bisa untuk ditebak?
Untuk langkah pertama, akhirnya sawah diburuhkan, artinya di tangani orang lain dengan perjanjian, setiap panen yang punya sawah harus mendapat bagian 20-30% dari hasil panennya. Tanpa pertimbangan bahwa,entah melorot atau meningkat panen itu, yang jelas pemilik tetap mendapatkan bagian seperti pada perjanjian tadi. Alhamdulillah, tidak memerlukan waktu lama untuk mencari pemburuh, karena orang-orang di kampung  Rawomangun memang tergolong petani yang keras-keras bila telah berusaha. Nekad-nekad bila menggarap sawah. Banyak dan Luas. Terkadang bila seorang pendatang dari luar daerah berkunjung di desa itu, maka ia akan terkagum. Melihat seorang pemuda yang mempunyai garapan sawah banyak, dan sulit dijangkau, apakah pemuda itu mampu atau tidak. Tapi begitulah masyarakat desa tersebut.
Tahap kedua adalah, memperbanyak tanaman pohon karet, pisang, jambu, bahkan salak dan sayur-mayur di belakang rumah. Uang hasil kebun itu sebagai tunjangan pembayaran segala iuran nanti.
Kemudian sedikit-demi sedikit, ayam yang jumlahnya telah mencapai 30 lebih itu diperbanyak lagi. Setiap harinya pasti ada bibit ayam yang dipertambah.
Tugas-tugas rumah itu, diserahkan Pak Darwis. Dialah yang menjadi pengelolanya. Kadang juga bila terasa berat,  isterinya turut pula membantunya. Sedangkan Bu Sumarni, tetap terus berjuang berdagang umbud dengan banyak-banyak. Bu Sumarni lebih berlama-lama di pasar untuk memutar-mutar umbud yang juga ada di san biar memperoleh ujungan berlebih. Tak segan-segan pula bila ada pasar Ramadhan di Anjir sore-sore, ia berani terjun ke pasar itu, tanpa memikir kondisi fisiknya yang berpuasa. Dagagan ini ditunjukkan untuk jajan Dewie, yang sebulan sekali pulang  ke rumah. Intinya sekarang Bu Sumarni benar-benar pengambil alih roda perekonomian.
*
Allahu Akbar..? sebut Bu Sumarni disertai helaan napas ketika ia sedang melamun di suatu sore di teras rumah.  
Tek..tek..tek.. bunyi tongkat kayu dari dalam rumah  perlahan mendekat.  Suaminya datang menuju beranda depan.
Bu" tegurnya pelan,
"Ini ada duit sedikit, mudahan cukup untuk jajannya Dewie"  ucap Pak Darwis ambil menyerahkan amplop putih. Dengan terperanjat sedikit, mata isterinya memacang lurus ke amplop yang ada di depannya. Penasaran beserta bingung, maka bertanyalah ia,:
"Bapak dapat darimana?. Bapak buruh? Buruh dengan siapa? berondongnya.
Tek..tek..tek berjalan lagi laki-laki itu mecari dudukan yang tepat, dan dengan payah terkikuk-kikuk duduklah ia di lantai  yang terbuat dari ulin.
Matanya meluncur ke halaman depan rumahnya. Mencari-cari sesuatu namun ia pun tak mengerti apa yang dicarinya, alasan mungkin. Alasan yang tepat. Yang bisa memutus kesensitifan isterinya dengan asal uangnya itu. Yang bisa meredam ledakan kalau isterinya marah. Pak Darwis tahu tempramen isterinya tinggi ketika mendengar kata hutang.
Terus mata Pak Darwismencari-cari dan tangannya meremat-remat tongkat.
Pak Darwis ingin berucap, bahwa uang itu adalah hasil dari kerja kebunnya di tempat Ratnho. Kata-katanya telah bertumpuk berjubel-jubel laksana  ribuan benih padi yang berdesak-desakan ingin menjadi beras di mesin penggilingan.
Glek..  liur terteguk membawa kata-katanya kembali ke dalam perut. Ia tak pandai berbohong. Tak pintar bermain lidah. Tak menentramkan hatinya juga. Ragu-ragu dia. Kata-kata bohong toh hanya sajian pertama. Mungkin akan aman beberapa hari. Beberapa minggu. Tapi bagaimana bila juga ketahuan? Bukankah cuma akan berujung perselisihan nanti. Dan perselisihan, bukan hal yang ku inginkan. Risiko diriku yang telah meminjam. Resikoku bila hal ini menjadi perdebatan. Tanggung semua resiko, dengan berbicara lembut-lembut. Berbicara sopan-sopan. Berbicara baik-baik. Yah.,tak boleh berbohong!!. Tak boleh berdusta!!, berdebat-debat terus batinnya. Maka dengan tekadnya yang mulai bulat-bulat untuk jujur, berkatalah Pak Darwis :
"Uang itu sebenarnya telah ada bersama dengan amplop yang aku tunjukkan dahulu.  Bapak sengaja tidak memperlihatkan amplop dengan pikiran bahwa ibu telah mendapat bantuan.
"Ya Pak jawab Bu Sumarni.
"Terus dari mana bapak mendapatkan amplop itu pak? buru isterinya.
 Sebagai seorang wanita Bu Sumarni sangat sering bertanya dengan lebih mengharapkan jawaban kepastian ketimbang jawaban yang memutar-mutar dengan tafsiran tak jelas. Sama dalam situasi ini, ia lebih mengharapkan suaminya terbuka langsung kepermasalahan ketimbang berkutat-kutat dalam cerita.
Bapak hutang dengan pak Ratnho!!"
Deg!!..Jatung Bu Sumarni berdegup dengan dorongan kuat saat mendengar nama itu adalah pendonornya.
 Pak Ratnho itu kan lintah juga. Lintah yang menghisap pelan-pelan. Tapi tetap menghisap juga. Perasaan yang bagaimana yang musti ditunjukkan. Nada apa yang tepat. Marah? . Tidak!!. Semua telah berlalu lama juga. Tiada guna semua omel-omelan itu. Hanya memperburuk situasi. Hanya memperkeruh keadaan.  Sabar!. Ya engkau harus sabar. Jangan tekan suamimu berlarut-larut. Lihatlah dia dengan mata penuh bimbingan, dan jangan kau pandang dengan dikte menyudutkan. Nasehati ia. Nasehati dengan cinta tekun seorang isteri, sanubari Bu Sumarni serasa berkomunikasi dengannya.
Ya sudahlah Pak, semuanya sudah terjadi. Tapi Bu mohon Pak, besok-besok lagi ndak usah berhutang.  Apalagi kalau dari pak Ratnho"  pintanya.
Sedikit banyak bapak  telah tau bagaimanan sikap dia dibalik manis-manisnya itu, bukan? jelas isterinya.
Mengangguk Pak Darwis.
"Aku masih bisa mencari jalan lain buat nebusi ongkos kuliah Dewie tegasnya kemudian. Pak Darwis yang mendengar penjelasan isteri menunjukkan guratan sesal di wajahnya. Ia pun hanya diam sesekali mengangguk sambil merenungi kekhilafannya.
Besoknya, Bu Sumarni datang ke rumah pak Ratnho dengan maksud mengembalikan uang pinjaman suaminya. Uang jajan Dewie dan segala macam keperluan tentu masih tertinggal. Namun, rasa percaya dan kedisiplinannya mendorong Bu Sumarni untuk tegas tidak menghutang. Prinsip.
Satu juta lima ratus? ulang Bu Sumarni keheranan.
"Lha iya, Mar. Suamimu pinjam delapan ratus ribu rupiah. Nah sekarang sudah bula ke lima sejak pinjaman itu Mar.  Yah mohon dimengerti.  Memang kosekunsinya di kampung seperti itu Mar. Ada sedikit anaknya."
  Tapi mbok jangan segitu anaknya. Darwis juga lgi kna musibah gitu. Duitmu juga masih utuh. Belum berubah secuil kertas pun. Pikirkan lagi."
Diam sejenak.
Prihatin dengan keadaanku Nho sambung Bu Sumarni dengan mata berkaca-kaca. Darwis temanmu, teman kecilmu. Masa tega toh kamu pepet gitu" kata Bu Sumarni.
Piye yo Mar. Suamimu menyanggupi  itu ujar Pak Ratnho kekeh.
Tolong dikurangi Nho"  desak Bu Sumarni memohon.
Ya sudah? Tiga ratus saja anaknya Mar.  agaimana? usulnya.
Pelan-pelan  Bu Sumarni pun menjawab
Iya nanti ya Nho. ini tak bayar hutangnya dahulu. Anakannya nyusul beberapa hari lagi ya.
"Oh iya Mar. Tidak apa-apa? katanya sambil menerima amplop hutangan Pak Darwis.
Terima kasih Mar
Senyum bibir Bu Sumarni mepermanis situasi
" iya sama-sama juga Nho.
Bercakap-cakap sebentar  mereka berdua. Pak Ratnho menanyakan kuliah Dewie dan keadaan suaminya. Intinya pak Ratnho terus mencoba menyetabilkan keadaan, dengan berbasa-basi kepada Bu Sumarni.
*
Cara Pandang dan Simpulan Keliru
Dewie semakin tersedu-sedu. Bayangan  terus slieweran di depan wajah yang tertunduk lesu itu. Matanya masih sembab memandang ke bawah. Memadang lantai keramik yang basah oleh air matanya. Tidak ada orang yang mengerti dengan kemauannya. Hanya ia sendiri. Slide demi slide kemudian berpindah, dan sekarang muncul layaknya layar bergambar memuat episode demi episode berbingkai.  Dewie terus membenam wajah tatkala episode berbingkai itu berjalan sendiri.
Iya aku mau kata Dewie sambil mengangguk.
"Hah..beneran Wie. .Aduh makasih banget Wie..,aku janji bakal jadi pacar yang selalu menghiburmu  sahut Irwan dengan muka cerah dan senyum mengembang-ngembang.
Pasangan itu kemudian resmi memiliki status baru. Pacaran.
Dewie sesungguhnya tidak terlalu mencintai Irwan. Ia cuma kasihan dan tak tahan dengan setiap rengekannya. Mirip anak kecil yang menangis memaksa meminta pistol-pistolan di tengah pasar. Lagipula banyak sekali sudah pengorbanan Irwan untuknya. Kuota, cemilan, dan makanan juga baju-baju ia tukarkan untuk Dewie. Hampir tiga juta  lebih, modal dia mendekati gadis yang ditaksirnya itu.
Hal yang paling membuat Dewie yakin dengan Irwan adalah dukungan dari Rhiena temannya satu kosnya. Perkenalannya dengan Rhiena bermula dari sejak Fatimah selesai kuliah. Kala itu, Dewie masih bisa bercakap-cakap, kontek-kontekan lewat HP dengan Fatimah. Tapi Itupun berlangsung hanya beberapa bulan. Fatimah berencana menikah di kampungnya. Dan Dewie enggan mengganggu-ganggu acaranya, walau hanya sekadar chatan. Dari kerengggangan hubungan itu, akhirnya dia berteman dengan Rhiena. Satu kos juga dengannya. Rhina  sangat baik pula dengan Dewie. Rhiena sendiri sangat mendukung bila Dewie jadian dengan Irwan. Sebab paling kuat karena peristiwa musibah ayahnya dulu.
Saat ekonomi Ibunya carut marut dan hampir saja membuat Dewie menunggak bayar SKS.  Irwan mampu membuat Dewie percaya. Dia sisihkan beberapa duit hasil kerjanya untuk membatu Dewie bayar kuliah. Dewie pun menerima, lalu telah berani berbohong pula. Dewie meyakinkan Ibunya kalau ia telah mendapatkan bantuan beasiswa.
Kenapa ia mau menerima pertolongan dari Irwan. Sebenarnya tidak begitu saja ia terima. Semua berawal dari malam itu.
Ini malam larut terdengar cakap-cakap dari kamar orang tuanya. Dahulu Dewie tak menghiraukan percakapan seperti ini. Alam mimpi terlalu kencang mengikatnya ke dalam imajinasi-imajinasi.  Sekarang tidak.
Uhuk..!!!..Uhukk!!!!..Uhuk!!!..Uhuukkk!!!.., aduh obat nyamuknya terlalu dekat Pak.  Membuatku terbatuk-batuk!!  kata sang isteri yang terbangun dari tidur.
Sebentar Bu" sahut Pak Darwis dengan kikuk menjangkau  piring obat nyamuk dan mematikannya.
Tak tahulah kenapa juga malam itu mereka berdua tidur tanpa kelambu. Mungkin panas dan gerah bila memasangnya.
Bu" tegur sang suami yang telah duduk membentuk engsotan karena tadi menjangkau piring obat nyamuk dengan malas.
"Kenapa Pak?.
Menyibakkan sarungnya Pak Darwis pun bertanya Apa kamu benar-benar mau menjual cincin kawin kita Bu, buat tambahan Dewie besok?
Ehhh!!!! membalikkan badan, dan sekarang terlentang isterinya. Maafkan aku ya Pak. Aku terpakasa menjual berian Bapak. Sebenarnya sudah aku jual dua harian lalu. Besok tinggal Dewie bawa sendiri. Semoga dengan ini, Allah selalu membukakan jalan bagi anak kita untuk meraih cita-citanya ya Pak? tutur isteri pelan.
"Amin. Bapak yang minta maaf  Bu. Gara-gara bapak, kita jadi kelabakan begini.
Sudah Pak, apa yang perlu disalahkan. Tidak ada?, orang tua memang tercipta untuk mendukung kehendak anak. Cita-cita anak. Bapak tidak salah, bapak telah membantu banyak. Kita adalah roda Dewie Pak!,  jadi mari berhenti bersalah, dan ayo kita makmurkan anak kita Pak!! kata isteri menyemangati sang suami.
 Iya Bu"
"Ya sudah, baiknya sekarang kita tidur lagi saja Pak. Besok siapkan tenaga" saran Bu Sumarni. Hening kemudian.
Dewie mencermati pembicaraan orang tuanya dari kamar.  Benar saja cakap-cakap antara ibu dan bapaknya itu membuatnya sedih teriris. Membuatnya bersalah berkedalaman. Terpaku tak mampu membantu. Tak bisa menolong meringankan orang tuanya. Hanya bisa menambah beban, hingga saat ini.
Malam itu naik air matanya memenuhi kelopak, dan perlahan mulai tumpah merembes ke atas bantal yang disandarkan di kepalanya. Selanjutnya ilusi-ilusi kebersalahan mulai mengacau di pikirannya lagi. Bermain lagi, seperti itu adalah pekarangan rumahnya saja. Bermain dengan ceria. Dengan bebas. Tanpa tahu bagaimana perasaan yang dipermainkan ilusinya itu. Terus mengacau ilusi-ilusinya itu,   dan sekarang sudah ganti lagi. Sekarang telah serupa kalender yang kadarluarsa, berganti bulan yang telah lalu. Setiap pergantiannya seperti menampilkan sebuah sketsa-sketsa kedodoran ortunya gara-gara memenuhi keinginan Dewie untuk bersekolah tinggi.  Memperberat kerja mereka, seperti remusa-remusa penjajah.
. Apakah aku penjajah itu? Yah!!! akulah penjajah itu!!, teriak batin Dewie mengakui.
Dewi tak bisa tidur. Terus berpikir-pikir. Terus mencari jalan sendiri. Berargumen sendiri, dengan jawaban benar juga dari dirinya sendiri. Sampai keberangkatannya pulang ke kos, Dewie masih terpikir-pikir keluh Ibunya di malam tadi.
Setelah tiba di kost tekadnya sungguh teguh untuk mencari pekerjaan agar meringankan beban orang tuanya. Dia bertanya pada teman-temannya namun sulit kala itu. Tidak ada toko perbelanjaan atau penjaga kios yang memerlukan karyawan. Dewie tak mampu berbuat banyak .
Curhat dan curhat selalu terdengar di telinga Irwan setiap berjalan dengan Dewie. Dia pun kemudian tak tega. Entahlah, semua terbaca hanya dari wajahnya saja yang tampak simpati. Laki-laki itu selalu memberikan sokongan dana dan suport untuk kekasihnya tersebut. Sampai sebuah kepercayaan telah menempel seperti benalu dalam lubuk hati Dewie. Tumbuh mengakar lalu menjalar meracuni semua prinsip dan realita. Dewi akhirnya terjerembab dalam mulut serigala.
Di suatu sore Dewie duduk dengan kedua dengkul ditekuk menghadap ke atas dan kepala terbenam di tengah-tengahnya. Kedua tangannya memperkokoh pondasi duduk dengan memeluk dengkul itu erat-erat. Rambutnya yang sebahu menutup ruas wajah dan jari-jemarinya yang terjalin-jalin mengikat pelukan  juga terarsir oleh helaian rambut yang sedikit seramwutan.
Di sudut kamar bercat hijau cerah itu  masih tetap terasa muram baginya. Dewie menangis terisak-isak. Tubuhnya berkeringat. Bergetar, senada dengan bunyi cegukan di mulutnya karena tekanan batin dalam tangis. Dia depresi. Tekanan kian mencekik mental. Mulutnya yang tersembunyi dalam benaman wajah meringkik seakan ingin bersuara tangis dengan sehebat-hebatnya. Sekeras-kerasnya dan sepuas-puasnya.
Larutlah ia dalam  keadaan buram yang tak ia pahami. Ingin ia putar balik jarum waktu dan ingin pula ia tendang jauh-jauh ceroboh yang terus jadi hantu di benaknya. Semuanya telah terlewat dengan cepat dan mendorongnya jatuh ke lubang  sesal.  Ya ..sesal!!.  Sesesal-sesalnya.
Dahulu ia masih aktif menunaikan ibadah rutinnya. Menentang semua perkara yang haram menurutnya. Bersama organisasinya. Bersama sahabatnya. Lalu  Setahun kemudian ia kehilangan sahabat organisasinya . Seperti kehilangan tangan. Dia tak mampu makan sendiri. Kehilangan kaki. Tak mampu berdiri. Dan dari kesemuanya itu yang paling payah, dia kehilangan arah.
Masih terisak..isak Dewie di sudut kamar berdinding hijau itu. Kiranya berapa puluh  menit ia menangis. Raut mukanya tetap sayu tenggelam dalam kapitan lutut yang menopangnya. Tak bergerak, tak bergeming dengan kata-kata. Diam dan masih cegukan. Menggelayut lagi semua sesal dan  kembali lagi keingatnnya. Tak dapat lepas tampaknya ia dengan sesalnya.
Janji-janji Irwan dia ungkapkan untuknya di dalam rumah bidakan di siang itu.
Percaya denganku Wie. Aku akan menjagamu dengan semua letih di ujung kemampuanku. Sungguh aku yakin mampu menjadi teman hidupmu yang merubah semua pelik menjadi manis."
Irwan menatap Dewie dengan simpatik. 'Bukan maksudku menghitung semua pemberianku. Namun hal yang ingin aku patri di hatimu ialah spakah dengan semua itu kau masih meragu?, akan aku lakukan semua yang aku bisa untuk menolongmu. Akan aku korbankan karena aku benar-benar ingin jadi pelindungmu  kata Irwan dengan tanpa ragu mendekap kepala Dewie dari samping untuk ditempelkan di dadanya.
Dewie hanya mampu termenung. Diam seribu kata. Hanyut dalam hening yang dibuatnya. Ngiangan itu mengernyitkan keningnya lagi. Dengan bergetar ia gigit kedua bibirnya. Kata-kata ingin membludak lepas dari kerongkongan. Masih tertahan. Takut ia ledakkan.
Namun ketahanannya roboh dihantam sesal yang mendalam.
AAAAAAA......AAAA haaaaa!!!!.. haaaaa!!!! lepas kontrol Dewie ,suaranya memecah kesunyian sore. Teriakannya kian menjadi-jadi dan membuat geger tetangga kamarnya. Mereka pun berhambur dan memburu kekamar Dewie yang tak terkunci. Tanpa cakap-cakap, teman-temannya segera memeluknya. Mengerubung seperti semut mengerubung gula. Polah Dewie makin kuat meronta-ronta seperti sapi yang berontak karena luka sabetan parang di lehernya. Sejadi-jadinya. Sekuat-kuatnya.
Sabar Wie..!! Sabar!! teriak salah seorang teman yang memeluknya. Istighfar Wie!!!..Istighfar!!!!. Membelalak-membelalak mata Dewie yang sembab itu. Tidurkan dia di kasur dulu!!. Pegang kuat-kuat kakinya!!!. Itu badannya!!!. Pegang kuat-kuat!!! Ambilkan minuman!! . Ambilkan minyak angin yang di kamarku!!. Ini!!, itu!!!!, bising gaduh suara kebingungan mereka membuat kos itu seperti pasar dadakan.
Sejenak kemudian rebahlah tubuh kuyu itu di atas kasur. Cegukan masih terdengar. Tangisan masih berjaya menghiasi wajah. Kelopaknya bengkak memerah dengan air mata yang tetes melengket.
Mereka bertanya sebab musababnya, namun mulut Dewie tak ingin membalas tanya itu. Ia terus gigit tepi bibirnya dan pertanyaan itupun terabaikan.
Salah seorang temannya melihat HP Dewie tergeletak di sisi kasur tanpa bertuan. Tangan temannya meraihnya. Suasana masih kacau dengan tangisan Dewie yang di warnai cegukannya.
Di baca pesan WA  yang belum sempat tertutup itu. Terulis demikian:
"Wie..selama kita berjalan. Terima kasih benar aku ucapkan kepadamu. Kamu gadis yang baik dan bukan sepantasnya aku berlaku demikian kepadamu. Sering kita lewati malam dengan dekapan hangat rangkulmu. Namun kini aku benar-benar minta maaf..aku berharap kau cari saja penggantiku, karena sebenarnya aku telah tunangan. Orang tua dan keluarga tunanganku telah setuju. Aku akan menikah. Maaf, benar-benar aku minta maaf. Terima kasih telah mempercayaiku!.
Tangan sahabatnya pun bergetar. Ia marah . Geram dan selekas ia baca selekas pula jempolnya memencet tombol pemanggil di HP Dewie.
Sial!!!. Nomornya tak aktif. Benar-benar masak rencananya. Ia tebar umpan untuk mendapat ikan. Puas kini ia makan. Bosan, ia pun menendangnya!. Tercampakkan sahabatku  bagai sarang lebah kehilangan madu, gerutu temannya.
*
Suatu senja di musim penghujan bulan November, Dewie terduduk di kursi sederhana serambi depan. Matanya memicing kekerumunan muda-mudi yang tertawa di bawah kosnya. Di lantai bertingkat itu ia mampu mengamati. Mengamati segala raut wajah-wajah orang-orang. Orang-orang yang bertampang ria. Orang-orang dengan tatapan tak peduli. Orang yang tertawanya dibikin-bikin. Senyumnya dibuat-buat. Orang-orang yang sedang tertimpa masalah. Dilanda beban dan keprustasian. Jelas ia lihat semua.
Lalu apakah aku termasuk orang yang prustasi itu,  tanya hatinya. Ya jawab batinnya juga.
Kamu masih kepikiran masalahmu seminggu lalu Wie? tiba-tiba suara Rhiena bertanya. Ia datang dengan muka penuh bedak basah dan handuk di kepalanya memuntal seperti kepala nanas.
Melengos sedikit muka Dewie, memandang kawannya yang datang. Kawanku ini termasuk orang ceria tampaknya. Orang yang tanpa suka mengaduh-aduh. Orang yang selalu humoris terhadap segala hal. Segala urusan. Tak mau ambil pusing bila sebuah masalah hanya menjurus ke kemunduran. Dia tegas dan juga santai, nilai hati Dewie.  Lama Rhiena menunggu jawaban, akhirnya datang juga dengan nada lirih:
"Serasa hilang semua Rhien?"
Rhiena mendekat. Langkah gontainya berhenti saat bokongnya juga duduk di kursi itu. Masih dengan gontainya. Tangan kirinya asik mengaduk-aduk teh dalam gelas bermotif putih. Ada foto sejoli di dinding gelas itu. Foto Rhiena dengan sang kekasih berpelukan seperti foto praweeding.
Rhiena mengaduk-aduk gelas.
 Sudahlah. Kamu sesali juga tak akan kembali saran Rhiena. Lantas apa kamu sudah bilang dengan orang tuamu dirumah, perihal kejadian ini? sambungnya.
Seet.!!! mata tanpa hasrat yang mengamati kerumunan sejak tadi berubah. Lebih terbuka dan lebih sadar. Sadar karena apa!. Mati aku bila bercerita dengan mereka. Pingsan pasti. Atau mungkin lebih parah lagi mereka, gejolak gumam mendesis-desis. Rona wajah Dewie beda. Hidungnya naik. Pipinya bergetar. Rasa muak benci berkerubut kembali. Ia mampu berbohong sekarang. Dan akan terulang terus.  Sebab, hanya itu elakannya.  
Tidak berani aku bilang Rhien, aku katakan jika aku baik-baik saja, kerja dan mandiri nyengir sudut bibirnya.
 Salahkah kelakuanku demikian Rhien? tanyan Dewie  balik.
Sruuup!!!!...ahh..?? seropotan tehnya.
Rhiena menikmati benar tehnya. Hangat dan segar.
Salah? katanya sejurus kemudian. Kini pandangan Dewie  menatap teman di sampingnya itu. Rubah semua objek-objek yang ia pandang. Terus ia tatap pipi tembem Rhiena yang masih dengan seropotan tehnya. Rhiena kemudian menatap muka Dewie. Beradulah mereka. Tanpa berusaha menjawab. Dewie hanya menanti jawaban. Hanya bergeming dia. Embusan napas dari hidungnya saja yang terasa. Ia menunggu penjelasan.
Salah, karena memang itu perbuatan dosa. Tapi juga kita harus berusaha perbaiki. Manusia semua pernah salah. Pernah teledor tapi selama  napas masih sanggup dihisap. Toh semuanya berarti masih ada kesempatan.
Kesempatan bagaimana Rhien?. Sungguh aku tak mengerti" wajah Dewie berbinar. Ingin sekali nampaknya ia mendengarkan.
Kau harus berusaha menebusnya". Rhiena  meletakkan teh ke pinggir kursi.
"Balas dengan prestasi.
Prestasi??!! potong Dewie  rendah.
Yah dengan prestasi. Belajar hidup mandiri. Jangan  beratkan orang tuamu lagi. Buat prestasi di kampus ini dengan usahamu. Pasti mereka bangga lalu masalahmu tentu akan terselesaikan. Kesalahanmu akan tertebus. Oleh kreasimu. Yaaa.. kreasimu itu."
Rhena seperti dosen jika menjelaskan. Tangannya sering ia dapati beriring dengan ungkapan bibirnya. Kadang telunjuknya lebih rendah jatuh ke papan kursi. Masih lincah sama seperti bibirnya. Telunjuknya pun lincah pula membuat gambar-gambar di papan itu. Gambar abstrak yang mewakilkan idenya.
Aku sebenarnya sama seperti mu Wie aku Rhiena dengan memandang ke depan sekarang. Memandang keluar.
"Seperti aku?. Tak paham lagi aku Rhien jawabnya heran.
Hmm. Aku juga sudah hilang perawan. Hilang saat SMA.
Membesar mata Dewie tak percaya. Dia tak menduga temannya bahkan lebih parah darinya. Heran. Heran sekali dia. Tapi selama ini ia pandang temannya itu dengan muka yang amat santai. Tak nampak kalau bunganya telah hancur juga.
Aku sama seperti kamu"  ulang Rhiena.
 Dahulu aku masih ditindih masa puber. Masa gejolak di mana keingintahuan begitu dominan merangsek. Aku sendiri adalah remaja pencari. Suka aku dengan pencarian hal baru.
"Sruuuupp!!!..Ahh!!!  Rhiena menyropot tehnya lagi. Teh yang mulai dingin karena cerita.
 Aku punya pacar dalu" tukas Rhiena sambil mengingat dan senyum sinis. Bodohnya aku. Rasa ingin coba-coba itu tak tertahan lagi. Untuk pertama kali aku bercumbu dalam WC bau itu, yang wanginya serupa hamburan kembang Rose. Hahahahaha!!!!! kata Rhiena tertawa.
"Kau bercinta  di WC? tanya Dewie dengan alisnya meninggi dan senyum heran.
Menengok ke muka Dewie yang senang benar mendengar ceritanya, Rhiena pun membalas senyumnya dengan senyum juga.
Begitulah. Itu terjadi 5 tahun lalu. Sampai sekarang tetap jadi kenangan. Tetap jadi rahasiaku." Rhiena menggeser tubuhnya untuk menguit lubang hidung karena gatal.
" Orang tuaku tidak aku beritahu, hanya kamu saja ucapnya meyakinkan.
Apa kamu tidak merasa bersalah Rhien? Dewie lebih bersungguh-sungguh menatapnya. Hilang semua bengongnya.
Huuhhh...." suara itu menampakkan ketidakpedulian.
Semua bagiku sudah jalannya Wie. Aku sekarang tak ingin merasa bersalah dengan kejadian itu. Salah hanya menimbulkan keterpurukan. Ada cara untuk mengubah. Dengan tetap membakti kepada orang tua, belajar menyelesaikan masalah sendiri, dan yah.., dengan prestasi tadi. Sepanjang tahun aku rengking di kelas, bahkan kau tahu sendiri kuliahku seperti apa? jelasnya tersenyum bangga. Memang kawannya sekelas itu selalu mendapat IP tinggi tiap semesternya. Dewie kerap meminta sarannya saat menjawab ataupun berdiskusi.
Kesalahan harus kita tebus. Orang tua tercipta dengan sejuta maaf asumsinya yakin .
 Hanya masalahnya, tergantung kita sendiri yang harus pintar mencari sela maaf itu lanjutnya dengan tangannya melayang-layang di udara. Tangannya padu dengan hal yang ingin diterangkan.
 Kau harus percaya Wie!  seru Rhiena.
"Orang tua kita pun pernah berbuat salah, entah masa ke berapa. Namun, mereka pun juga bisa menebus kesalahannya dengan hal berguna yang meninggikan lagi posisinya.
Mengagguk mencoba mencari sisi kebenarannya. Dan, memang benar penjelasan sahabatnya itu. Banyak tetua-tetua kampung yang sering diceritakan ayahnya sebagai seorang bajingan di masa muda. Namun kini mereka menjadi tokoh masyrakat, dan malah dipercaya membina desa. Juga lurah di kampungnya, asal usulnya tergolong suram. Ia adalah pensiunan maling, namun ia mengubah presepsi masyarakatnya dengan kepedulian-kepedulian, cakapnya berbicara, bagus tentang saran-sarannya dan sokongan-sokongan yang gemar disumbangkannya ke masjid. Sekarang setelah menjabat Kades orang-orang pun makin  hormat dengannya.
Banyak lagi contoh di televisi yang dipandang Dewie berkaitan dengan kebenaran presepsi Rhiena. Misal ada ustad yang mantan napi,  tapi sekarang berwibawa setelah bertobat. Ada juga ustad yang punya isteri dua, bahkan di media gosip dikabarkan perceraian serta pertengkaran mendera biduk rumah tangganya. Tapi kesemuanya dapat kembali ke dasar.  Kembali ke kejayaan. Dengan apa?. Dengan motivasi dan pola pikir. Berubah dengan langkah percaya. Percaya bagaimana? Percaya jika mampu terubah. Optimis setelah bertobat. Tapi tobat itukan mirip seperti baju?. Dipakai hanya sebagai tutupan sementara kala dingin. Kemudian untuk menutup dari hal yang kotor agar tak nampak.  Tentunya hanya pribadi sendiri saja yang tahu tentang selamanya akan memakai baju itu atau tidak. Sementara untuk orang lain, semuanya seperti arca batu yang megiyakan saja. Tak ada yang tahu tentang kapan seseorang akan melepas baju tobatnya. Hanya perhubungan dia dengan Tuhannya saja yang tahu, begitulah penilaian Dewie sekarang.
Perempuan dengan keadaan sepertimu banyak di sini Wie.  Ambil positifnya saja. Semangatlah dan jangan jadi pecundang yang terus lari dari bayang. Toh bayang hanya hilang di kala malam saja. Bayang  akan muncul lagi di kala siang. Artinya, semua sesalmu takkan hilang bila tak berusaha kau ubah sendiri. Jangan terlalu berhayal tanpa gerak. Karena hayal sama seperti bayang. Ada rentan waktu akan terwujud, tapi itupun hanya sesaat dan seterusnya ia akan sirna. Khayalan hanya terwujud seperti mimpi sedangkan mimpi pun ada batas" kata  Rhiena menggebu-gebu menyampaikan semangat pengandai-andaiannya.
Semakin percaya Dewie sore itu. Tebus kesalahannya dengan kemandirian begitulah tekadnya.
Aku ingin mengikuti nasihatmu itu Rhien. Aku membenarkannya ucap Dewie. Jika boleh tahu?" Dewie encoba beralih topik "Aku sering menjumpaimu bepergian di larut malam. Yah..? itu kau kemana dan dengan siapa? tanya Dewie penasaran.
Mata Rhiena tetap sayu diterpa angin sore. Ia seperti sengaja ingin berlambat-lambat mandi senja itu. Ada hal yang harus ia sampaikan pada sahabatnya. Hal yang seharusnya  sahabatnya itu anggap benar.
Sambil menggaruk lengan kirinya, Rhiena pun menjawab:
"Aku jalan malam  tersebut hanya sekadar melampiaskan rasa bosan.
" Bosan? Bosan bagaimana? Kenapa harus tengah malam. Padahal waktu itu sangat dingin dan nyaman-nyamannya untuk istirahat" tanya Dewie yang semakin penasaran.
Bosan saja Wie katanya tetap santai.
 Lihatlah obat yang terdiri dari berbagai bentuk. Ada tablet, puyer, kapsul, dan tetes atau oles. Menurutmu kenapa mereka membuat jenis-jenis yang beragam begitu? tanyanya balik.
Dewie tetap diam. Bukan karena ia tak tahu, melainkan ia tahu jika ini hanya pertanyaan retoris. Pertanyaan yang tak penting dengan jawabannya. Pertanyaan yang akan dijelaskan oleh penannyanya sendiri.
Sejurus kemudian Rhiena meneruskan lagi pembicaraannya.
"Semua dibuat hanya untuk tuntutan konsumen yang akan bosan dengan obat jika bentuknya hanya sejenis. Muak pastilah ia. Dengan tuntutan dari konsumen maka obat beragam bentuk pun diolah. Sama seperti aku Wie." Tangan Dewie menepuk dadanya.
"Aku pun jemu dengana semua obat bosan yang ada." Rhiena bangkit dan mulai jalan lalu lalang. "Malam  aku belanja ke Mall dan sebagainya. Kesemuanya itu sudah ku lakoni. Tetaplah bosanku tak hilang-hilang juga" ungkapnya sambil menggeleng.
"Maka aku coba larikan sejuta pelikku itu di taburan kerlap-kerlip lampu malam yang melarut . Ternyata tak seperti yang ku kira. Aku mendapatkan keceriaan di hari ngantuk itu.  Dunia ku seolah hidup dan memiliki warna"  jelas Rhiena.
Ada benar, ada juga salahnya pendapat sahabatnya itu di mata Dewie. Benar, karena memang untuk mengatasi suntuk itu, beragam orang selalu tidak habis akal dalam menyelesaikan masalahnya. Tidak harus tertuju pada satu kegiatan. Suntuk, lalu bawa belanja. Ada yang harus dibawa makan. Tidak demikian saja cara mengatasinya. Poin ini Dewie membenarkan asumsi Rhiena. Tapi juga salah, bila mengatasi rasa bosan itu harus dengan berjalan di tempat-tempat yang berbau dosa. Apakah tidak ada cara lain yang bisa dipikirkan lebih spesifik lagi. Jalan lain dan tempat lain. Dunia begitu luas juga lebar. Akal manusia  tercipata dengan tak mampu dijangkau seberapa luasnya. Akan bertambah luas bila terus mau mengasahnya. Bukankah cuma akan memperbanyak dosa bila datang ke tempat seperti itu. Walau Dewie sekarang telah kotor. Telah zalim dengan dirinya. Telah bisa berbohong kepada Ibunya. Kepada Tuhan dan kepadanya sendiri,. Tapi entahlah, dorongan perlawanan ketidaksetujuan atas gagasan Rhiena tadi seolah membuatnya ingin bermain debat dengannnya.
Setahuku Rhein, hal yang kamu lakukan itu hanya menambah mudarat. Dahulu aku ikut organisasi dan sering membahasnya. Kegiatan yang kamu lakukan tentu tak lepas dari zina Rhein.  Berkumpu-kumpul dengan orang-orang kotor. Orang yang telah usang dengan dirinya sendiri. Orang yang selalu bermandi dosa. Dosa yang tiada bisa ia jangkau dengan logikanya. Hotel yang berisi orang-orang maksiat. Orang-orang yang keruh agamanya. Kakimu kau langkahkan ke hotel itu pasti dengan iringan nafsu syahwat, bukan? desaknya.
Hahahahahaha..!!! Rhiena tertawa hebat. Sampai teman-temannya yang bercengkrama di lantai bawah mendongok ke atas, kagum dengan suara nyaringnya.
Masih ingat tragedi bom Bali? matanya bergerak naik turun memberi kode. Dewie mengangguk padahal dia belum bisa menebak kemana Rhiena akan menjelaskan.
Para pelakunya berdalih bahwa semua orang yang suka dengan DUGEM maka itulah orang-orang yang kafir. Tak terkecuali orang yang mencari nafkah dalam gedung itu. Contohnya seperti tukang sapu atau tukang mengantarkan minum. Padahal belum tentu mereka ikut dengan arus keramaian itu. Hura-hura?, belum tentu mereka berbuat demikian. Namun pandangan kelompok ahli jenggot itu ialah, memang banyak  orang yang berlaku mudarat dalam gedung sehingga menurutnya wajib bila tempat itu dihancurkan. Rhiena duduk lagi. Ia melanjutkan.
Sebagai seorang yang mengalami aku berbicara seperti ini berdasar fakta yang kutemui di tempat itu Wie. Ada kenalanku seorang pengantar minum,. Wanita lebih tua dariku dan bersuami yang bekerja di sana sebagai pengantar minum. Aku tanya kenapa ia mau bekerja seperti ini. Bukankan jualan seperti ini haram?. Jawaban ia adalah, haram atau halal itu semua tergantung niat kita untuk memakainya. Ia memang bekerja di tempat haram. Namun hatinya tulus hanya untuk menghidupi keluarga di rumah. Temanku mengemukakan pendapatnya juga dengan contoh anggaplah seorang penjual buah yang telah mendapatkan untung dari hasil berdagangnya. Lantas ia pulang  dengan uang keringatnya itu. Sampai di persimpangan jalan kampung, ia lihati ada segelintir pemuda tengah asik judi sabung ayam. Nah di situ ia ikut dengan acara itu. Ia ikut bertaruh. Bagaimana pendapatmu tentang status uang di tangannya. Tetap halalkah uang itu? Dari hal yang temanku sampaikan; aku pun mengambil kesimpulan bahwa prinsip manusia dalam sebuah kumpulan hiburan malam, takk semuanya berhati bejat. Semuanya punya kepercayaan. Keyakinan sendiri-sendiri. Semua itu hanya dapat diketahui jika kita mengenal baik dengan orang-orang itu. Bukan berdasar dari selebaran dan isu luaran saja urai Rhiena panjang.
Lantas semuanya kita pertalikan lagi melalui anggapanmu dengan anggapanku. Aku suka dengan glamour Banjarmasin. Aku suka dengan megah malam di sini. Tapi, dalam sekian kali perjalanku. Tahukah kamu tentang semua kegiatannku di dalam situ. Punya buktikah kamu jika setiap kunjungannku berbuat zina? Lalu bagaimana kamu tadi berkata-kata bila orang yang berada dalam hotel tersebut, yang suka dengan dunia gemerlap adalah orang-orang yang keruh iman. Bagaimana penilaian kamu tentang pendapat dari wanita yang ku ceritakan tadi?" nada Rhiena turun naik saat menjelaskan dan matanya tetap memicing ke mata Dewie sehingga membuatnya sering melempar pandang ke objek lain.
 Aku terkadang hanya membuang bosan dengan lantunan lagu klubnya saja. Tidak berbuat macam-macam Wie."
Dewi heran "Terkadang? berarti kamu juga pernah berbuat seperti kamu SMA  dulu di sana Rhien? tanyanya dengan kini berani menatap balik matanya.
Tampak ada hening di antaranya. Tukar pendapat itu pun kian seru dengan pertanyaan -pertanyaan desakan.
Dosa itu kan beragam tingkatan Wie: ada kecil, sedang, dan besar. Jika yang aku lakukan menurutku hanya dosa kecil kenapa dianggap suatu masalah. Toh orang tidak terganggu. Tidak meprotes.  Kita diberi waktu untuk menebus dosa-dosa. Tebus saja dengan prestasi kataku di awal tadi. Orang tua kita akan bangga.  Aku hanya mencoba mencari uang jajan lebih di sana." Mata Rhiena tajam dan tangannya ke depan dengan telunjuknya naik satu.
"Aku bukan jual diri Wie. Om-om dan pemuda-pemua itu yang memberiku jajan dan aku hanya bertugas melawani berbicara mereka saja. Bukankah itu gaji atau upah?"
Tidur dengan salah satu dari mereka?, tentu kamu pernah tanya Dewie menekan lagi.
"Hahahaaha!!! tertawa geli lagi Rhiena.
Dewie jadi terheran-heran. Mulai tak konsisten temannya itu berujar. Tadi mengatakan pengingkaran tentang segala perbuatan dosa yang ia lakukan. Sekarang ia menyatakan lagi tentang tingkatan sebuah dosa. Menilai dosa. Dosa yang ia akui telah dibuat.
Tapi pantas juakah Dewie, bila terus menyangkalnya. Dewie hanya melawan dengan semua rupa badannya yang belum disinggung Rhiena. Bila itu semua telah di singgung, toh apa bedanya dia dengan Rhien. Sebenarnya Dewie pun telah memikirkan ini. Namun rasa penasaran mendorongnya untuk mencari tahu.  Lebih sekadar hanya untuk obrolan sore saja.
Memang aku pernah, namun itu hanya semata-mata pelampiasan bosanku karena tertekan masalah. Obat bosan itu bergam Wie? Sama lagi dengan kata-kataku tadi. Sekarang aku balik bertanya denganmu? matanya merangsek ke depan karena sebenarnya ia pun mulai tersudut.
"Setelah kejadian itu, kamu mau apa? Terserah.. anggaplah aku mungkin wanita penjaja lelaki. Jika memang tuduhan  seperti itu mampu buatmu lega. Kamu masih pemula. Tentulah tekanan emosimu belum beradaptasi dengan lingkungan terangnya.
Sesaat hening percakapan itu, hanya terdenganr bunyi anak-anak kos lain yang tengah berkelakar hebat di ruang bawah. Suaranya tak Dewie sukai. Kesannya mengejek.
Plekk...??, lirih tangan Rhiena menepuk pundak Dewie, dan sejenak tangan itu masih bertengger di bahunya.
 Nanti ikutlah denganku, dan nilai dengan cara pikirmu. Apakah perbuatanku salah di matamu dan merugikan orang lain.
Dewie terdiam. Pikirannya masih mencerna tentang saran sahabatnya itu.
Baiklah aku akan mencoba lain waktu. Tapi untuk saat ini, aku minta saran-saran saja darimu, karena itu aku sungguh perlu? katanya sambil tersenyum.
 Rhiena membalas senyum lalu ninggalkan Dewie untuk mandi.
*
8.Kebangkitan


Senandung deru angin tengah malam sedikit menyibak-nyibak horden kamar.  Angin dingin nampaknya masuk dari jendela yang belum terkunci. Hembusan membawa horden itu melambai-lambai menari. Di luar kos masih tampak benar gelap mengental. Padahal lampu-lampu telah berpijar-pijar menjadi benderang. Tapi tetap saja gelap lebih unggul ketimbang lampu yang menerang itu. Gelap lebih dekat. Lebih kuat. Kental dab nyata datang dengan semua luas serta lebar badannya menutup semua celah cahaya. Sedangkan lampu hanya datang ketika gelap telah menyelimut. Manusia juga demikian, kesalahan diperbuat dengan begitu berlarut-larut. Begitu bangga dengan salah. Begitu ambisius menumpuk dosa. Sementara cahaya petunjuk hanya datang samar-samar di dalam roh angkara nafsu seseorang. Angkara yang gelap dan cahaya itu pun lambat laun padam dengan terabaikan.
Sejak pergaulannya dengan Rhiena entah mengapa perampilan Dewi kian elit. Bisa dibilang perlente dengan sandang busana yang benar-benar modif. Dewie telah menjelma sebagai anak metro Banjarmasin asli. Parasnya seakan membuat laki-laki tambah ingin melumatnya. Kerudung kini ia tanggalkan berganti dengan ratusan helai rambut lurus mengurai. Tapi yang tak dapat dimengerti ialah sikapnya itu akan berputar 180 derajat bila ia tiba di kampungnya.
Dewie tetap kalem seperti tidak terjadi perubahan dengan dia. Ibunya tak merasa curiga dan yakin anaknya kuliah dengan sungguh-sungguh.
Sekarang Dewie lihai bermain kata jika orang tuanya menelponnya.
"Dewie sekarang sudah kerja Bu. Biaya SKS, jajan, dan kos-kosan, alhamdulillah Dewie bisa cukupi" begitu tuturnya.
Dewie terkekeh sendiri dalam lamunannya. Ingin tidur kelihatannya. Tapi di tunda-tunda dan bibirnya senyum-senyum. Senyum itu lucu malu-malu. Penuh dengan ingatan-ingatan lagi. Kadang berguling-guling badannya dengan piyama lembut yang ia kenakan.
Terawangannya menuju kejadian akhir-akhir ini. Sebenarnya Ia cela dirinya. Sekarang, ia benar-benar glamour metropolis. Bahkan mirip zionis anarkis kelakuannya itu. Tapi entah kenapa ia menikmati. Dengan masih berkamuflase sikap bila berhadapan dengan orang tuanya.  Dewie kini telah menjadi seorang yang selalu pintar bersandiwara.
 Kembali lagi ia mengenang kejadian lucu itu.
Tujuh hari yang lalu ia muntah hebat. Bukan di kos-kosan ini atau mugkin bukan sepulang dia dari toko buku dulu di mana hidungnya sensitif dengan AC dan berujung meriang.
Dewie muntah karena jantungnya terasa lepas. Agaknya sound system di klub itu biang keladinya. Menendang jantung. Memaksanya keluar, dan melakukan kerja detak haram yang seharusnya detakan itu menyebut sang Pencipta.   Suaranya benar-benar merobek gendang. Terus terdorong masuk menjejali saraf.
Dewie cela dirinya untuk kesekian kali.
Memalukan benar!, gumamnya.  
Ahh...?? geliatnya  lagi di atas kasur. Kini ia tengkurap. Jemarinya asik lagi dengan tombol ponsel.
Bunyi pesan Wa untuk seseorang.
Jadikah malam ini. Nanti datang saja ke kos. Ya sekitar jam 2.
Layar ponsel berbunyi rendah, menandakan sebuah pesan telah terkirim. Ia balikkan badannya lagi keposisi awal.
Cepat nian seseorang merespon keadaan jika pribadi juga telah rapuh dengan suatu kemunafikan. Jika tumpuan sudah tidak ada dan kalah dengan hasutan maka hanya terombang-ambing arus yang di rasa benar.
Titit..titit..titit..!! bunyi ponsel Dewie. Kemudian jempolnya memencet untuk membaca pesan  Siip..!!  balasan pesan seluler itu.
Ia taruh Hanphone di sisi tubuhnya. Menggaruk sedikit tanggannya kedagu, ia kembali  mengenang saat-saat tujuh hari lalu.
Kakinya berderap keluar dari mobil hitam merek Avanza. Dengan cekikikan keluarlah Dewie dan Rhiena diiringi beberapa  pemuda sepantarannya menuju sebuah klub di Banjarmasin.
Warna warni putaran bola lampu dan sorot cahaya mengkilat kilat penuhi area. Kacau benar situasi itu. Orang-orang kepayahan terus senggol-senggol ketus dengan orang berlainan muhrim. Ada juga yang berseru-seru heboh. Kepulan asap membumbung rendah menjerat paru-paru. Perempuan modis berbaju tipis jjuga banyak yang merokok. Seorang pria sepantaran Dewie asik menghisapkan rokoknya ke mulut teman kencannya. Baju perempuan itupun  lebih mirip sulaman benang transparan daripada pakaian. Jingkrak-jingkrak mereka, geleng-geleng juga. Tingkah mereka benar-benar brutal. Lebih brutal dari tingkah muda-mudi yang ia tonton di taman Banjarbaru. Sound juga sangat terdengar ganas memekakkan telinga.
Bising musik disko di klub ini begitu keras . Muak dan berujung pening!!!. Pusing berat!!!.
Dewie tak tahan, dan dentuman musik itu akhirnya membuatnya malu.
Dewie berjalan mual dengan tangan satu melilit pundak Rhiena. Berjalan terkopoh-kopoh ke toilet dan hampir pingsan. Terduduk Dewie di pinggir wastafel, dan sesaat..
 Uuuueeekkkkkk!!!!!!..Uuueeekk!!!!! keluar semua makanannya diiringi keringatnya yang mengucur dingin membasahi bedak yang meriasnya. Lemas langsung Dewie.
 Sahabatnya tertawa ngakak. Maklumlah ini pertama untuk Dewie berkunjung ke klub seperti ini. Fisiknya tentu membrontak.
Rhieana mengambil sebuah bungkusan. Dari tas mungil itu keluat jenis tablet kecil-kecil.. Pil-pil itu beraneka warna dan sampai saat ini sahabatnya terus bilang jika itu vitamin C, jawabnya.
Rhiena meminta Dewie meneguknya satu. Selang berapa menit ringanlah bangkit tubuh kuyu itu. Bertambah sayu matanya tapi sekarang mengapung-apung seperti menginjak awan. Dewie seolah melayang dengan jalan tangan-tangan penggemar yang membopong dan mengalunkannya menuju dudukan singgasana. Berjalan dengan aroma-aroma alkohol di dalam klub itu seperti aroma tumpukan kembang srintil. Dewie  kembali lagi ke kerumunan yang bersorak-sorak . Ikut bejubel-jebel di dalamnya dengan tangan-tangan jail menjamah-jamah badannya.
Yah!!!, dia nikmati itu seolah benar-benar tangan-tangan itu ialah tangan penggemarnya yang membopongnya menuju pentas puncak  pesta dirinya.
Dewie loncat-loncat lagi kemudian tertawa kocak. Seakan memainkan film India, kini ia serasa menari dengan artis idolanya . Disaksikan puluhan pemain figuran dan dalam balutan kabut indah.
Rhiena juga tertawa lepas. Jingkrak-jingkrak lagi. Terus semakin heboh. Semakin liar. Semakin ganas!!. Hingga tanpa ia sadar tali branya telah longsor satu.
Dewie terus menggila mirip bekantan ngamuk meloncat dari dahan ke dahan. Benar-benar ringan pikirnya. Terus ia terbang di udara dan melayang-layang di sana. Kemudian turun meluncur lagi dengan lembut lalu serasa berpijak di atas air sembari tanganya terlentang serupa salip.  Merasakan angin laut menerpa membias tubuhnya layaknya samudra menerpa.
Hebat sekali vitamin C ini, batinya memuji-muji. Berfantasi ria  dia selama  satu jam. Tanpa halangan!. Tanpa beban!. Tanpa masalah!!. Tanpa bersalah!!.
Lelah dengan loncat-loncat dan geleng-geleng, kakinya lalu menuju tempat kerumunan untuk minum-minum. Botol fanta seperti di kampung berjejer rapi di tempat itu. Tapi kesannya botol itu berisi fanta mahal. Terbukti dengan tuangannya yang sedikit nian dalam gelas.
Pelit pelayan itu, gumamnya dalam ketidakstabilan.
Seett!!..Bukk!!! bunyi bokong duduk di atas kursi.
 Tangan seseorang tergeletak di meja yang berbentuk U itu. Sesekali juga dia beringsut memusut  celah di bawah  hidungnya dengan telunjuk. Rambutnya carut marut. Masih tertawa-tawa dia, melihat mereka yang juga tertawa-tawa.
Paman, vodka satu! ucapnya tertawa-tawa. Matanya semakin terjerebab karena dosis obat.
Rhiena terkekeh memperlihatkan deretan gigi gingsul manisnya. Dia menyapa dan meminta Dewie gabung bersamanya.
Dewie  melongo samar. Bergoyang goyang pandangannya. Masih dengan halusinasi hebat pedengarannya menangkap jika tadi sahabatnya seperti memanggilnya.
"Uek..ekkhhhhhhh..!!!!"bunyi sendawa Rhiena kian hebat. "Cheerss!!!!. sambungnya.
 Dewie menyambutnya. Gelas pun berkemelinting.
Gluk..!! bunyi air yang sangat sedikit itu masuk ke kerongkongan Dewie. Matanya masak, dan bangun dari layunya. Lalu ubah dengan mengernyit menutup lagi matanya itu. Menahan sesuatu, diikuti pula dengan  rona muka Dewie yang berubah masam.
"Minuman apa ini, pikirnya. Lucu dan aneh rasanya. Seperti minum parfum bercampur u Spritus. Sedikit dingin lalu berubah panas dan beruap pula.
Pandangan nyala redup itu lalu berpusing lagi. Ia memandang sekitar dengan gila. Tertawa, dan kadang mengejek-ejek. Kuat benar minuman kuning senja itu menurutnya. Semakin larut dalam lendir-lendir kegirangan. Pusing lagi dia. Mencoba menikmati, namun berat terasa kepalanya.
Musik DJ masih gencar menghentak. Bola lampu masih berputar warna-warni. Putaranya layaknya kincir  yang membawanya berputar juga. Sorot lampu warna-warni juga masih silau-silau membias mata. Senyum lagi sudut bibir Dewie. Ia berusaha bangkit dari kursi. Dewie menyonsong kerumunan untuk duel  jingkrak-jingkrak. Rambutnya semakin awut-awutan menutup satu matanya. Sementara celana levis yang ia kenakan nampak kedodoran memperlihatkan tulang ekornya.
Huuuuu!!!!!...Aseeeek!!!!! terus loncat-loncat tanpa peduli dengan sekitar. Senggol ia balas senggol. Tiga pria kenalan Rhiena melingkarinya. Mengikuti lagu dari DJ diskotik tersebut, tangannya melambai-lambai ke atas seperti korban bencana berebut sumbangan. Masih berkoar-koar girang. Tiga pria merapat lalu berpesta liar dengan Dewie yang mulai lemas.
Blukkk!!!..,tubuh berisi Dewie tekulai di lantai. Pingsan dia. Tiga pemuda tadi segera menghampiri dan membopongnya masuk ke dalam sebuah kamar. Dua diantaranya adalah sahabat pria Dewie dan Rhiena yang membawa mereka  dugem.
Beberapa puluh menit kemudian.
Suasana kamar bernomor 28 itu begitu sayu. Lentera listrik bercahaya  merah kekuning-kuningan meremang bertahan seolah lentera minyak  yang mulai habis.
