Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Tak Bisa Menulis Puisi

24 Agustus 2016   15:45 Diperbarui: 24 Agustus 2016   15:53 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:nfosastra.com

**

Esoknya, Dee memeriksa buku yang kemarin diberikan pada suaminya. Dibukanya sampulnya, berikut halaman demi halaman. Halaman pertama kosong, kedua kosong, ke tiga.. kosong juga. Masih ada harapan untuk lembaran-lembaran berikutnya. Namun, sampai halaman terakhir dibuka, tak satupun huruf tertulis di sana.

“Papa.... !!, Kau sungguh tega, permintaan istrimu tak kauanggap penting sama sekali. Dugaanku benar, papa sudah tak cinta lagi. “ Dee tak kuasa menahan amarah. Perlahan air mata mengalir di pipinya.

Susanto tak banyak berkata-kata, ia hanya menjawab dengan satu kalimat pendek, “Maafkan papa, ma.”

**

Rejeki, jodoh, musibah kadang hadir tanpa disangka-sangka. Begitu pun dengan musibah yang menimpa Dee. Siapa yang menyangka Dee yang periang dan energik itu tiba-tiba terpuruk di rumah sakit. Ia menderita kelumpuhan karena penyakit tulang yang sebenarnya sudah lama diderita. Baru pada usianya yang menjelang kepala 5 penyakit itu secara drastis memberhentikan aktifitasnya sehari-hari.

Tiga tahun sudah Dee terbaring tak berdaya. Hanya suami dan kursi roda yang masih setia menemani hari-hari penderitaannya, juga membantunya menjalani aktifitas dari satu kamar-ke kamar lain di rumahnya yang cukup besar. Dan yang lebih membuatnya tetap memiliki semangat hidup adalah suaminya yang senantiasa menyemangati dan mengurus sakitnya tanpa keluh kesah sedikitpun.

Dari mulai memandikan, membersihkan kotorannya, menyiapkan makanan dan semua kebutuhan Dee, dengan tanpa rasa berat sedikitpun Susanto melakukan itu semuanya. Tanpa pembantu. Bahkan dua anaknya yang sudah kuliah tetap tidak diperbolehkan untuk mengurus mamanya kecuali hanya membantu seperlunya. Susanto tidak ingin anak-anaknya terganggu belajarnya karena ikut mengurus mamanya.

Namun, di lubuk hati yang dalam semakin lama Dee merasa iba pada suaminya. Selama terbaring sakit tentu suaminya banyak menderita lahir batin. Dee jelas tak bisa memberi nafkah batin seperti sebelumnya. Hingga suatu ketika Dee berkata lirih pada Susanto.

“Papa, maafkan mama sering merepotkan papa dari semenjak mama masih sehat sampai menderita sakit selama ini. “

“Sudahlah, ma. Mama jangan bersedih dan jangan berpikir seperti itu. Yang paling penting saat ini adalah kesehatan mama. “

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun