Latar Belakang
Dilihat dari sisi manapun, termasuk secara teologis-soiologis maupun psikologis, manusia merupakan puncak ciptaan dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan yang prima, dibanding makhluk lainnya.1 Meski demikian, Allah memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau bahkan setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya. Proses penyempurnaan dimungkinkan karena secara alamiah, pada naturnya manusia sendiri itu fitri, hanif, lurus dan berakal, yang dapat dididik maupun mendidik (homo educable-homo educandum). Lebih dari itu bagi seorang mukmin, isyarat primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Allah sebagai pembawa kitab suci yang merupakan petunjuk kehidupannya.
Dari sedemikian konprehensifnya kehebatan‖ manusia, sehingga muncul berbagai pandangan yang dilatari berbagai hasil pengamatan dan penelitian, di antaranya bahwa: Manusia dilahirkan sebagai keajaiban alam, berada di dalamnya tetapi melampauinya. Manusia adalah bagaikan raksasa tidur. Manusia, khususnya otaknyaRumusan Masalah diperkenalkan sebagai sejuta GB, atau bahkan unlimited power , unlimited potency.
Bagaimana manusia mampu melampaui alam dimana ia berada? Adalah karena kesadaran‖nya, sebab manusia adalah free consious activity (bertindak secara sadar). Kesadaran mengenai realitas yang ada dan mengenai alternatif-alternatif untuk memperbaikinya. Dalam kaitan itu di sisi lain, terdapat pandangan bahwa manusia lahir secara organis dalam kondisi belum selesai‖ dalam kaitannya dengan sifat yang relatif tidak terspesialisasi dari struktur instinktualnya. Dunia manusia tidak terprogram dengan sempurna oleh konstruksi manusia sendiri. Dunia manusia adalah suatu dunia yang mesti dibentuk oleh aktivitas manusia sendiri. Pembentukan dunia manusia tidak dapat berlangsung secara individual, tetapi dalam proses dialektik fundamental yang terjadi di tengah interaksi antar manusia dalam masyarakat melalui tiga langkah: eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Dalam perspektif tersebut, manusia dalam realitas kehidupannya selalu berada dalam proses menjadi‖ yang tiada pernah henti. Menjadi‖ (becoming) dalam arti berproses, selalu bertambah dan berkurang ke arah martabat kemanusiaan yang hendak dicapainya yakni idealnya manusia seutuhnya, atau sebaliknya.
Kedudukan manusia yang melampaui alam di mana ia berada seperti disinyalir Erich Fromm, sesungguhnya telah jauh sebelumnya diisyaratkan dalam dunia agama. Dalam hal ini al-Qur‘an, antara lain, menyatakan Laqad khalaqna al-insān fī ahsani taqwīm. Keindahan dalam penciptaan tersebut, mencakup baik dalam keindahan, kesempurnaan bentuk perawakan, maupun dalam kemampuan maknawinya secara intelektual, rasional, dan spiritual. Bermula dari keunggulan dalam penciptaan tersebut dengan segala nurturan effect-nya, menjadikan manusia berposisi lebih dan mengatasi segala makhluk bukan manusia bahkan termasuk dibanding malaikat. Dalam keunggulannya itu, manusia pun diangkat sebagai khalifah di muka bumi, yang kemudian melahirkan bentuk hubungan antara manusia dan dunia bukan manusia yang bersifat penguasaan, pengaturan dan penempatan oleh dan untuk manusia.
Akan halnya manusia dilahirkan dalam kondisi belum selesai‖, seperti yang terlihat dalam berbagai hasil penelitian ilmiah di bidang psikologi perkembangan yang menunjukkan manusia senantiasa dalam perkembangan, sesungguhnya pula telah lama diisyaratkan dunia agama. Dalam hal ini, al-Qur`an mengisyaratkan adanya manusia mengalami perkembangan, paling tidak, dalam dunia sebelum dan setelah kelahiran dalam berbagai bagian dan jenjang perkembangan kehidupannya. Perkembangan dimaksud dapat dipahami dalam arti perkembangan sebagai perubahan secara kualitatif. Perkembangan yang berlangsung dalam suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Keunggulan manusia sejak saat mula penciptaan dengan demikian, tidak dengan sendirinya menjadi kelebih-luhuran manusia secara langsung. Potensi keunggulan maknawi‖ manusia dimaksud masih atau lebih bersifat latent, dan akan mewujud bersama sejauhmana ia mampu mewujudkan potensi itu ke dalam kualitas moral kehidupannya secara kongkrit. Dalam konteks ini, di samping pertumbuhan badaniah yang berlangsung secara alamiah, manusia, sesuai dengan kemampuannya dapat mengembangkan diri pribadinya sesuai dengan titah kehidupannya, dalam terma penyempurnaan diri.
Pendekatan psikologis dan religious tersebut di atas menunjukkan bahwasannya manusia senantiasa bertumbuh dan berkembang dalam arti berubah‖ secara fisis, psikis, emosional, intelektual, bahkan juga spiritual. Tulisan dalam bagian ini, tentunya tidak berambisi untuk membincang manusia dalam seluruh rentang perkembangan kehidupannya, melainkan hanya akan mencoba mengintip‖ masa dewasa, khususnya usia dewasa madya dini‖ dalam sisi karakteristik fisik, psikis, emosi intelektual dan spiritualnya, serta bagaimana menyikapi masa tersebut dalam rame psikologi pendidikan Islam. Mengapa usia madya dini? Sebab, masa-masa tersebut sering dipandang sebagai yang paling sulit dan menakutkan, merupakan masa transisi antara masa dewasa dengan masa tua, dengan perubahan-perubahan yang seringkali bernuansa ekstrim.
Konsep Penciptaan
Proses perubahan suatu gagasan menjadi mewujud ke dalam suatu realitas kongkrit adalah merupakan proses penciptaan. Analisis literer menunjukkan bahwa kata penciptaan‘ mengandung beberapa komponen yakni adanya pencipta atau pelaku penciptaan, adanya bahan atau material yang dipakai, cara atau metode penciptaan, transformasi dan model khusus dari hasil akhir atau penggunaannya.16 Proses penciptaan berawal dari adanya pencipta yang memikirkan dan merekayasa ‗sesuatu‘ untuk menjadi konsep‘ berupa gugusan ide yang meliputi bentuk atau model, konstruksi, ukuran kekuatan atau kapasitas serta tujuan atau hasil yang hendak dicapainya. Setelah konsep‘ itu jelas, bahan dan perlengkapan yang dibutuhkan dipersiapkan, kemudian mulailah proses penciptaan itu dalam suatu ruang dan waktu tertentu dengan standardisasi yang telah ditetapkan, dan setelah itu, jadilah suatu wujud baru, bentuk dan model baru dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Dalam kerangka pikir seperti itu, nyata terlihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau secara kebetulan, melainkan diciptakan.
Berbagai konsep, khususnya konsep penciptaan dalam al-Qur`an secara umum dapat dipandang sebagai telah terbukti sejalan dengan proses alamiah yang senyatanya terjadi di alam raya ini. Hal ini, telah dapat ditelusuri secara akademis-ilmiah berkat dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah cukup maju. Untuk menyebut sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Buchaille yang pada akhirnya membawanya kepada penegasan tentang pembacaannya terhadap bahasa asli al-Qur`an dimana ia menemukan: pertama, suatu konsep penciptaan dunia yang, berbeda dengan gagasan-gagasan yang dikandung oleh Bibel, sepenuhnya sejalan dengan teori-teori umum masa kini tentang pembentukan alam semesta; kedua, pernyataanpernyataan yang sepenunya sejalan dengan gagasan-gagasan masa kini berkenaan dengan pergerakan-pergerakan dan evolusi benda-benda langit; ketiga, suatu peramalan akan penaklukan ruang angkasa; keempat, pengertian-pengertian berkenaan dengan siklus air di dalam alam dan relif-relif bumi yang belum terbukti benar kecuali setelah beberapa abad kemudian.
Bagaimana hal tersebut bila dikonfirmasi dengan para Mufassir yang selama ini dipandang cukup otoritatif dalam menafsirkan alQur‘an? Kita akan lihat dalam penafsiran ayat pertama surah al-Alaq. Ayat pertama surah al-Alaq yang ditelaah ini juga menyebut/memaksudkan Allah sebagai خلق إلذى) Yang menciptakan). Kata خلق memiliki berbagai arti, di antaranya menurut Ibnu Manzūr خلق menunjuk pada pengertian menciptakan sesuatu yang baru, tanpa ada contoh terlebih dahulu atau dapat juiga menunjuk pada pengertian sesuatu ketentuan atau ukuran yang tepat. 18 Al-Rāgib alIsfahānī memaknai term خلق sebagai pada dasarnya berarti ukuran yang tepat (إلتقديرإلمستقيم (dan digunakan dalam hal penciptaan sesuatu dari tidak ada menjadi ada (seperti penciptaan langit dan bumi dalam ayat yang disebutkan di atas), atau juga digunakan dalam hal penciptaan sesuatu dari sesuatu yang lain (seperti halnya penciptaan manusia ini). Bagi al-Rāzī kata خلق mengandung pengertian adanya ketentuan dan keseimbangan.20 Secara umum, term خلق lazim dipakai untuk pengertian penciptaan dari tidak ada menjadi ada atau penciptaan sesuatu yang baru dari sesuatu yang telah ada terlebih dahulu.