Pemuda-pemuda yang membopong tubuh Dewie masih ada di dalam. Entah apa yang mereka buat. Hanya deru tawa Rhiena terkadang masih nyliwer menelusup dalam celah jendela, celah pelapon, dan celah lubang anak kunci pintu.
Lalu hening suara.
Di luar cleaning servis hanya betugas beres-beres di luar pintu. Dalam jalan beraltar merah itu ia menyapu ratik-ratik dan abu rokok lalu memasukkannya ke tong sampah. Tukang bersih-bersih itu kemudian melewati pintu bernomor 28 yang terbuka sedikit. Pintunya tak terkunci dan dengan berani ia merayap lalu mencungulkan kepalanya masuk.
Hey..!!!! teriak Rhiena.
Tukang bersih-bersih itu pergi dengan tergesa-gesa. Geleng-geleng wajahnya sambi tertawa.
Rhiena  terkulai tenpa busana di atas sofa sementara Dewie juga terkapar di tempat tidur. Di sekitarnya tiga pria malaikat bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam tengah mengurung bagai komplotan serigala mencabik buruan. Di atas meja berhambur juga beragam pil dan minuman energi. Berserakan pula di sekitar situ balon-balon karet kecil.
Begitulah cerita yang dituturkan Rhiena kepada Dewie saat terbangun dari pingsan. Semua yang Dewie dengar dari Rhiena membuatnya malu sebenarnya. Tapi juga hanya sesaat, karena setelah itu hasutan Rhiena agar menebus kesalahan dengan prestasi, dengan mandiri, dan dengan semua tata penjelasan semakin membuat sahabatnya itu enteng saja dalam menyikapi salahnya. Dewie tak menyesal. Menyesal hanya berujung pada keterpurukan . Itu slogan temannya yang sekarang jadi slogan Dewie.
Dewi beringsut dari tempat tidur. Kembali dari ingatan tentang itu kini ia terpekur di depan lemari baju. Sekarang sudah berbeda dengan dulu.  Dewie bukan orang katro lagi bila menjejak kakinya di klub itu. Tubuhnya telah ikut suasana. Dewie berdiri. Dengan profesional ia pilih baju untuk malam ini. Rencananya dia akan party lagi.
Sambil mengenakan baju Dewie berpikir kalau segala keperluan kuliah, kini dapat ia penuhi. Dewie terus keras untuk menolak sokongan dari orang tuanya. Dalihnya sekarang ia bekeja. Bekerja dan bekerja. Berbohong dan membual, begitu  akunya dalam percakapan di telepon. Ibunya hanya terus mendoakan keselamatan untuknya.
Tiba-tiba bunyi ponsel mengusik tidurnya. Di luar  Rhiena mengetok-ngetok  pintu kamar Dewie.
Wooy..bangun woyy..Jadi nggak nih. Itu mereka sudah datang" kata Rhiena menggedor pintunya.
"Dandan. Sebentar lagi."
"Oh. Ku kira kamu molor. Oke, aku juga"
Derap langkah Rhiena menjadi pelan dan hilang. Dia kembali ke kamarnya.
Di kamarnya, Rhiena pun  tak kalah dandan dengan Dewie. Ia lebih suka memakai baju dan rok mini hitam. Tali bra hitam terlihat timbul menekan lemak di punggungnya. Ia lebih sering dibilang semok ketimbang gembrot oleh teman-temanya. Mungkin karena daging di tubuhnya yang offside itu. Tapi ia selalu percaya diri.
Dahulu sebenarnya dimata Dewie, Rhiena adalah gadis yang tidak gendut. Tubuhnya sedang, ketika kenal dengannya. Keseringan dugem mungkin membuatnya lapar. Kemudian semakin meningkatlah nafsu makannya. Seperti yang pernah Dewie tahu, bila seorang wanita yang telah berkeluarga, biasanya tubuhnya akan gendut bila sudah melahirkan. Jelasnya, tubuh Rhiena itu terlihat makmur.
Setelah selesai berdandan, mereka berdua keluar kos. Rhiena dan Dewie  masuk ke dalam mobil. Duduk mereka di kursi paling belakang. Mobil itu berisi kiranya empat orang. Teman Dewie dan Rhiena semua.
Berbunyi lembut, kemudian  mobil itupun melaju pelan.
Dewie suka keluar pada jam seperti ini karena ia tak ingin tampangnya banyak diketahui orang. Jam tengah malam biasanya warga Banjarmasin masih terlihat ramai berkumpul-kumpul di pinggir jalan. Ia tak suka. Dewie kadang masih malu dan risih kendati kesopanannya telah terbuang beberapa bulan lalu.
Sedangkan pada waktu seperti ini, biasanya klub saja yang ramai. Keramaian diskotik tentu beda dengan keramaian warga. Dalam diskotik Dewie tak merasa risih. Kebebasan itu haknya.
Ongkos masuk yang kadang gratis membuat diskotik jadi seru. Oleh karenanya diskotik cenderung ramai saat jam 2 dini hari. Keramaiannya bahkan di hiasai oleh cabe-cabe SMA  yang juga menikmati pora di larut malam. Hebat mereka. Benar-benar bebas berekspresi. Dewie selalu suka pandangan larut malam. Ia temui di jalanan sahabat-sahabat dari kos-kos lainnya juga dijemput dengan mobil yang elit. Mereka pun memakai baju yang tak kalah menantang.
*
Ya..Allah!!! Ban sepedaku bocor lagi. Aduh!!!!..bagaimana ini keluh Bu Sumarni dengan berucap-ucap sendiri.
Jam 3 dini hari, Bu Sumarni ingin ke pasar Jumat Anjir. Mendung telah sayup-sayup menjadi rintik air. Dua keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Bu Sumarni  coba ambil pompa di dalam rumah. Pentil ban ia cek lalu ganti. Merasa beres, Bu Sumarni segera memompanya. Sekitar dua menit menunggu, Bu Sumarni kemudian berjalan lagi menuju ban. Ia lalu menjongkokkan badan.
Hehhhhh!!!!...Allahu Akbar. Bu Sumarni mengamati ternyata ban terus keluar angin. Bahkan terasa deras embusan yang keluar dari dalam ban.
  Dagangan padahal sudah selesai diurus, dari sayur yang telah dicuci dan umbud yang sudah rampung dipotong-potong. Sayang benar jika tak dapat dijual, sedangkan hari Sabtu dan Minggu, pasar Anjir letaknya sungguh jauh. Tak mungkin dijangkau menggunakan sepeda.  Bakalan layu daganganku itu bila tak terjual, gumamnya sambil menggerutu.
Tangannya untuk sesaat menggaruk-garuk rambutnya yang basah dengan bingung. Sementara nyamuk berdenging-denging memburu darah. Banyak makhluk itu bila musim penghujan seperti ini. Mereka terbang seliweran menggerubung Bu Sumarni yang jongkok dengan separuh lemas.
"Plak!!!..Plook!!! bunyi tangannya berciprat-ciprat air saat menapak-napak nyamuk.
 Bu Sumarni tertunduk dengan mata memejam.
Hmmm!!! Huuuu!!!.. Hirup lalu hembuskan  napasnya sebentar. Lalu tanpa ingin berlama-lama dalam kepasrahan, segera saja dia berdiri dan langsung bergerak menata dagangannya di atas sepeda. Pompa ia selipkan dengan ikatan tali ban yang mengikat karung pembungkus sayur. Sebentar kemudian, ketika telah tersusun dagangannya, Bu Sumarni masuk lagi kedalam rumah, berganti baju dengan jaket, dan keluar lagi.
Malam masih rintik-rintik berhujan.
Maka dengan  bekobar-kobar api semangat. Tanpa peduli lagi dengan hujan,  langsung saja ia mendorong sepedanya  menuju pasar.
Bismillahirrahmanirrahim!!!! sebut mulutnya yakin. Kemudian  meluncurlah  dia dengan keinginan hatinya. Tak peduli jam berapa ia akan tiba. Sungguh tak peduli.
*
Mobil itu telah sampai di jalan Pantai Jodoh dan secara pelan menyusurinya. Pantai Jodoh ternyata lumayan sunyi manusianya bila jam seperti ini. Dekat dengan itu terdengar lamat-lamat suara pengajian Masjid Sabilal.
Tiba-tiba Dewie teringat ibunya.
Dahulu ia terbangun jam seperti ini. Tenggorokannya haus dan kakinya beranjak keluar mencari air minum.
Sebelum ia sampai di dapur. Kupingnya telah menangkap bunyi-bunyi ayat Al-Quran dari kamar Ibunya. Bunyinya berirama naik turun nadanya membias dini hari yang melarut saat itu.
Langgar dan masjid di kampung sepi terkecuali Subuh datang. Suara ngaji Ibunya mewakili rutinitas dua tempat ibadah itu dengan lantunan ayat membumbung ke langit. Dewie tak ingin mengganggunya, dan berjalan pelan menuju dapur.
Sejurus kemudian lamunannya buyar lagi.
Rhiena menepuk bahunya, dan berucap, Heii..lihat!! tangannya menujuk ke arah luar. Bencong-bencong terkumpul di pinggiran Sabilal. Astaga, mereka itu. Di dalam masjid pengajian? mereka malah tanpa malu seliweran cari pelanggan" omelnya.
Lupa lagi Dewie dengan lamunan tentang rasa bersalahnya itu. Dibalik kaca mobil,  Dewie fokus  melihat waria-waria  dengan busana minim warna mencolok keluyuran. Terdengar mereka menggonggong memekik suasana. Ada juga di antaranya menari brutal layaknya babon kehilangan pisang.
Rambut mereka merah-merah pirang. Sebenarnya mirip  gadis Korea bila dilihat dari belakang. Jalan mereka juga ayu. Mereka punya liukan pinggul juga. Lampai. Berkulit putih walau sedikit bertelapak tangan kasar. Dibilang kasar karena otot tangannya tak mampu menutupi identitas jati diri mereka. Tanganya juga masih kekar walau berbagai olesan lousen dan pelembab-pelembab telah mereka kenakan.
Di bawah pohon sengon, tubuh kurus-kurus itu  berhenti mengatur posisi. Menunggu jemputan nampaknya. Berdiri di pinggiran sambil senyum-senyum. Lalu tertawa-tawa, ada juga yang sembunyi di balik pohon. Hanya terlihat bias bajunya saja, itu pun samar-samar di antara gelap yang membedaki malam.
Mobil yang ditumpangi Dewie lebih mengalun pelan mengamati keadaan yang sedang mereka tonton. Dalam mobil itu teman-teman Dewie tertawa. Bahkan ada yang terpingkal-pingkal  keras dengan geli karena melihat pakaian minim waria-waria itu. Dingin di luaran tetap membuat waria-waria itu cuek. Mereka tetap nekad mengenakan pakaian seksinya.
Lihat mereka Wie? ujar Rhiena, matanya masih tajam menatap keluar. Mereka lebih parah dibandingkan kita. Coba kamu amati. Tuhan menciptakan mereka,sebenarnya sebagai kaum laki-laki. Tapi ternyata mereka berubah dengan kata lain, mereka tak mensyukuri karunia Tuhan. Tak terima berian Tuhan. Ada di antara mereka beranggapan bahwa, naluri wanita sejati yang menuntun mereka jadi seperti itu. Menurutmu? Naluri wanita seperti apa? tanya Rhiena.
Dewie terdiam tak menjawab. Ia masih menatap keluar kaca mobil.
Rhiena kembali menjelaskan Itu bukan naluri wanita. Hanya rasa yang mereka besar-besar, agung-agungkan lalu  jalankan. Ada juga alasan mereka karena faktor style!. Kau taulah.." ujar Rhiena menjawil. "Artis-artis TV yang naik daun dengan gaya kemayu, dan hal demikian mereka jadikan tren? ungkap Rhiena.
Kamu tahu darimana Rhien? Dewie bertanya tanpa menatapnya, masih  asik dia dengan pemandangan luar.
Mobil mereka kemudian menepi dan akhirnya berhenti. Lumayan berjarak tapi masih mampu mengamati para ulat bulu itu.
Rhiena tersenyum aku pun banyak teman-teman kayak gitu  di salon. Kadang saat aku sedang spa aku menyelingkan waktu untuk bercakap-cakap dengannya. Mereka itu Wie jelas Dewie yang semakin asik dengan ceritanya.
Jika melayani tamu, amboyy... rasa simpatiknya amat besar. Mereka memberi masukan-masukan kepada tamu. Bila tamunya perempuan yang sedang kerimbat atau apa. Mereka sungguh detail dalam memberi informasi perawatan yang benar, katanya: 'Aduh adik??? kukumu ini, bagusnya seperti ini, rambutmu cocok bila pakai sampo ini, badanmu itu harusnya dikasih lulur sebelum tidur?'" ulang Rhiena menirukan. "Macam-macam saran dari mereka. Perhatian sekali urai Rhiena lagi  dengan raut muka masih kagum.
Kemudian apabila tamunya lelaki, apalagi cowo maco sambungnya meneruskan cerita. Aduhh..Wie.  Ungkapan-ungkapan kagum dari  mereka itu, benar-benar tambah membuatku jadi terpingkal-pingkal. Pujian yang mereka layangkan sungguh berlebihan dan lambat-lambat arah bicaranya pun sudah melenceng ke arah pornografi. Berandai-andai dan berhayal-hayal bila menjadi pacar cowo ganteng itu, dan lain sebagainya. Yang bila dituturka, pasti buatmu juga ikut tertawa cekikikan ungkap Rhiena.
"Lalu bagaimana hubungan antara mereka sendiri Rhien?, apa baik saja seperti kita-kita ini tanya Dewie semakin penasaran.
"Tidak terlalu baik Wie sosor teman prianya yang menyupir di depan. Dia juga asik sendiri dengan pacarnya di kursi depan. Bercanda-canda dengan sedikit bunyi erangan lembut dari si perempuan karena keusilan joki mobil itu.
  Benar kata Jali itu" ujar Rhiena mengangguk. Tidak terlalu baik hubungan di antaranya, khususnya dari segi ucapan. Bila dengan sesama segala sumpah dan panggilan-panggilan yang tak pantas yang mereka pakai. Tapi itu juga sebatas canda, tapi tetap kurang baik. Cemburu mereka juga tinggi, ini karena susah buat mencari pacar yang sama sikapnya seperti mereka dan kadang berakibat pada tempramen yang buruk jelas Rhiena.
Sekarang Dewie  paham tentang penjelasan sahabatnya itu. Dari pengetahuan Rhiena, ia jadi teringat sahabatnya. Fatimah. Yah dua orang sahabatnya itu sama. Sama-sama asik, sama-sama lihai dalam bercerita. Sama-sama luas pergaulannya. Bedanya, satu menilai dengan kebebasan, dan satu masih menilai dengan ikatan norma agama.
Lihat..? tunjuk Rhiena ke arah luar.
Dewie mengikuti arah telunjuk Rhiena.
Mereka dijemput seseorang, Mereka juga pasti akan fun-fun sama seperti kita? lanjutnya sambil mengangguk-angguk.
"Ah masa Rhien? sangkal Dewie.
Kamu belum tahu sih Wie" nada Jali  datar.
"Menurutmu apa yang mereka perbuat di kala larut seperti ini. Berdiri di pinggir jalan beratap pohon sengon. Mereka menunggu pelanggan Wie jelas Rhiena dengan mimik  bersungguh-sungguh.
 Dan memang benar, waria-waria itu tidak hanya berdiri hanya sekadar menyambut Subuh. Banyak dari mereka juga dipesan seseorang. Ada beberapa pria bermotor yang berhenti lalu membawa mereka bercakap-cakap. Selanjutnya pria-pria itu ada yang membawanya jalan. Adapula yang hilang dibalik pohon sengon. Tak jauh dari pengamatan Dewie  beberapa dum truk berhenti di sebuah taman kota. Usai terpal dan saund mereka pasang, saat musik berdentum empat sampai lima orang berdisko di sana. Lebih mencengangkan dua atau tiga orang adalah pria ulat bulu yang banyak mangkal tadi. Luar biasa.
Mobil klub itu berjalan  lagi meninggalkan tempat itu.
Kita ini jauh masih mending dari mereka jelas Rhiena. Kita bonavit? Berkelas!, dan bukan penjaja lelaki setingkat wanita di persimpangan jalan atau setara bencong-bencong yang tak mensyukuri rahmat tadi ucapnya mencoba berargumen.
Menurutku kita sudah sama saja dengan mereka Rhien. Kita juga penjaja lelaki terang Dewie yang tidak lagi menatap jendela kaca luar, hanya duduk santai dengan tangan memutar-mutar Handphone.
Bukan! bantah Rhiena. Jali!!?, lewat jalan Sudi Mampir saja? teriak Rhiena.
Oke! balasnya.
Akan aku perlihatkan Wie. Kelas kita dengan kelas mereka. Nilailah sendiri, mana yang lebih terhormat kata Rhiena.
Dewie tak paham. Sementara mobil yang ditumpanginya melaju dengan sedikit kencang lagi. Seperti ingin cepat-cepat sampai pada sebuah tempat. Biasanya, mereka ketika Dugem, melewati jalan Benua Anyar dan langsung menuju jalan utama yaitu jalan A.Yani.  Jalan itu cenderung mulus dan lebih cepat. Tapi malam ini agaknya joki ingin suasana baru dengan lewat jalan Pantai Jodoh yang lebih memutar-mutar dari lokasi klub.
Jam berderak pada angka 3 lewat sedikit, cakap-cakap di sana tadi tampaknya memakan waktu yang lumayan.
Mobil terus melaju, dan beberapa menit kemudian, mobil mereka telah sampai di jalan Sudi Mampir. Di mana jalan itu sebenarnya adalah jalan pasar.   Sengaja joki menuntun mobilnya itu untuk berkelok-kelok pelan masuk ke lorong-lorong jalan. Mengamati keadaan sekitar.
Di luar, dari balik  jendela kaca mobil.
Cahaya remang merias suasana. Terlihat pula, pria-pria keluar dari mobil dan truck, tertawa-tawa, dan duduk di sebuah warung jamu sederhana. Pria-pria itu bercakap-cakap dengan beberapa wanita muda penjaga warung berbusana ketat dan sesak.  Tak kalah menantang, dandanan penjaga warung tersebut dengan perempuan-perempuan yang ada di dalam mobil itu.
Sebagian orang mencari Rezeki dibalik kesimpangsiuran hukum agama ternyata. Antara halal atau haram. Yang penting uang itu cukup untuk menyambung hidup. Keadaan tersebut mengingatkan Dewie dengan ucapan Rhiena tempo dahulu. Ucapan yang menegaskan argumenya tentang bagaimaa keadaan sebuah diskotik. Di mana pendapat mereka  berdua beradu.
Rhinena mengatakan bahwa tidak semua penghuni dalam klub itu berdosa dan berbuat zina. Ada juga yang tulus mencari rezeki walau tempat rezeki itu adalah tempat buruk. Tempat yang sebagian orang mengaggap tempat laknat. Sedangkan Dewie berasumsi bahwa, meskipun mencari rezeki dengan tetes keringat lelah bercucur, namun bila rezeki yang didapat dari sarang prostitusi atau judi tentu rezeki itu akan berhukum haram.
Tapi apa yang ia lihat malam ini sepertinya lebih membenarkan lagi  tentang penegasan Rhiena kala itu. Penjual-penjual jamu di tempat pelacuran. Mereka kuyu keriput, sudah uzur-uzur umurnya. Bahkan lebih tua mereka ketimbang ibu Dewie. Duduk terpaku di pinggir trotoar jalan. Matanya pucat menjaga malam agar tetap gelap. Agar dagangan mereka terus laku. Halalkah? .Haramkah?. Satu sisi mereka mencari rezeki untuk keluarganya, namun di sisi lain, jualannya itu adalah jalan untuk seseorang berbuat dosa.
Akh!!.. Pasti halal juga rezeki mereka, karena yakinlah aku, bila mereka itu memang tulus mencari rezeki untuk keluarga, tanpa niat untuk mendukung perbuatan zina diantara pembelinya,  hipotesis Dewie dalam hati.
Mobil itu semakin masuk kedalam perut pasar Sudi Mampir.
Nah..lihatlah sendiri"  Rhiena menunjuk beberapa wanita yang berumur sekitar 25-26 tahun dari dalam kaca mobil. Wanita-wanita itu berdiri di sisi jalan. Berdandan seksi dan bermuck-up pula. Tapi bukan wanita kantoran yang tengah menghadang taksi untuk pergi bekerja. Mereka menanti jemputan rupiah.
Kau mengerti Wie. Mereka tanpa seronoh berdiri di sana. Disaksikan semua orang. Dan cap kupu-kupu malam pun mereka sandang! Mereka mencari nafkah dengan pertaruhan harga diri dan membuang jauh rasa malu. Sekarang apa kita sama seperti mereka? Kita berdiri di tepian jalan sambil mengawai mobil yang lalu-lalang? .Tidak bukan?" ujar Rhiena jumawa. "Kita cewe klub Wie.  Berkelas. Di mana ladang kita adalah tempat berAC bukan kipas angin. Perempuan jalan itu pesanan truk dan mobil rentalan sementara kita mercy dari anak gedongan."
Dewie mengangguk.
Aku tahu? tebak Rhiena lagi. Kamu pasti masih merasa malu, bukan ?.
 Dewie menggeleng.
Aku sengaja lewatkan kamu di sini, supaya kamu dapat melihat sendiri bagaimana citra kita dibandingkan mereka jelasnya sambil mendongokkan kepala ke pinggir kaca mobil lagi.
Tidak Rhien, maluku telah hilang, santai saja ah? kata Dewie tak peduli.
Dengan diperlihatkan sisi ini. Rhiena berharap agar Dewie benar-benar membuang rasa malunya itu. Jangan ada sekecilpun yang tersisa. Karena menurutnya,   Dewie dan para pengunjung klub lain lebih mewah daripada wanita-wanita di persimpangan jalan itu.
Iya, kamu benar Rhien. Kita jauh lebih terhormat dibandingkan mereka. Kita adalah persatuan klub dan hanya dapat diboking lewat kesepakatan antara kita dan pembeli di situs jejaring sosial tertentu. Kita kuliah! Tentu harga kita tidak murah"  kata Dewie yang mengamini saja enjelasan Rhiena.
         Sebenarnya Dewie merasa benar-benar sudah kecemplung. Tak mungkin kembali dan mengaku karena takut orang tuanya akan shok dan malu. Dewie pun terus melakoni petualangannya di Banjarmasin.
Agaknya kini kau telah paham? kata Rhiena yang tak tahu keputusasaan hati sahabatnya itu. Sekarang apa kau masih merasa tercela dan malu dengan hal ini? tanyanya lagi.
Tidak!!.., aku sudah yakin bila status kita lebih terpandang ucapnya dengan muka bersungguh-sungguh agar temannya tidak kecewa.
Terus susuri pasar, mobil itupun sudah masuk ke tepian jalan besar. Peralahan jalan telah berganti. Masih mereka jumpai wanita-wanita dengan celana ketat berada di sudut jalan. Tangannya mengawai-ngawai setiap mobil yang lewat.
Dalam mobil, Rhiena masih ceramah menganai pengetahuannya tentang wanita-wanita Sudi Mampir tadi. Saat asyik bercerita Jali ikut nimbrung.
 Jali menjelaskan  bahwa banyak dari mereka yang berstatus janda. Yang janda-janda ini tentu mempunyai harga yang setandar. Bahkan ada yang gratis . Jali akui pernah mencoba itu.
"Jadi simpanan tante, kita yang dibayari. Umbuyy" ucap Jali bangga lalu...
Plakkkkk....pipi Jali ditapak pasangannya dengan nyaring. Maka tertawalah seisi mobil.
Apa tempat itu tidak pernah di razia polisi Rhien? Kalau kita jelas ada surat resmi perhotelan dan ijin untuk hura-hura dalam gedung. Singkatnya ada yang melindungi? tanya Dewie.
Mereka pun ada yang melindungi Wie jawabnya.
Para pria bertubuh besar dan bertato yang kita jumpai tadi, itulah bodiguart mereka. Tidak ada polisi berani merazia. Di sana kekerasan sering terjadi. Seperti macan-macan merebutkan daging, di sana pun demikian. Di antara mereka kerap berkelahi hanya untuk berebut mencari perhatian pelayan yang diincarnya. Itu baru sesama pengunjung?. Apalagi jika hura-hura mereka diusik aparat, tentu para pria bertubuh bidang itu akan lebih garang lagi lanjut Rhiena.
Lalu? Apa kamu tahu darimana pria-pria itu Rhien? Dewie bertanya penasaran. Topik itu nampaknya membuat ia tertarik. Seru, pikirnya.
Kelayan!! sahut teman pria yang lain, yang duduk di kursi nomor dua dari depan.
Kelayan? Dewie keheranan. Di mana itu Kelayan?.
Tadi kita telah lewat dari persimpangannya jawab Rhiena. Ia kembali menjelaskan, daerah Kelayan itu terkenal dengan penduduknya yang bertempramen berani dan keras?, maklumlah, daerah itu termasuk pemukiman padat penduduk dan pekerjaan mereka juga didominasi pekerjaan kasar. Seperti pengangkut barang dagangan kapal, pekerja bangunan, kuli pasar, dan sebagainya. Bila malam mereka banyak menghabiskan waktu dengan kumpul-kumpul bersama teman. Sering juga datang di tempat seperti Sudi Mampir, ya untuk sekadar mencari teman wanita bercakap-cakap dan membuang lelah mereka. Itulah mereka. Oleh karenanya, kuat pikiranku bila pria-pria penjaga Sudi Mampir itu  sebagian besar adalah orang Kelayan.
Oh!!?  sahut Dewie mengerti.
Mobil yang mereka tumpangi telah sampai di diskotik.
Dengan sorakan hura-hura, mereka mendekat, dan masuk ke dalam. Sekali lagii Dewie akan menjemput Subuh dengan caranya. Meraih rezeki dari para tamu diskotik yang tertarik padanya. Berpora-pora di balik keriangan yang telah ia pahami.
*
Kamat Subuh telah usai berkumandang,  bunyi-bunyi burung prenjak melantun-lantun bertembang-tembang menyambut pagi yang sedikit berkabut karena embun hujan malam tadi juga telah hilang.
Berapa puluh kali Bu Sumarni turun naik dari sepedanya untuk memompa ban. Hingga pagi itu ia baru sampai di pasar pada jam 9 siang. Badannya masih sedikit basah, meski telah memakai jaket. Ia kemudian langsung pergi ke warung pasar itu, untuk minum teh hangat.Bu Sumarni menatap sekitar pasar dengan masih kedinginan. Pasar telah sepi, mencoba terus mengambil hikmahnya, Bu Sumarni kemudian berniat menjual daganganya yang masih banyak itu ke desa-desa yang ia lalui kala pulang nanti. Seperti yang sudah-sudah.
*
9. Komunikasi


Dia duduk di emperan rumah. Mengenakan kaos oblong berukuran besar. Nampak kian kecil badannya itu karena kaos besarnya. Tangannya lincah memainkan jarum jahit untuk bajunya yang robek. Mungkin bajunya memang  terlalu usang umurnya. Robeknya pun bekas jahitan robekan yang dulu-dulu.  Duduk selonjor kaki, dan  bersandar pada dinding pintu, ia tekun dengan aktivitas sore itu.
Apa Dewie baik-baik saja ya pak di sana? tanya Bu Sumarni sambil menyulam-nyulam baju.
Suaminya sedikit berhenti dari kegiatannya. Tepatnya memperlambat. Saat itu ia di samping rumah, sedang mencabut tanaman sayur-mayur. Kangkung, bayam dan pucuk waluh. Tanaman itu tentu untuk modal berdagang Bu Sumarni di besok pagi. Dan pertanyaan isterinya memperlambat gerak dia.
Kenapa ibu cemas lagi?  tanya balik Pak Darwis.
Belakangan ini, aku selalu kepikiran Dewie lagi pak"  tuturnya. Ibu perhatikan ketika Dewie pulang, semakin hari kok tubuh Dewie semakin berisi, lemak di tangan, pinggul, dan pahanya itu lho pak. Masa gara-gara banyak makan jadi seperti itu? jelasnya dengan kening yang mengernyit.
Pak Darwis meraih tongkat penopang tubuhnya. Berjalan tertatih-tatih meninggalkan kerjaannya. Berjalan lamban menuju emperan. Ia genggam kawat  yang ada di ember dengan tangan kanan. Ember itu berisi tanaman sayur yang baru dicabutnya. Kotor penuh tanah. Tanganya juga kotor.
 Terus ia berjalan.
 Ketika telah sampai di teras, duduklah ia bersandar di tiang rumah, dengan  rokok mulai disundut korek api.Hffffff...??? embusan asap putih meluncur lurus dari mulutnya.Jari-jari pucatnya menjepit rokok dengan bekas hitam menempel di batang rokok itu. Bekas itu dari tanah yang menempel pada jari Pak Darwis.
Anak kos-kosan itu biasanya jarang masak toh Bu. Padat dengan tugas, jadi gak sempat ngurus dapur, seperti juga Dewie. Biar di sini dia tekun masak. Pintar membuat makanan?, tapi kalau dia sibuk, yah tetap gak sempat juga toh buat masak  kata suaminya sambil menyeka keringat.
Sebagai manusia dengan keterbatasan gerak, tentu kerjaan Pak Darwis itu banyak menumpahkan keringat dari badan dan mukanya. Keringatnya meluncur membasahi wajah. Ia berapa kali terus menyeka keringat itu dengan bajunya.
 Pak Darwis melirik isterinya "Ibu ndak usah cemas. Bapak yakin, paling Dewie cuma lagi ngosumsi vitamin yang membuat tubuhnya jadi gembrot seperti itu."
"Ibu ini wanita pak, pernah muda juga nadanya menyanggah.
Dulu pernah ibu lihat, saat Dewie ganti baju di kamarnya. Itu lho pak? dadanya kok cepat besar?
Lah ibu ini"  potong suaminya. Umur Dewie juga sudah 20an toh Bu?, ya wajar kalau dia sudah tumbuh jadi wanita dewasa  
"Tapi yang dulu-dulu nggak sebesar itu pak, sahut isterinya ngeyel.
Terus saat Bu tanya?, kok susumu subur seperti itu toh Ndok?, Dewienya malah cengingisan dan menjawab: 'Dewie tambah gendut Bu, susunya ikut-ikut juga, wong makan tidur saja kerjanya' begitu katanya Pak. Aku juga pernah lihat dia Pak jelasnya yang ingin menyambung ucapan. Saat Dewie lari-lari ngeburu anaknya Paeman yang masih kecil. Kok gondal gandul ya. Seperti pernah dipegang laki-laki?.
Ahhh..ibu ini terlalu dibesar-besarkan? sanggah suaminya.
"Percaya saja Bu? nadanya datar.  Dewie itu anak yang tahu keadaan orang tua. Untuk sampai di kuliahan itu saja, ia sadar betapa orang tuanya banting tulang mati-matian demi sekolahnya.
Hffftttt!!!  keluar asap rokok Pak Darwis  kemudian bilahan itu  ia taruh di lantai.
 Perasaanki tidak mungkin bila Dewie di sana melakukan hal-hal yang kelewatan. Dewie tahu mana baik dan mana yang tidak. Apalagi dia juga dengar toh bagaimana cercaan orang kampung?. Bahwa anak gadis itu ndak perlu direpot-repotkan kuliah, lebih baik langsung dikawinkan. Kemudian juga tentang keluarga yang tidak punya seperti kita ini, yang ingin nguliahkan anak?. Dibilang mau pamer-pameranlah.  Mau seperti orang kaya yang bingung ngebuang hartalah.  Terlalu ikut gaya kota-kotaan, nggak pernah sadar diri, dan lain-lain. Nah..itu semua pasti akan jadi motivasi buat dia Bu. Sekaligus jadi dinding pembatas bila ia ingin macam-macam. Nurani Dewie itu ada yang njaga. Jadi mohon kamu jangan cemas.  Nanti malah nggak semangat bekerja dan sakit? terang suaminya panjang lebar sampai rokok sigaret yang ia letakkan di lantai, mati apinya karena tidak terurus.
Pak Darwis kini telah menjadi suami yang percaya. Tidak mudah lagi bagi tetangga-tetangga yang iri dengan keadaan keluarganya untuk menghasut dia. Setelah musibah tempo dahulu yang membuat kakinya cacat, sekarang ia tampak semakin gigih. Tapi tentu kesemua itu dengan dorongan sang isteri yang begitu kuat memberinya motivasi.
Bu Sumarni tetap masih cemas. Ia pernah muda, tentu seluk beluk wanita  ia lebih paham.  Dewie, di mata Ibunya telah berubah. Memang jika dari sikap, Dewie tetap anak yang baik. Tekun ibadah bila waktu salat telah datang, dan selalu ceria. Pakaiannya pun tidak berubah. Tetap memakai kerudung dan busana panjang. Rapilah intinya. Dari dua segi itu ia tidak ada berubah.
Tapi fisiknya. Fisik Dewie itu yang membuat Ibunya merasa was-was. Lemak di pinggulnya sedikit blewer keluar  dan bokongnya juga lebih datar tidak  timbul menonjol seperti punuk unta.
Diam sebentar, Bu Sumarni pun melanjutkan ucapannya.
Semoga tidak terjadi macam-macam dengan Dewie ya Pak? doanya.
Pak Darwis yang bisa membaca raut wajah gundah isterinya pun terus mencoba meyakinkannya tentang Dewie benar-benar belajar di sana.
*
Tengah malam ini Bu Sumarni bersimpuh. Menadahkan tangan dan menceritakan semua keluh kesah dan permohonannya. Gumam-gumam bibirnya berubah keras. Lama-kelamaan terdengar nyaring dengan isakan tangis. Ia gigit bibirnya menahan air yang bercucuran pedas dari kedua pelupuk matanya. Badannya bergetar hebat merasuk hening malam dalam pertemuan antara makhluk penyembah dengan majikan yang wajib disembah.
Ya Allah ya rabbi..,segala puji tiada yang patutku haturkan terkecuali atas nama Engkau..,segala pertolongan tiada wajibku pinta jika bukan pertolongan dari Mu..Tiada Tuhan selain Engkau wahai zat yang kekal. Engkau Maha memberi Petunjuk..,Maha Tau tentang segala urusan persoalan dan gundah setiap makhluk..,serta Engkau adalah Penerang keputusan dalam hati semua makhluk yang menyembahMu.  Hamba berserah kepadaMu wahai Tuhanku...Hamba meminta pertolongan..Hamba meminta petunjuk dari persoalan yang menjerat pikiran. Ya Allah ya Tuhanku..,semoga Engkau selalu berikan lentera cahaya untuk anakku..Lentera terang untuk jalan yang benar..Lentera terang di mana kesimpangsiurannya melebur..Di mana ia selalu terlindung asmaMu, firmanMu, dan takut dari murkaMu..Sungguh hamba cemas jika ia tergolong anak bingung. Ya Allah ya Tuhanku..,kabulkan permohonanku. Amin ya robbal allamin.
Semakin tak tahan ia, tasbih itupun berputar kuat. Mencoba teguh dalam posisi ketegaran ia terus menahan diri. Laailaahaillallah..? embusan kata itu diikuti hela nafas penenangan.  Ia kembali menata kosentrasi. Sebelumnya seratus biji tasbih telah berputar sampai pada pongkolnya. Kini seratus biji tasbih itu telah berputar lagi seperti pertama.
Diam sejenak ia. Sesekali masih terisak. Doa itu adalah doa penyelamat. Doa permohonan seorang Bu yang memohonkan anaknya selalu di lindungi dari rasa kebingungan.  Dalam penghujung salat malamnya, ia tutup zikirnya dengan lantunan surah Al-Fatihah. Dengan diikuti usapan kedua tangannya menelungkup wajah.
*
Pagi ini Dewie terlihat mendung di wajahnya.
Malam tadi ia tidak klubbing bersama gengnya. Ia tidur dalam senja yang baru di mulai. Belum salat isa tapi kantuk begitu mendera. Ingin saat itu ia langkahkan kakinya untuk berwudu. Salatlah? Selama nafas masih mampu kamu hela nasehat Ibunya tempo dahulu.
Tapi kakinya berhenti karena suatu hal. Tontonan televisi di kamar temannya menarik perhatianya. Artis korea ternyata bintang utamanya.  Ia tonton acara itu dengan mimik wajah kagum. Heboh sendiri seperti bertemu langsung dengan sang idola.
Selesai menonton, dengan mata payah ia malah terkantuk berat. Dia hendak melawan saat  terbaring di kasur kawannya. Pikirannya tiba tiba melayang sendiri melintas bercampur dengan kantuknya.
Dahulu dalam syiarnya. Dewi pernah berceramah Dajjal  adalah makhluk perusak alam yang akan muncul di hari akhir. Ia punya ciri bermata satu. Ia akan menghasut kita dengan semua fantasi-fantasi keinginan yang tampak nyata di depan mata. Apa saja. Bahkan bila kita menginginkan memiliki istana dengan seribu  pangeran tampan atau permaisurinya pun pasti terkabul. Apabila kita telah tergoda dalam buaiannya, maka kita akan langsung masuk neraka tanpa bisa ditawar-tawar. Namun bila kita menolaknya dan tetap yakin bahwa segala yang punya nikmat yang kekal itu adalah Allah SWT. Maka kita akan dimusnahkan oleh Dajjal itu. Kita  yang berani dan sanggup menolak rayuannya akan dimasukkan dalam golongan ahli surga. Identik dengan mata satu, sebenarnya Dajjal sudah muncul berpuluh-puluh tahun lalu. Dajjal ialah makhluk yang menylewengkan pikiran manusia dari keimanannya kepada Tuhan sang Pencipta alam. Mata satu yang mampu memblingerkan manusia dari kewajibannya sudah banyak contohnya. Seperti Televisi, Handphone, Laptop, Game dan sebagainya. Kesemuanya itu adalah anak-anak Dajjal yang telah keluar. Di mana kesemua hal itu sangat sering menyita perhatian manusia untuk beribadah kepada  Allah SWT begitu penjelasannya.
Tapi dalam kasus Dewie malam itu. Agaknya dia sudah lupa dengan syiarnya yang lalu-lalu. Ia sendiri lena dengan acara yang ditontonnya. Tubuh makin berat serta kantuk berdenyut kuat dan menggelayut hebat. Dewie tidur pulas-pulas dan telah lena  terbuai anak-anak Dajjal.
 Ndo..bangun. Sudah mau pagi?. Ayo kamu siap-siap buat sembahyang Tahajud menjemput Subuh .
" Ndo? bujuknya lagi. Sekarang kamu telah banyak berkembang?. Semakin cantik?. Sikapmu dengan orang tua juga tulus bakti. Kamu bekerja untuk kuliahanmu sendiri. Maafkan orang tuamu Ndo, yang tak berdaya membinamu dan membiayaimu. Maafkan ibu ya karena melahirkanmu dengan kasta desa dan semua susah-susah di dalamnya terisak-isak Ibunya menjelaskan.
"Ibu?. Ibu kok datang kesini, kenapa ibu menangis. Maafkan Dewie Bu. Dewie telah lama bohong dengan ibu. Tapi Dewie seperti ini juga bukan karena Dewie menghendaki dengan hati? jelasnya juga sambil menangis.
 Dewie tak tega merepotkan ibu dan Bapak? lanjutnya. Dewie berjanji bakal tebus semua dosa Dewie Bu?.
 Bukan itu Ndo? tanggap Ibunya seraya nadanya bergetar-getar. Wajah Ibunya tunduk dengan masih tersedu-sedu. "Memang semua salah ibu karena tidak bisa menjagamu. Andai ibu tinggal bersamamu tentu ibu akan selalu menjadi tempat tampungan segala masalahmu? sambungnya.
Sekarang Bu ingin. Dewie kembali yang dulu? .Tidak baik benar Nak pekerjaanmu ini. Sungguh ibu melarangnya. Kamu hanya menganiaya diri sendiri!. Andai kata kaki ibu harus berdarah-darah pun dalam mengayuh sepeda dan berjalan, insyallah inu akan tetap berusaha mencarikan biaya untukmu. Masalah kuliahmu? Ibu dan bapak benar-benar mampu Ndo. Untuk membiayainya. Tidak usah kamu rusak kehormatanmu untuk ditukar dengan itu."
Dewie tertunduk menangis. Tetesan air matanya seperti nyata jatuh dan terasa. Maafkan Dewie Bu?. Dewie janji bakal berubah.
"Ubah sikapmu cah ayu.  Ibu ndak ingin kamu jadi anak pembohong dan zalim!! nasehat Ibunya dengan isakan lebih keras.
Set..Sett!!!..Settt!!..Settt!!..Setttt!!!! mimpi itu berputar seperti kopi susu teraduk sendok. Semakin mengental dan membaur. Bayangan Ibunya serupa kukus hilang dengan kepulan asap membumbung ke pelapon rumah.
Hah!!!!. Dup.. dup..dup!!!! jantung Dewi berdagup berirama cepat. Napasnya tersengal-sengal malam itu. Ngos-ngosan seperti lari keliling kampus saat dihukum pasca Ospek dulu. Buru-buru ia pergi memburu dispenser yang berada disisi kamarnya.
Glukk..gluk..glukk.gluk!!! berapa tegukan ia minum. Sedikit tenang ia. Keringat berupa bulir-bulir merembes dikeningnya.
Dipandangi, temannya masih pulas tertidur di samping. Tak merasa ia bila Dewie terjaga. Matanya mencari-cari Handphone dan melihat dilayarnya tertera pukul 2 dini hari. Sama persis dengan jam di mana ia biasa klubing.
Ia ingat bukan hanya sekali itu Ibunya datang menengoknya di alam mimpi. Hampir tiga kali. Namun yang sudah-sudah Ibunya hanya muncul dalam mimpi dengan  tidak berbicara.  Ibunya hanya bermuka masam dan kadang juga ia jumpai Ibunya terisak menangis.Tak tahu Dewie sebab-musababnya. Ia hanya berasumsi bahwa mungkin Ibunya sedang dilanda rindu. Oleh sebabnya sampai sekarang pun ia sering  beberapa minggu sekali pulang kampung dengan harapan kangen Ibunya dapat terobati.
Tapi malam ini beda. Tiba-tiba Ibunya menasihatinya. Bermuka masam dan menangis pula. Akhirnya malam itu Dewie sulit tidur lagi. Dan hanya terkantuk saat azan Subuh telah selesai berkumandang.
*
Mendung di wajah Dewie semakin kelabu. Pucat sayu sepertinya. Matanya merah kurang tidur. Biasanya hal ini lumrah baginya. Sering begadangan membuatnya biasa bermata sipit dan merah. Tapi kenapa pagi ini wajahnya benar-benar muram tak berdaya untuk kuliah.
Sampai di kelas ia duduk dengan malas. Menunggu dosen dengan dua lengan menjulur ke atas meja dan pipinya menempel di permukaan lengan-lengan itu. Poninya yang lucu, juga rambutnya yang lurus ribonding sedikit  jatuh terurai menutup wajah.
Masih malas.
Saat ini ia hanya mampu mengingat. Ingatannya bukan tentang klub-klub, bukan tentang dugem ataupun semua kegiatan malam. Lebih spesifik ingatnnya itu meruncing pada sebuah peristiwa malam tadi dan malam-malam yang lalu.
Heii? ngelamun saja?. Itu dosennya sudah masuk? tegur salah seorang sahabat di kelas Dewie sambil menepuk bahunya
Wajah itu pun segera terangkat tegap. Ia berusaha menutup kantuknya. Berusaha membuang lamunannya tentang mimpi malam tadi. Terus berusaha menerima pelajaran, tapi toh matanya merah sayu. Ngantuk.
Pelajaran pagi itu benar-benar membosankan. Ceramah dan ceramah. Menutupi kantuknya Dewie pun sudah asik sendiri dengan ponselnya.
Kala usai pelajaran, Dewie pulang dengan wajah santai. Seolah lupa lagi ia dengan muramnya. Sifatnya yang tidak ingin serius-serius dalam menanggapi sebuah pembicaraan atau peristiwa seperti pada percakapan ia dengan Sigit dahulu, kali ini telah membawanya menjadi seorang yang ringan dengan sebuah gejala-gejala. Satu topik dari pesan singkat seluler membuat dia lupa total dengan  keluh pikiranya saat itu. Ia bangkit semangat karena siang itu  akan belanja baju dengan teman klubingnya di Duta Mall, lalu nonton di bioskop, dan makan-makan. Yah, kesibukannya telah mengalahkan  tabir-tabir mimipi yang  menderanya akhir-akhir ini.
*
10. Sang Pria

Sore terlihat warna kuning muncul berbaur di pucuk-pucuk matahari yang layu. Indah dipandang namun tidak terlihat menikmati. Menikmati dengan sang kekasih mungkin syahdu. Namun jika hanya melihat keluar dari jendela Mess dengan kesendirian. Nah inilah yang dinamakan tidak menikmati.
Sigit terus memandang hampa. Mendongokkan mukanya keluar dengan mata hanya mencecap angin yang sesekali seliweran menerpa.  Sigit sebenarnya ada pacar. Tapi toh  cuek bebek saja ia  dengan pasangannya itu. Hingga hubungannya pun tak di ketahui lagi di mana sisi romantisnya. Sigit lebih fokus bekerja dan kumpul-kumpul bersama temannya. Sementara pacarnyapun sering di nomor duakannya saja.
Embusan angin kembali menyapa wajahnya.
Sore ini ia bosan. Ingin keluar jalan-jalan malas karena lelah. Tapi sebenarnya iapun tertarik. Daripada tercekik bosan, pikirnya. Bingung sebenarnya dia.
Apa dikerjakan malam ini? keluh Sigit sambil menimang-nimang sebilah rokok.
Teman yang tidur d sebelah kasurnya pun menjawab kita buat acara saja, keluyuran cari sensasi,.
"Kemana? sahut Sigit lagi.
"Pokoknya ikut saja, dijamin bisa membuat hilang semua masalah."
Oke..,tapi jam berapa?.
"Sepuluh malam"  
Rokok sebilah telah terjepit bibir sudut kiri. Dengan muka condong kekanan ia sodorkan korek apinya menuju tumpuannya. Tangan kirinya serupa tudung melindungi ujung rokok yang tersulut api itu.
Sedot dan sedot. Pipinya memompa dengan bentuk kempot dan mengembang. Kempot dan mengembang lagi.
Hffftttt.....!!! asap rokok itu keluar dari mulut Sigit, sebelumnya kukus telah lebih dahulu meluncur keluar dari lubang hidungnya.
Aku penasaran juga?, seperti apa Banjarmasin jam segitu? jelasnya. Jari-jemarinya juga cantik memutar-mutar bilah rokok. Menjatuhkan abu sebagai arti jika batang sedikit demi sedikit  termakan api.
"Bisa kita survei nanti malam"  lanjutnya tertarik.
 Siip? balas temanya itu.
Sigit sudah tidak lagi melongokkan kepalanya ke jendela. Ia duduk bersila berhadapan dengan kawannya. Ia lepas baju karena mungkin Mess itu masih terlalu panas baginya. Berbagi asbak dalam tuangan abu rokok, sesekali  ia tertawa diiringi raut muka yang berbinar-binar.
Percakapan itu berlangsung lumayan larut. Azan Maghrib sudah selesai terdengar bahkan sang muazin sudah membaca lantunan shalawat-shalawat pendek guna menyambung azannya dengan kamat.
Kemudian terdengarlah kamat.
Sigit selesai bercakap-cakap. Berjalan kakinya  mengambil anduk yang menggantung di kapstok. Ia taggaalkan celana kolornya bulat-bulat tanpa risih di hadapan sahabatnya itu. Kini ia hanya memakai celana dalam. Bergegaslah ia menuju kamar mandi dengan langkah tegap berselempang handuk dibahunya.
Malam tiba, sekarang Mess tak lagi terasa panas. Setelah selesai makan-makan dengan alakadarnya, untuk menunggu jarum jam sampai pada saat yang mereka nanti, Sigit dan teman-temanya bermain domino di dalam Mess itu. Hukumannya adalah jepitan jemuran baju. Memang beda dengan hukuman yang ada di desanya, namun permainan domino itu mengingatkan Sigit pada sahabat-sahabatnya di kampung. Dengar-dengar dari kabar kawannya yang lain, beberapa orang sahabat Sigit juga telah menikah. Kelakuan mereka setengah juga bisa dibilang brutal. Untuk mendapatkan jujuran murah, mereka berani menggauli calonnya itu terlebih dahulu. Norma agama juga kurang tampaknya di hati kawan-kawan Sigit tersebut.
Terus asik  berlama-lama dengan kartu jam ternyata sedikit lagi menunjuk ke arah angka 10. Tak terasa benar bila penantian itu dijejali sebuah kegiatan yang ramai mengundang tawa-tawa lebar. Mereka pun meninggalkan permainan.  Lalu bergegas sibuk  sendiri-sendiri untuk memakai baju.
Selang berapa waktu tampak  kerumunan kelelawar hitam-hitam. Di depan pintu keluar Mess yang berpagar tinggi-tinggi itu Sigit dan lima kawannya telah siap-siap berpetualang malam.
Ayo berangkat? seru teman yang lain.
Mereka berangkat dengan melaju sedang. Bunyi motor Sigit masih dominan penghambur keheningan. Namun dipresepsi teman-temannya, justru motor Sigitlah peramai perjalanan.
Sampai di jalan Sungai Lumbah Sigit tatap perumuhan di tepian jalan itu. Biasanya Sigit hanya mengamati jalanan di jam 8an malam. Tapi saat ini ia jamah jalan itu pada jam 10an lewat.
Banyak Truk singgah di rumah-rumah itu. Mobil dan Colt juga ada.  Ramai sekali. Mirip pasar malam di kampungnya. Biasanya sehabis Isa memang ia jumpai ada Truk dan motor-motor yang singgah di tempat itu. Tapi toh tidak seramai pada jam mendekati tengah malam begini.
Beratapkan asbes dan juga sirap rumah-rumah itu hampir tidak sepi dari pengunjung.  Bentuknya sederhana. Hanya warung kopi terbuka dan berlampu kuning-kuning. Remang. Di dalamnya banyak laki-laki juga pemuda yang bercakap-cakap dengan penjaga warung.  
Penjaga-penjaga warung itu muda-muda dengan bedak menor membalut wajahnya. Kiranya 2oan usianya, bahkan mungkin lebih muda lagi. Berpenampilan dengan baju ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh, mereka berbincang akrab dengan para pengunjung. Tanpa kenal sebelumnya, tanpa ada ikatan keluarga. Tapi terlihat benar-benar akrab saja, dan seperti telah lama berteman. Kira-kira begitulah anggapan Sigit.
Motor Sigit melaju pelan terus mengamati bersama kawan pemboncengnya.
Sudah ramai?" kata temannya di belakang.
"Ada juga pemandangan bila keluar malam-malam begini. cewe-cewe seksi full senyum dan ramah" seorang berbicara dengan dagunya menunjuk kesalah satu warung di mana terdapat kiranya 6 gadis cantik di dalamnya.
Dasar Bajarmasin, apa mereka itu gadis baik-baik?.  Jam segini apa tidak dimarahi Ibunya tanya Sigit.
Belum sempat sahabatnya itu menjawab, Sigit sudah ngomong lagi.
Kasian orang tua mereka. Pasti mereka benar-benar tak ingin anaknya jadi seperti itu?.
 Kata siapa Git? sela sahabatnya. Orang tua mereka ada juga yang profesinya sama. Bisa saja seperti itu."
 Tante-tante yang melayani para pengendara Truk itu bisa saja orang tua mereka. Atau mungkin memang keadaan ekonomi keluarga juga kacau, sehingga anaknya bekerja di warung begituan"  jelas sahabatnya.
Lantas paman-paman supir Truk itu bagaimana?. Bukankah mereka juga telah berkeluarga?. Teganya mereka berbuat demikian tanya Sigit.
 Dunia itu adil Git. Pernah dengarkah engkau bagaimana kehidupan pasutri seorang tentara? nadanya bertanya.
 Tidak.."
 Kasian sang suami!! Tentara sering ditugaskan terjun di wilayah yang sangat jauh dari rumah. Berjuang mati-matian demi negara juga keluarga. Gajih bulanan mereka tentu untuk isteri tercinta yang ada di rumah. Namun pernah kita jumpai,  isteri tentara yang tak tahan dengan kebutuhan biologisnya. Ditinggal bertahun-tahun membuat mereka kurang kasih sayang. Tanpa suaminya sadar?, penghianatan pun kerap isterinya lakukan. Mereka mencari kebutuhannya di jalan yang dilaknat Tuhan. Namun itu juga hanya segelintirnya saja. Banyak juga sebenarnya isteri tentara yang bersungguh-sungguh setia menunggu suaminya. Nah? Kasus seperti itu adalah kebalikan dengan apa yang kita lihat sekarang. Jika dalam kasus tentara adalah kaum lelaki yang harus tertipu, maka dalam kasus ini ialah kaum hawa yang harus tertipu. Supir-supir Truk itu bermain serong dengan wanita warung. Tentu karena ada penyebabnya, mereka juga terjerat dengan pekerjaan. Kadang pekerjaannya sebagai supir memaksa mereka tidur di atas kursi Truk. Bahkan tak jarang pula tidur di mushola atau di mana saja. Singkatnya malam-malam jarang mereka lalui dengan kehangatan dari sang isteri. Sebagai manusia yang normal dan utuh. Supir-supir tersebut pun tak menahan kebutuhan itu. Akhirnya berkelakuan sama seperti isteri tentara-tentara tadi. Berkelakuan amoral dan anarkis terhadap keutuhan rumah tangganya. Semua dengan cara sembunyi-sembunyi ulas sahabatnya panjang.
Sigit terpaku mendengar penjelasan temannya. Masih dengan keadaan pelan, motornya tetap merayap menyusur jalan.
Itu lihat mereka? ujar Sigit sambil memajukan dagu menunjuk pada salah satu warung. Terlihat beberapa adegan vulgar antara sopir dan penjaga warung. Semua dilakukan untuk tontonan. Pasangan itu tertawa menikmati.
Sinting mereka? cerca Sigit.
Hahahaha!! temannya tertawa di belakang.
Banjarmasin benar-benar membuat seseorang kepanasan bila tak tahan dan akan ikut tergilas bila tak kuat tegas Sigit.
"Bisanya mereka berbuat gituan di padang umum. Tak habis pikir aku" ungkap Sigit dengan kening menekuk berlipat-lipat.
Santai saja Git  sahut kawannya sambil menepuk pundak Sigit.
"Kebiasaan itu sulit dibuang. Benar-benar sulit. Sebisa kita saja jangan pernah mencoba hal demikian. Jika terlanjur akan susah untuk mencari titik hentinya dan akan terus ke sana. Takutnya jika yang kita rusak adalah anak orang baik-baik. Tentu dosa besar adalah hukuman bagi kita terangnya lagi.
Temannya itu memang punya akhlak baik. Sigit mengenalnya lama. Dia pintar bergaul. Hebatnya,  Ia bisa menahan godaan kawannya yang menjerumuskan. Bergaul dia adalah dengan memakai logika dan pola pikir. Temannya bekerja lantaran ingin membantu orang tua sama seperti Sigit.
Benar anggapanmu itu ucap Sigit. Lebih baik jangan sesekali mencoba daripada kecanduan dan hanya membuat nestapa lanjutnya.
Beberapa jurus kemudian hening percakapan. Hanya terdengar terpaan angin karena laju motor. Dahulu ketika Sigit hendak pergi bekerja di Tanjung Selat, Ibunya juga berpesan bahwa laki-laki itu lebih tahan dari perempuan jadi jangan sampai kamu hanyut seperti mereka. Kamu tergolong kaum yang tegar. Sigit hanya mengangguk-angguk saat itu. Di lain waktu Sigit juga pernah mendengar ceramah yang mengatakan bahwa wanita punya sifat nafsu sembilan, akal satu sementara  lelaki punya nafsu satu, akal sembilan ujar ustad.
Kini Sigit mengingat nasihat orang tuanya dan ceramah dahulu.
Falsafah perempuan mempunyai  sifat nafsu sembilan, akal satu sementara lelaki memiliki nafsu satu, akal sembilan   tampaknya benar. Apa yang ia lihat malam ini adalah  pencerminan salah satu buktinya.
Perempuan bila telah terkena sentuhan dan buai-buai dari sang pria maka seperti mendapat sebuah tempat naung; senaung duduk di bawah pohon yang rindang. Buai-buai pria itu membuat perlindungan bagi perempuan. Sentuhan membangunkan semua panca indera. Sulit bagi kaum hawa untuk menahan, dan banyak yang larut dalam situasi itu. Larut sekali,  kemudian larut terus.
Bukti yang lain ialah, berbentuk dari panca indera penglihatan yang mengahancurkan saraf kepala. Perempuan paling tidak tahan melihat satu benda yang bagus dan sering memandang benda itu dengan satu khayalan berlebihan. Tak jarang sampai terbawa mimpi tentang keinginannya itu. Rasa ingin memiliki terus menggebu-gebu mendobrak batinnya. Andaintak terwujud keinginannya itu, biasanya rasa kecewa akan sulit untuk terlupa hingga berapa hari. Hal ini pas karena nafsu mereka lebih banyak daripada. Nafsu yang cepat larut dalam sebuah potensi keinginan yang sulit diredam.
Laki-laki cenderung lebih mampu menahan nafsu karena berakal sembilan. Mereka mampu mengalihkan sebuah keinginan yang tak terwujud dengan cepat keluar dari penyesalan yang mendalam. Lelaki tak terlalu mengutamakan kehendak. Bila ia inginkan sebuah barang yang bagus,  mereka kerap mengaguminya hanya sebatas  saja. Bila telah hilang terambil orang, ya sudah; lelaki tidak terlalu sesal.
Lelaki juga mempunyai sifat pantang mundur untuk mendapatkan suatu hal. Tentunya dengan usaha dan bukan keinginan yang terlalu mendahului dari usaha.  Bukti yang tampak, terlihat pada pengorbanan besar-besaran dari sang lelaki untuk sang kekasih. Walau terus mendapat penolakan, tapi bila laki-laki itu tergolong laki-laki serius, maka tentu ia akan terus berjuang mengejar cintanya. Sikap lelaki di atas tergolong sikap yang positif. Akan tetapi  banyak pula sikap dari falasafah itu yang negatif dari kaum lelaki. Lelaki yang mempunyai watak jahat. Akan berusaha berjuang atas nama kezaliman. Tujuanya adalah kehancuran. Ini karena kepribadian lelaki itu memang telah terbiasa bobrok. Lelaki menjadi mesin judi untuk menemukan kelemahan pasangan melalui perjuangan. Saat perempuan terjatuh karena hal itu laki laki akan menyambut dan menikmatinya sebagai hadiah.
Banyak sudah dijumpai perempuan yang pecah perawan karena terbujuk rayuan dari laki-laki. Bila perempuan itu memang telah rusak terdahulu, mungkin itu bukanlah cerita yang terlalu menarik untuk dibahas. Tapi bagaimana bila yang dirusak adalah gadis baik-baik?. Bagaimana seorang gadis polos dapat dirusak kaum lelaki? Semua kembali pada falsafah.
Paham Sigit dengan asumsinya sendiri. Dia pun berpikir bahwa di antara perempuan-perempuan pelayan tersebut pasti mulanya adalah gadis baik-baik yang lena oleh akal sembilan lelaki. Perempuan sulit mencari penyembuhan dan kerap mevonis cepat tentang sebuah keadaan. Akhirnya karena merasa bahwa telah tercemar, kesalahan itupun kini jadi kebiasaan.
Jalanan Sultan Adam pada tengah malam masih ramai. Ada semacam warung juga ternyata. Dahulu Sigit pernah melewati rute ini bersama Dewie saat mengantarnya ke Banjarmasin. Tapi itu juga  kala siang hari.
Sekarang mata Sigit kembali tersita dengan keramaian jalan itu. Tertulis salah satu warung lapangan dengan nama Gardu Gardan. Ia heran?. Warung itu berdiri dari sebuah perkumpulan yang rambutnya gimbal-gimbal dan berperawakan sedikit sangar. Tapi  pengunjungnya bukan main padatnya. Tua, muda, semua  riuh dalam obrolannya masing-masing.
Lebih tiga puluh orang, mereka tampak duduk di kursi yang dibuat panjang. Ada juga yang percaya diri, dan santai duduk di lesehan. Pengunjung yang datang mayoritas juga terdiri dari kelompok kecil. Kira-kira 5 sampai 10 orang. Ternyata warung tempat begadang. Tempat di mana muda-mudi itu melarung malam. Aneka pemandangan menarik, Sigit lihat bersama sahabatnya itu. Motor mereka terus melaju. Menelusur jalan-jalan remang. Masuk-masuk gang, dengan sekarang si penunjuk jalan bukan Sigit lagi, melainkan temannya yang membalap ke depan menjadi pemandu. Sang pemandu memang telah hapal jalan. Berkelok-kelok kecil jalan yang mereka lewati dan tujuannya memang sengaja mencari perempuan penanti di tepian jalan.
Setengah jam kemudian.
Walaaa..!!!. Perempuan penanti benar-benar mereka dapati di jalan Sudi Mampir.
Terdengar siul-siul nyaring dari belakang dengan maksud menggoda. Sigit dan kawannya yang membonceng pun menengok kemudian tertawa.  Motor yang di kendarai salah satu temannya tersebut  tertinggal di belakang dengan terus bersiul. Tak dapat dipungkiri bahwa mata sahabatnya itu menjilat pada keseksian perempuan-perempuan di sisi jalanan. Benar-benar seksi cewe Banjarmasin. Membuat hasrat memanas dan ingin lepas terbang mencari ruang pemicu panas itu.
Siulan semakin sering terdengar nyeliwer di telinga Sigit. Ia tersenyum-senyum terus. Tampak menikmati juga ternyata. Perempuan-perempuan dari yang muda sampai yang bermuka janda-janda, banyak berimbun di pinggiran jalan dan warung-warung. Mereka menanti kalong pemakan buah  untuk datang mampir.
Sayangnya Sigit bukan kalong yang ditunggu perempuan-perempuan berbusana ketat itu. Ia bersama teman pemboncengnya hanya sehela angin lalu di batasi waktu. Datang menuju seperti arus tak menetap pada satu tempat.
Oooii!!!..,singgah dulu!!! sorak temannya yang di belakang.
Motor Sigit cuek membuat temannya itu mengejarnya. Tampaknya Sigit tak mendengar ucap temannya tadi.
Eh..Enggak mampir dulu ucap temannya sekali lagi dengan beriringan motor .
Motor mereka berhenti di pinggir jalan. Bercakap-cakap sejenak.
Apa kamu punya duit? tegur Sigit.
 Hahahahaha!!! temannya tertawa. Kita cari cipika-cipiki saja Bro. Yang gratis-gratis dengan hanya modal gombal sahut teman yang lain.
Ah. Aku malas untuk Singgah? , takut kecanduan terang Sigit.
Ya sudah. Kami singgah sebentar. Kalian berdua silakan keliling lagi, nanti WA saja bila sudah ingin pulang atau datangi ke warung itu."
 Oke.kata Sigit.
Mereka pun berpisah.
Sigit bersama temannya yang membonceng melanjutkan survei-surveinya, dan empat temannya tertinggal di tempat itu. Berpora-pora dengan pasangan yang mereka temui.
Di jalan A.Yani yang mereka lalui, cewe-cewe belia sepantar gadis SMA dengan lincah gemulai menyalip. Wuusss!!!!, angin langsung menubruk Sigit dan temannya. Angin itu membawa aroma yang sungguh mengetarkan hawa. Parfum yang gadis-gadis itu gunakan benar-benar membuat celana di bagian tengah Sigit dan kawannya bertambah sesak saja.  Liukan  pinggul cewe-cewe itu juga  tak kalahseksi dengan model berisi di televisi. Mereka menyetir motor dengan posisi badan manja yang memancing mata agar terpaku memandangnya. Memancing jantung agar lebih cepat berdegup dan meobrak-abrik pikiran dengan ilusi-ilusi kotor.
Merambat dini hari kendaraan Sigit mengelilingi berbagai klub, hotel, dan tempat karaoke seputaran kota Banjarmasin.
Eh coba kau lihat itu Git. Sekelompok gadis-gadis dugem tengah asik menjamu malam tangan sahabatnya menunjuk ke arah sebuah mobil hitam yang parkir di pinggiran jalan. Dari dalamnya keluar kiranya empat orang gadis bertubuh binal-binal. Berpakaian tak kalah menantang dan mungkin lebih ekstrem. Mereka ditemani dua pemuda ceking-ceking berkaos hitam, celana levis dengan sepatu seperti sepatu rockers. Tertawa-tawa kedua pemuda itu. Salah satu pemuda begitu nyentrik penampilannya.
Iya kau benar mata Sigit mengamati.
Cewe-cewe kota Git, serasa ingin larut juga aku, hahahahaha kata temannya .
Husstt!!!!...sadar Bro.
Eh itu kok yang berkaos hijau seperti aku kenal? kata Sigit dengan reflek menunjuk seseorang gadis dalam kelompok dugem itu.
Motor singgah di tepian jalan. Di bahu jalan itu terdapat penjual pentol. Mereka berdua mengamati sambil mendekati jualan itu.
Yang mana.  Yang dadanya paling besar itu bukan? tanya sahabatnya sembari senyum-senyum.  
Diam sejenak Sigit. Berpikir-pikir sambil mengamati dengan saksama perempuan yang ia lihat itu.
 Ah bukan? Nada Sigit seperti tidak jadi membahas. "Mungkin aku salah lihat? terang Sigit mengecoh pembicaraan.
Ah..rabun sudah matamu itu balas temannya sambil asik mencucuk pentol. Tak begitu peduli tampaknya teman Sigit itu.
Sigit memang sengaja mengelakkan pembicaraan. Ia seperti melihat Dewie tadi. Tapi tak mungkin rasanya gadis seperti Dewie keluyuran liar jam segini.
Malam itu Sigit sengaja mengajak temannya untuk berlama-lama duduk di pinggir trotoar jalan. Berharap akan melihat perempuan yang mirip Dewie tadi. Tapi sampai sekitar jam 3 lewat, perempuan yang mirip Dewie itu tak jua keluar dari diskotik. Sama sekali tak muncul batang hidungnya.
Teman Sigit bosan. Aduh!!!, sudah jam 3 lewat  Git. Teman kita yang menunggu di Sudi Mampir juga sudah ngimprit. Aku benar-benar ngantuk banget Git. Ayo kita pulang, apa sih yang kamu jaga? keluh sahabatnya.
 Ah..!!! tidak, tadinya aku hanya ingin melihat-lihat lagi bagaimana cewe-cewe Banjarmasin. Belum puas aku" kata Sigit sambil menaik-naikkan alis dan tertawa.
Ayo kita pulang? ajak Sigit kemudian.
Yah seperti ini saja Git. Tidak ada yang parah lagi jawab temannya.
Bila ingin melihat yang lebih panas? Coba saja masuk ke dalam sana. Pasti tahu? lanjutnya lagi.
Berapa masuk kesana? tanya Sigit kembali.
Kali ini tanya Sigit diikuti bunyi slengeran motor, dan temannya segera memburu terus duduk di belakangnya.
Tidak tahu pasti aku Git. Bawa saja setengah juta.  Mungkin masih sisa kalau cuma lihat-lihat. Tapi kalau ingin berbicara dengan salah satu cewe-cewe klub itu. Ya tidak mustahil bahkan mungkin 2 juta pun akan habis dalam semalam  jelas kawannya.
*
Kenalkan nama saya Hendra? ucap seorang lelaki tambun berumur 50an. Laki-laki itu mengayunkan tangan kananya untuk menangkap balasan.
Dewie Om? sambil menjabat tangan. Kini berentak-rentakan kedua tangan itu.
Keduanya ngobrol asik malam itu sambil minum-minum Wiskhey. Mata si pria tua tak pernah lepas dari pusat daging yang menonjol lewat jalur. Gumpalan-gumpalan ranum membuat benih lelaki itu bertetes tak terasa. Om Hendra  berbicara, memuji, merayu, dan membujuk. Dewie pun melawanya dan menyetujuinya.
Kamar hotel bernomor 7 menjadi tempat peraduan mereka berdua. Kasur yang empuk seperti beludru menjadi saksi diam. Juga gagang pintu, lemari, dan lampu-lampu. Semuanya bisu.
Hendra melepas jas hitamnya.
Di meja sudah tertata segala tablet berjenis Viagra dan pil kobra. Tertata apik dan berapa butir telah diteguk masuk ke perut. Pikirnya itulah dewa penyelamatnya. Rokok klobot cerutu sudah ia padamkan apinya. Om Hendra mulai duduk di atas kasur dengan kini tiada berbusana. Gendut, pucat  bergelambir perutnya termakan usia. Mungkin juga perutnya yang membuncit besar itu karena terlalu terisi minuman keras dan harta yang tak berlabel halal.
Sepuluh menit kemudian Dewie keluar ruangan lalu kembali lagi kekerumunan dugem. Ia tinggalkan om Hendra yang terkapar puas.
Cih! Bangkong tua, gumam Dewie geli. Di sebuah kursi dekat bartender  Dewie tata lagi lembaran merah-merah itu  seperti menyesak ruang dompetnya. Ia apik menata dan menyusun.
*
11.Jurang yang Dalam


Suatu malam larut di Banjarmasin, depan diskotik. Sebuah mobil Avanza hitam berhenti dan dari dalamnya keluarlah beberapa muda-mudi ingin berpesta.
Tiba-tiba.
Tunggu!!!!, kamu Dewie bukan!! ucap pemuda dengan suara keras seraya tangannya memegang erat lengan perempuan itu.
Terkejut bukan main Dewie. Matanya tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sigittt!! batinnya.
"Wie kenapa kelakuanmu seperti ini!. Kemasukan setan mana kamu Wie! katanya tajam menekan dengan cengkraman yang belum ia lepaskan.
Dewie tertekan. Tidak ingin ketahuan buru-buru ia berontak.
Lepas!!. Lepas kataku!!!!, jangan sok kenal kamu!!! bentaknya.
Iya jangan sok kenal!!! bantu Rhiena dengan juga membentak.
 Lepas Broo!!! teriak teman pria Dewie.
Lepas!!!.. Ku bilang!!!, atau ku hajar kau!!! ancamnya lagi.
Sigit tak peduli,
Wie..!  sudah jangan seperti ini lagi!. Tidak kasihankah kamu dengan Ibumu!. Dia menunggu di rumah dengan doa-doa selamat untukmu!! kata Sigit.
Kau ini siapa!!. Jangan sok kenal!!!. Jangan sok tahu kehidupanku!!! ...Lepaskan kataku!! hardiknya dengan  memberontak.
Bukkkk!!!!!!
Satu jotosan keras menghantam rahang kanan Sigit. Terhuyung ambruk ke sudut trotoar, ia lepaskan cengkramannya. Dua orang lagi datang menghampirinya. Mereka cengkram bahu dan perut Sigit. Berontak Sigit berusaha lepas.
 Kurang ajar!!!... Sok kenal!!!!!. Suka ganggu orang!!!.
Bukkkk!!!!!. Bukkkkk!!!...Bukkkkk!!!!. jotosan lagi mengarah ke rahang kiri. Kepala dan perut. Berdarah mulut Sigit.  
Dua orang tadi segera menjungkangkan Sigit. Sigit ambruk lagi. Masih tiga pemuda itu memburu dan tanpa ampun menyepak-nyepak perutnya. Mereka injak. Mereka tendang!!!.Buta memang, bila seseorang telah teracuni pikirannya oleh alkohol, hingga nurani pun sungguh tertutup angkara yang meledak-ledak.
Berdarah terkapar Sigit. Miring tubuhnya. Terasa pening sangat. Berpusing sekitarnya dan lemas. Coba bangun lagi Sigit dengan ceceran darah merembes jatuh di trotoar. Jatuh dari  hidung dan mulutnya.
 Wie? panggil Sigit tersengal-sengal.
 Aku yakin kamu Dewie yang kuantar  dulu. Dewie satu kampung denganku.
Sudahku bilang aku bukan Dewie!!. Namaku Nia!!! elaknya sambil sama sekali tak berani menatap mata  Sigit, hanya sebatas badan saja tatapan Dewie.
Dewie sungguh kasihan melihat Sigit. Tak tega ia, tapi enggan juga ia mengaku.
Sigit tentu akan membeberkan kelakuanku bila aku mengaku dan berujung malu di mata orang tua di kampungku,itulah pikiran Dewie.
Bro!!! bentak salah seorang pemuda yang masih mendidih darahnya.
"Lebih baik kau pulang!! Kau salah orang!!!.
Sigit bergeming. Tak juga takut beradu pandang dengan mereka bertiga. Dia hanya berdiri sambil tangan kanannya memegang perut. Ia kemudian menatap tajam muka Dewie yag tak berani membalas tatapannya.
Sudah sana pulang!!!!! hardik seorang pemuda dengan mencoba merangsek menyerang Sigit lagi.
 Sudah!!!!..Sudah!!!.. Hoy!!!!.. Sudah!!! teriak seorang pemuda yang langsung menghalang tubuh kawannya yang marah itu.
Sudah Boy!!!!..Sudah!!! cobanya meredam amarah sahabatnya.
Tidak takut berkelahi sebenarnya Sigit. Sakit, bila telah tenggelam dalam angkara, seibarat sengatan nyamuk di tidurnya yang buta. Tak berbekas. Tak terasa. Terus Sigit tatap Dewie yang masih tak berani menatap balik ia. Tiba-tiba Sigit menangis.
Tak tega, Dewie pun bergegas meninggalkan Sigit. Masuk ke dalam diskotik. Dikawal teman-temannya. Tiga orang pemuda berjalan mengiring Dewie dengan mulut cengegesan. Tak tahu pemuda-pemuda itu jika Sigit sedih lantaran kelakuan orang yang dikuliahkan mati-matian ibu bapaknya ternyata melacur begini.
Geram benar Sigit. Tapi ia tahan-tahan dan hanya mampu menghujat pemuda-pemuda itu  dalam hatinya.
"Pemuda yang hanya mampu meminta jajan pada orang tua!. Pemuda yang merepotkan!!. Yang manja!!!, dan hanya menjadi beban!. Mereka tak tahu bagaimana hidup yang sebenarnya, yang bekerja dengan berderaian keringat. Mereka hanya parasit!!!.
Dalam diskotik, sebenarnya teman-temannya membenarkan bila memang pemuda tadi itu adalah kenalan Dewie. Mereka sadar Dewie tak ingin diketahui identitasnya. Teman-temnnya  hanya sebatas membantu menutup. Menutup alibi seseorang.
Siapa pemuda tadi Wie, kenapa ia paksa-paksa kamu? tanyanya.
Itu Sigit. Orang yang mengantarku ngekos di Banjarmasin. Tepatnya itu pemuda satu kampung denganku yang membatuku untuk kuliah di sini jelasnya. Aku sengaja tak mau mengaku, sebab pasti gawat bila sampai aku ketahuan. Syukur kalian paham? lanjutnya.
 Santai saja Wie ucap salah satu teman prianya. Kami sudah paham walau tak tahu asal usulnya. Bagi kita . Satu community itu harus saling tolong-menolong sambungnya lagi.
Iya terima kasih cuy balas Dewie.
Mereka pun kemudian masuk ke dalam diskotik. Teman-temannya melupakan kejadian awal tadi. Tapi tidak untuk Dewie pribadi. Harap-harap cemas bergelantungan seperti lintah menyiksa pikirnya.
Bagaimana bila nanti Sigit mengadukan hal ini keorang rumah?. Mati aku. Harus bagaimana aku, batin cemas hatinya.
Pulang dari dugem, Dewie kelojotan terbayang khawatir yang mendalam.  Temannya benar telah mencoba melipur laranya. Namun tetap saja cemas masih menggigit darah saraf-sarafnya serupa pecot.
Kenapa Bro, benjol-benjol mukamu tanya teman yang tidur di samping Sigit tengah malam itu.
Ah tidak aku tadi terjatuh di A.Yani. Motorku masuk got! .Ngatuk mungkin aku ucapnya sembari cengar-cengir.
Ditanggalkan baju Sigit dan sejenak berebah lah ia.
Tak mungkin itu bekas jatuh!!, warnanya biru lebam?. Pasti bekas pukulan!. Nyopet di mana kau Git canda kawannya.
 Ah kau ini?. Jatuh kataku, jawabnya tak peduli dan langsung diam hening dengan tidak mendengarkan kata-kata temannya lagi.
 Berpura tidur Sigit. Padahal sungguh ia tak dapat tidur. Hatinya tercabik-cabik dengan apa yang ia lihat malam barusan. Banjarmasin benar-benar jahat menurutnya. Membawa temannya sesat dalam alam glamour maksiat.  Kasian Ibunya yang ia dustai, pikir Sigit.  Merembang mata Sigit malam itu.
Pagi-pagi teman-teman Sigit sudah menggrubung. Solidaritas menjadi peran utama.
"Siapa yang menggincuimu malam tadi Git!  tanya salah seorang temannya. Ah tidak ada kataku?. Aku cuma jatuh.
"Git tidak usah takut atau khawatir.  Kami siap membantu bila memang kau butuhkan. Itu aku yakin bekas hantaman!!! menunjuk muka Sigit yang semakin bengkak.
Sigit hanya diam masih tidak peduli.
Teman-temanya itupun lama-lama, sudah asik dengan cerita sendiri-sendiri dan pergi bekerja lagi. Sigit juga ikut bekerja.
*
Sore seperti biasa Dewie duduk sambil membaca-baca buku di beranda depan kosnya. Seminggu lagi ujian. Tak berasa ia sudah semester 7, dekat lagi untuk lulus dari kuliah.
Tit..tit..tit..tit...tit!!!!!! bunyi pesan WA menyela kosentrasinya. Tanpa komando dari otak, tangan itu sudah merambat reflek mengambil ponselnya yang tergeletak di kiri tempat duduknya.
Sigit? ia membaca nama pengirimnya.
Dewie buka pesan itu dengan sedikit was-was. Pikirannya langsung terhujam pada kejadian kemarin malam. Tak biasa lagi Sigit menengoknyandan entah pesan apa yang akan ia sampaikan kali ini.
Sejenak layar Handphone  itu pun  telah  berisi pesan.
Assallamuallaikum.. Dewie bagaimana kabarmu?, semoga engkau baik-baik saja. Wie, aku bukanlah lelaki buta yang tak mengenal siapa yang ku kenal. Apalagi bila orang itu adalah orang yang pernah aku cinta. Bahkan sampai sekarang pun, entah kenapa kau tetap jadi hal istimewa dalam pikiranku. Wie, bila engkau masih Dewie yang kukenal, aku mohon hentikan kebiasaanmu yang mudarat itu. Kau anak baik-baik Wi.   Tempatmu bukan berkumpul bersama mereka!!.
Dewie tertegun. Berpikir ia untuk mencari balasan yang tepat .Bagaimana ini? Haruskah aku mengaku. Ia tak tahu masalahku. Tak mengerti dia?. Haruskah aku marah.
Tekanan-tekanan lembut kemudian dilancarkan jari-jarinya. Tatapnnya tajam. Kini, tak tergubris lagi buku bacaan itu.
Kamu ini bicara apa toh Git?, mabuk yah. Macam-macam saja. Emang aku kenapa. Oh iya, terima kasih sampai sekarang aku tetap menjadi orang yang kamu sayang dan ingin kamu jaga. Tapi tulisan  terakhir itu aku kurang paham. Ada apa sih Git?"
Hening dan lama tak ada balasan. Mungkin Sigit menyerah dan memang ia merasa salah orang, duga  Dewie agar lega pikirannya.
Terus Dewie tunggu balasan Sigit, tapi tetap tak ada. Lega sekali dia mampu mengelabuhi Sigit. Tapi juga ia minta maaf untuk itu semua. Maaf yang tak mungkin disampaiakn lewat peraduan pandang atau peraduan suara. Hanya angin yang mendengar ucapan maaf  Dewie.
Beranjak dari kursi, Dewie lalu berdiri dengan kedua tangan bertopang pada pagar kos.
Ia lancarkan pandangannya keluar. Tidak lagi fokus ke layar Handphone, apalagi buku pelajaran. Pandangannya lepas jauh menuju rumah-rumah, menuju tower,  menuju rerimbunan pohon, awan, dan langit. Jauh ia pandang lepas-lepas.
Maafkan aku Git, kau tak paham bila terjerat dosa seperti aku. Semua berawal dari aku. Dan inginku akhiri dengan aku sendiri. Penyesalan hanya membuat keadaan semakin sempit. Dulu-dulu sudah lalu dan batas-batas pun sudah kulangkahi. Apa lagi yang harus kembali. Kembali juga sudah tiada berarti. Kau suruh aku kembali. Dengan apa? Dengan semua aib ini? Dengan semua hinaku ini? Agaknya kau tak mengerti, bagaimana keluarga kami tecerca. Dan dengan pengakuanku ini. Tahankah aku bila melihat mereka berdua menagis mati dengan segala kenyataan yang mereka terima nanti. Biarlah sudah!!!. Ku pendam sendiri dan kucoba perbaiki sendiri!, lamunanya.
Tiba-tiba ia berhenti melamun.
Dewie merasakan sesuatu yang memuakkan mendorong semua inderanya. Kepalanya pusing hebat. Bergoyang tempat itu di penglihatannya. Kabur dan terlihat menjadi dua semua yang ia tatap. Masih bergoyang pandangannya ia berusaha kokoh tetap bertahan. Bergumul-gumul membulat-bulat tekanan rasa itu, seperti pukulan menyeruak naik dari dalam perutnya. Menekan dengan deras bukan seperti riak-riak air, melainkan laksana gelombang bah. Ia berbalik badan dengan pinggul kini jadi penopang menempel pagar. Coba ia tutup mulutnya dengan satu tangan sedang tangan lain memeluk perutnya.  
Sekonyong-konyong tak tahan lagi ia.
Uuuueeeeeekkkk...Uuuueeeekkk!!!!! lantai itu lalu terhambur sari-sari seperti bubur bekas gilingan yang belum sempurna.
Terdengar kedalam kos. Rhiena yang sedang nonton TV pun kaget dan segera memburu keruang tempat suara itu.
Rhiena berlari secepat mungkin dan berusaha melupakan lemak tubuhnya agar segera tahu apa yang terjadi.
Kenapa kamu Wie!! tanyanya kuatir, ketika melihat Dewie sudah terduduk lesu bersandar pagar.
"Tak tahu aku? jawabnya lemas. Rhiena segera membopoh temannya untuk berdiri  lalu membawanya masuk kedalam kamar. Pandangannya masih kabur dan perutnya sesekali masih mual-mual.
Kamu positif Wie? jelas Rhiena yang melihat tanda-tanda dari tespeck yang ada di kamarnya.
Maksudmu Rhien? tanyanya dengan mimik cemas.
Iya. Ada orok dalam perutmu, lihat saja tandanya? memberikan tespeck itu kepada Dewie.
Dewie terdiam melongo tak percaya. Kenapa aku tak dapat membaca hal ini? Kenapa jadi seperti ini, ucap  batinnya mengelak.
Apa kamu sering berhubungan tanpa kondom? tanya Rhiena.
Seingatku tidak?, aku selalu berhubungan memakai kondom. Tak ingin aku kecolongan bantahnya.
Tapi lihatlah sekarang?, ada janin di perutmu, sulit dipahami kata Rhiena menggeleng-geleng.
Dewie mengingat-ingat, kejadian-kejadian kencannya akhir-akhir ini. Tidak ada yang tak memakai pengaman. Semuanya wajib memakai kondom.
Tapi??...Ya.. mungkin itu! Mungkin?. Ah sial!, gejolak batinnya mulai mendidih.
Pernah sebulan lalu aku mabuk berat Rhien, kau pasti tak ingat, karena kala itu, kau hanya menceracau tak karuan dan aku tak sadarkan diri di mobil. Mungkinkah mereka yang usil berbuat demikian? Dewie mengingat-ingat.
 Mereka?. Masa mereka?. Teman kita sendiri? kata Rhiena, menyudutkan semua praduga kepada dua teman komunitasnya.
 Bisa saja Rhien, sebab aku merasakan sesuatu meraba dan masuk, tapi aku mabuk berat hingga aku tak peduli?.
 Binatang!!!. hujat Rhiena. Mungkin benar katamu!! Tapi kenapa mereka begitu tolol melakukan itu tanpa gunakan kondom!! lanjutnya dengan raut muka geram.
 Aku yakin?. Mereka pun tengah mabuk berat juga, hingga tak mereka amati apa tingkahnya itu terang Dewie lagi. Mereka berdua terus bercakap-cakap dalam kamar itu. Menghujat-hujat rekannya satu community. Menghujat kecerobohan mereka.
Tapi sebelumnya?. Apakah kamu tak merasakan sebuah firasat akan terjadinya hal begini? tanya Rhiena. Tidakkah kamu pernah telat?? katanya lagi.
Dari SMA memang aku sering dalam setahun itu telat, sampai sekarang pun aku biasa telat, entah mungkin bawaan lahir. Tiga hari lalu aku telat, tapi toh itu tak buat aku gelisah. Ternyata sekarang malah begini." Rhiena ikut menatap perut Dewie juga. Ia masih jengkel, dan ingin sekali menjambak-jambak rambut dua orang teman prianya itu.
Setelah lama membahas, dan bercakap-cakap lagi maka diambillah keputusan untuk segera menggugurkan janin Dewie. Daripada ia lahir bakal membuat hidupnya malu, asumsi Rhiena. Dan dititik ini, sungguh Dewie benar-benar merasa kacau lagi. Ia semakin ambruk dalam kenistaan. Ambruk, dan semakin jauh melewati batas-batas.
Tengah malam kemudian, kedua teman komunitasnya benar-benar diamuk Rhiena dalam pertemuan mereka di sebuah taman.
Kocak!!!. Otak ditaruh didengkul!!!.
"Plakk!!!!!..Plaaakk!!!!! Plakkkkk!!!...Plaakkk!!! tangan kanannya menampar pedas pipi mereka secara bergantian.
 Benar-benar Rhiena itu berani dengan laki-laki, gumam Dewie yang sedikit ngeri. Tak hanya terbiasa bicara kotor, tapi berani pula melawan, bahkan menyiksa. Babak belur pipi, rambut bahkan kemaluan mereka ditampar dan ditendang Rhiena. Kesakitan keduanya, tanpa ingin melawan dan hanya coba terus menenangkan angkara Rhiena.
Kedua temannya memang merasa bersalah. Khilaf? akui salah satu teman pria itu. Meski brutal, mereka  menerima amukan Rhiena, tapi tetap solidaritas is solidaritas. Mereka berdua masih sepakat membantu urunan untuk mengaborsi janin Dewie.
*
Seribu hujat Dewie layangkan untuk kesekian kali, untuk dirinya yang telah bobrok. Betapa dosa telah lama ia lakoni. Betapa seringnya ia dustai kedua orang tuanya dengan semua sikap serta tutur kata yang abstrak.
Dewi memegangi perutnya yang masih nyeri. Seminggu lalu Dewie telah berbuat anarkis pada darah dagingnya. Bejat nian kelakuannya itu. Dahulu ketika ia kecil, ia selalu mencaci-maki setiap berita kriminal yang ditontonnya di televisi. Terutama berita tentang seorang ibu yang tega menggugurkan atau membuang anak kandungnya sendiri. Dia sumpah-sumpah, dan marah-marahi dengan hidung yang terangkat serta  pipi bergetar-getar menahan geram.
Sekarang, ia malu berkepanjangan. Tokoh sikap laknat itu seperti merasuk sukmanya. Mewariskan semua perangai setannya. Zionis dan amoral. Seorang clepto!.  Seorang  psikopat!. Yang tega bunuh darah dagingnya sendiri.
Nglamun lagi Wie? Rhiena menegur.
Rhiena siang itu sudah selesai mandi dan ingin menjemur baju-baju dalamnya di beranda kos. Kebiasan buruk anak kos-kosan yang senang jemur baju di padang umum. Rhiena melihat Dewie bermuka muram lagi. Ia datang dan duduk bersamanya memberinya motivasi.
Aku ini benar-benar tergolong anak zalim. Anak yang durhaka? keluh Dewie.
 Kenapa kamu berkata seperti itu?.
"Iya sahut Dewie sambil  menoleh ke Rhiena. Kelakuan menggugurkan janin itu. Bahkan binatang pun tak pernah berbuat demikian. Banyak orang di luaran sana yang berharap hadirnya buah hati. Tapi kenapa?, seperti aku kemasukan iblis yang tega memusnahkan anakku sendiri."
 Lalu? ujar Rhiena. Jika tidak kau gugurkan, kau mau apakan?. Mau merawat?. Apakah mungkin orang tuamu di rumah dapat tahan jatung, bila mengetahui kau punya anak tanpa ikatan perkawinan! serang Rhiena.
Semakin lemah hati Dewie terkatung-katung antara teguh atau putus asa. Ia tertunduk. Masih menangis.
 Tiba tiba Rhiena memeluk Dewie. Lihat dirimu Wie, kau masih muda. Panjang jalan untuk merubah takdir dengan kemenangan matanya ikut menangis, memberi Dewie motivasi.
Aku lebuh rusak darimu?, tapi aku masih ingin bahagiakn orang tuaku nanti. Dosa kita akan kita tebus sama-sama. Kita tanggung sendiri tanpa ikut campurkan mereka berdua. Toh selama sebelum tidur kita selalu berdoa, pasti bila kita matipun yang penting kita sudah menyebut asma Tuhan. Tenang juga roh kita anggapnya.
Entahlah...serasa tobatpun pasti bakal tak diterima. Lebih baik tubuh ini beradu dengan Truk saja ucap Dewie lirih.
Rhiena menengok tajam.
Rhiena lepas rangkulannya, dan sesaat kemudian ia angkat muka Dewie yang tertunduk lesu. Ia plototi raut wajah Dewie. Benar-benar pucat hilang riang. Hilang percaya diri.
Sadar Wie!! sentaknya. Apa ucapmu tadi!! matanya melotot. Kau ingin berbuat seperti itu?. Pasrah dan jatuh ke neraka. Kekal abadi!!!,  dan biarkan orang tuamu mati perlahan dicekik kesedihan!!!...Jangan bodoh!!! bentaknya lagi.
Dewie terisak-isak terus.
Rhiena tak tega, dan karena naluri wanita yang mudah tersentuh, ia pun memeluk Dewie dengan erat lagi.
Jangan pernah berpikir pendek seperti itu. Tuhan pasti menerima tobat kita, dan membiarkan kita memperbaiki keadaan sebelum bertobat. Karena Tuhan itu Maha Mengerti!! nasihatnya.
Menggigil badan Dewie. Terasa sekali gigilannya oleh Rhiena. Sahabatnya paham temannya memang lemah hati. Benar-benar lemah hati. Tapi bukan kepasrahan yang hendak ia baca dari raut mukanya. Rhiena ingin Dewie bangkit lagi. Percaya walau sesusah keadaan pasti  Tuhan bakal menolong meringankannya, dan paham dengan membuka seribu pintu tobat-Nya.
 Siang itu di beranda depan yang dinaungi atap genteng dan gantungan kain jemuran. Pada hari di mana tidak ada mata kuliah, Rhiena terus menyuportnya hingga Dewie benar-benar menemukan titik semangatnya.
*
Selesai kamat Isa. Sigit dan temannya yang ikut membonceng motornya dulu ketika jalan-jalan tengah malam bersamanya, sedang serius berbincang-bincang.  Mereka berdua duduk di atas kasur sambil berokok.
Mimik wajah keduanya benar-benar tajam. Membicarakan sebuah topik yang penting. Sigit menjadi dalang malam itu. Ia banyak bercerita tentang sebuah rencana. Rencana kotor bersama temannya. Rencana terperinci. Detail. Bertahap dan masak. Rencana yang akan membuat kartu As untuknya. Untuk masa depannya.
*

12.Mendung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun