Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pelajaran dari Brigita Manohara

22 Februari 2023   08:01 Diperbarui: 22 Februari 2023   08:12 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi sebesar Rp480 juta oleh presenter TV Brigita Purnawati Manohara tidak menghapus pidana. 

Brigita diduga menerima uang tersebut dari Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak selaku tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Ketentuan Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menyatakan: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sebagaimana dikutip dari  app.cnnindonesia.com

Apa yang dialami oleh presenter yang tadi banyak terjadi  dalam beberapa perkara korupsi yang ditangani KPK. Banyak diantara mereka yang mengembalikan dengan itikad baik, ada pula yang "terpaksa" dan tetap merasa ia berhak atas uang haram tersebut. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana sebenarnya filosofi atas aturan normative sebagaimana ketentuan Pasal 4 UU Tipikor tadi? Seolah menjuntai pertanyaan, kan sudah mengembalikan, mengapa harus diancam pidana? Mengapa tidak menghapuskan pidananya?

Pertama, jika penerima uang/ aset  yang diduga hasil tindak pidana korupsi beralasan bahwa yang ia peroleh sebagai sebuah "bayaran" atas jasa prosesionalitasnya, perlu dirunut bagaimana aspek proporsional bayaran dengan jasa profesional. 

Apakah sesuai dengan standar umum, atau hanya sebagai kamuflase semata? Pemberian berkedok kompensasi atas jasa? Ini yang sering tidak terurai dalam standar atau ukuran mengenai "jasa dan pemberian lain". 

Pemberian lain dalam petik ini maksudnya adalah ada "transaksi" lain yang dinilai sebagai urusan privat, namun dibungkus dengan kata-kata jasa profesionalitas.

Kedua, jika penerima menganggap dirinya benar-benar tidak tahu, bahwa pemberian dan atau dengan bahasa lainnya yang bermakna sama, maka ukurannya adalah apakah uang tersebut "sekiranya" benar-benar dari si pemberi yang note benenya adalah penyelenggara negara? Ia memberi atas nama pribadi atau dinas? Bila pribadi, tidak curigakah dengan nilai uang yang diberikan dibanding dengan profil gaji atau penghasilannya yang sah? 

Bila atas nama dinas karena "jasa profesional" tadi terkait kedinasan, sudah seharusnya melalui mekanisme pembayaran yang sah, misalnya ada kuitansi, tertera pajak dan sebagainya. Ini harus dipahami dan sudah sewajarnya, untuk kalangan tertentu, rasanya sangat mustahil tidak mengetahui "sinyal" seperti ini.

Ketiga, terkait dengan pengembalian kerugian Negara dan tidak menghapus pidananya, semata-mata untuk memberikan early warning adanya sikap hati-hati, curiga dan waspada terkait dengan pemberian oleh penyelenggara Negara. Ukurannya jelas, bila Pemberian tersebut legal, runutan sumber uangpun jelas dengan dokumen yang sah, sebagaimana disebutkan dalam point kedua tadi. 

Jangan membiasakan spekulasi terhadap fakta, bahwa sebenarnya tahu, namun pura-pura tidak tahu. Atau minimal atas pemberian dari Penyelenggara Negara tadi ada rasa curiga, namun nekad diterima dan sudah disiapkan jurus "mengembalikan" bila belakangan terendus jejak transaksi dalam sebuah perkara korupsi.

Akankah penerima uang hasil korupsi dan telah mengembalikan kerugian Negara tetap saja diproses sesuai hukum? Di sinilah, penyidik akan "menggunakan diskresi", sebagaimana tiga tujuan hukum yang disampaikan oleh Gustav Radbruch, yaitu dari sisi kemanfaatan, kepastian dan keadilan. Sangat dihargai dan mempunyai nilai positif dalam rangka asset recovery, setiap penerima uang atau aset hasil korupsi dengan kesadaran sendiri mengembalikan, tanpa harus melalui proses asset tracking oleh KPK.

Bila sudah melalui tahapan asset tracking, di mana penerima hasil kejahatan itu tidak ada itikad mengembalikan atau bahkan menyamarkan dalam bentuk lain, maka tindakan penyitaan akan dilakukan oleh penyidik.

Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist, saat ada bukti dari fakta-fakta, apa gunanya kata-kata?

Salam anti korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun