Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontestasi Politik dan Sindrom Jebakan Popularitas

5 Maret 2018   10:19 Diperbarui: 6 Maret 2018   11:55 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Ramainya perbincangan tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) sangat mendominasi berbagai forum formal maupun nonformal. Serasa tiada hari tanpa membincang tentang pilkada beserta jagoannya masing-masing. Semuanya sah-sah saja, karena jika dikaji dari perspektif demokrasi, yang demikian merupakan determinasi kemajuan berpikir dalam memaknai demokrasi yang diidam-idamkan selama ini. 

Berbagai keunikan menghiasi tahun politik menuju pilkada ini, meskipun pertarungan di bilik suara belum dimulai, namun berbagai spekulasi dari berbagai sudut pandang sudah mulai muncul ke permukaan. Ada yang menyakini paslon tertentu yang akan menang mutlak, ada juga survey yang kemunculannya secara tiba-tiba dengan basis yang tidak kredibel. Selain itu, uniknya banyak calon kepala daerah yang justru terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK menjelang Pilkada. Ragam problematika tersebut merupakan "nature of reality" yang tak terhindarkan dalam bingkai demokrasi apalagi di negara dunia ke tiga, yang ditunjang dengan keberagaman budaya, agama dan suku.

Fase normatif sudah mulai terlewatkan satu persatu. Beberapa pekan yang lalu para kontestan masih berstatus sebagai bakal calon (balon), kini telah berganti status menjadi pasangan calon (paslon). 

Dalam perjalannya, berbagai manuver begitu masif dilakukan oleh paslon beserta simpatisannya. Berbagai sumber daya dimaksimalkan dalam memperkuat rekatan ingatan publik pada diri mereka. Berbagai media, terutama media sosial (medsos) adalah salah satu contoh instrumen yang paling masif digunakan sebagai perekat ingatan publik akan jagoannya masing-masing. Sebab media merupakan corong informasi pertama bagi masyarakat "community" yang memiliki daya sihir yang mampu merubah paradigma dan cara pandang masyarakat dalam membentuk doktrinasi pada dirinya dan orang lain (Kurniawansyah, 2014). 

Setiap kali membuka media sosial (entah itu facebook, instagram, twitter, dan whatsapp), berbagai promosi dan iklan para paslon dengan ragam caption yang dikemas dengan narasi-narasi terbaik nan kreatif  mendominasi beranda para pegiat medsos. Sehingga melalui proses tersebut telah memunculkan tokoh-tokoh popular ke permukaan.

Kepopuleran tersebut serasa membuat publik mengklaim bahwa kemenangan telah ada dalam genggaman. Dari popularitas tersebut pula memunculkan rasa optimis dari dari berbagai kalangan, terutama kalangan pegiat medsos. Sering terdengar narasi dan deskripsi optimis dari sekelompok masyarakat di bebagai warung kopi, pangkalan ojek, dan tempat lainnya yang didasarkan akan kepopuleran tersebut. Namun proses ini adalah adalah proses politik, sebuah dunia intelektual yang penuh dengan teka teki dan strategi. Yang tidak poluper bukan berarti diam, bisa jadi yang tidak populer memilih jalan lain ataupun tikungan lain untuk menuju kemenangan sesungguhnya, sebab kemenangan di media sosial tidak berarti apa-apa jika tumbang  di bilik suara. 

Pemain di media sosial tidak sebanding dengan masyarakat secara utuh, bahkan pemain di media sosial cendrung diasumsikan sebagai masyarakat kelas menengah. Popularitas di media sosial juga bisa menipu dan bahkan bisa menjadi ancaman. Suara masyarakat kelas menengah sama nilanya dengan masyarakat kelas bawah. Nah, di Indonesia proporsi kelas bawah jumlahnya bisa 70%-80% dari total jumlah suara. Mereka menguasai suara mayoritas, hanya saja mereka diam tidak banyak terdengar di media atau medsos, inilah yang disebut dengan jebakan popularitas (Ferizal, 2017). Karena itulah, pentingnya strategi manajemen (management strategic) dalam memformulasikan langkah-langkah politik dalam persaingan yang amat kompetitif ini.

Beragam analogi ilmiah (contoh kasus) dalam kontestasi politik yang menunjukkan orang-orang populer terjebak dalam popularitasnya. Mereka terhimpit bahkan tumbang dalam pertarungan politik meskipun popularitasnya melangit jika dibandingkan dengan lawan politiknya. Kepopuleran Ridwan Kamil di tanah Jawa Barat tidak bisa dipungkiri bahkan sungguh melangit jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. 

Dia adalah seorang wali kota yang sangat modern dan begitu kental dengan mayoritas anak-anak muda. Popularitasnya di berbagai media, baik televisi, media cetak, dan media sosial seakan tidak terbendung, terlebih Ridwan Kamil adalah sosok kepala daerah yang sangat aktif mengkonsumsi media sosial dan memiliki follower terbanyak. Kalangan kelas menengah di medsos secara holistik mengkampanyekan Ridwan Kamil di berbagai obyek. 

Popularitasnya pun menobatkan dia sebagai balon gubernur pertama di Jawa Barat yang mendapat dukungan dan bahkan langsung mendapat deklarasi dari partai Nasdem. Terkesan, pada saat itu Ridwan Kamil tak akan terbendung untuk menduduki kursi Jabar 1. Namun dalam perjalanannya, justru Ridwan Kamil adalah satu-satunya balon gubernur yang hampir tidak memiliki partai pendukung dan hampir tidak mempunyai kans untuk bertarung di pilgub Jabar. Pada akhirnya Ridwan Kamil berafiliasi dengan koalisi rapuhnya atau partai non populer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun