Mengapa kita tertarik untuk mencari makhluk virtual ini? Berbagai macam alasan dapat diberikan. Mungkin di antaranya ialah keinginan kita untuk memiliki (desire to possess). Untuk naik level, perlu sejumlah Pokemon yang dikoleksi beserta item-item lainnya. Ketika battle dilangsungkan, keinginan untuk menang tentu bersemayam di dalam diri pemain. Mungkinkah Pokemon Go menjadi simulasi bagi pemenuhan ketamakan kita, building our pride, dan mengejar perasaan satisfied atau entertained? Semua ini mungkin saja terjadi. Tetapi, saya sama sekali tidak bermaksud bahwa setiap pemain Pokemon Go pasti tengah bermain dengan pengejaran yang demikian.
Bagaimana dengan kehidupan kita? Mengapa kita banting tulang menimbun harta? Mengapa kita menjalani hidup ini dengan cara hidup yang sedang kita jalani? Mengapa kita berjerih lelah di dalam beribadah dan beramal baik? Mengapa kita mengejar “tujuan hidup” kita? Pokemon Go yang menggunakan teknologi augmented reality merupakan simulasi dari semacam “pencarian.” Lalu, apa yang sebenarnya ada di balik “pencarian” dalam hidup keseharian kita?
Ruang: Ke mana Mencari?
“Wah, di belakang pintu belakang, ada Charmander.”
“Di mana yah tempat yang ada Pokemon legendaris?”
Baru-baru ini, seorang rohaniwan menyampaikan pada penulis bahwa ia menjumpai seorang pemuda sekitar jam 10 malam di rumah peribadatan. Pemuda ini tak dikenal oleh rohaniwan tersebut. Singkat cerita, si pemuda ditanyai sang rohaniwan dan menjawab sambil cengar-cengir, “Lagi cari pokemon, pak …” Bagi penulis, hal ini sungguh lucu. Orang bela-belain datang ke tempat ibadah hanya untuk mencari Pokemon! Ketika justru makhluk virtual yang menggerakkan langkah kaki dari raga seseorang untuk menjejakkan kaki di sekitar rumah ibadah. Kehadiran seseorang di tempat yang dianggap sakral kini digerakkan oleh motivasi yang sekular atau setidaknya oleh makhluk virtual. Ini membuat saya merenung daripada tertenung dengan fenomena ini: Apakah kehadiran saya di tempat ibadah benar-benar digerakkan oleh Real Being atau malah oleh mythical beings ataupun motivasi yang sama sekali tidak sakral?
Jika kehidupan ini diandaikan laksana “pencarian,” Ke manakah kita akan mencari? Kiranya pertanyaan ini menjadi bahan perenungan kita.
Waktu: Kapan Mencari?
Tidak heran tengah malam pun, pemain Pokemon Go rela keluar rumah. Apakah Pokemon Go sedemikian powerful dalammengontrol kapan manusia akan bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain? Kapankah terakhir kali langkah kaki kita digerakkan oleh belas kasihan bagi orang yang nyata-nyata menderita dan memerlukan bantuan? Atau kita, ironisnya, justru lebih sibuk dengan pocket monsters yang maya?
Seorang pemuda sembari bermain Pokemon Go di Auburn, NY, mengalami kecelakaan [7]. Semoga kejadian serupa tidak terulang. Adiksi mempengaruhi konsentrasi kita di dalam beraktivitas. Kepolisian Auburn pun memperingatkan agar waspada alias sadar dengan lingkungan di sekitar kita. Apakah kita makin menyadari realitas ruang dan waktu di mana kita hidup? Do we realize the reality of space-time where we live in? Atau yang virtual dan yang real kini menjadi membaur dan semakin kabur?
Kalau hidup ini diumpamakan sebagai “pencarian,” kapankah kita memulai pencarian Yang Sejati?
Atau mungkin ... kita lebih senang larut dalam “pencarian” yang maya?
Diskusi: Bagaimana Mencari?
Pokemon Go dirancang untuk “memaksa” penggunanya keluar dari rumah, sehingga game ini menawarkan interaksi berbeda antara pemain satu dengan pemain yang lain [8]. Para Pokemon Trainer berdiskusi bagaimana mencari monster-monster virtual di dunia real di sekitar mereka. “Eh, kamu tau gak? Di dekat bundaran situ ada Eeves. Terus gereja itu Poke-stop lho…”