Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan dan sejak 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sebuah Jejak Foto Masa Lalu

2 November 2020   15:29 Diperbarui: 2 November 2020   16:28 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto by Pixabay

Ternyata benar, baru saja sehari kami berpisah, rasa rindu untuk bertemu itu menyiksaku. Ketika malam itu Kinanti menelponku, seperti ada yang lain, aku begitu bahagia menerima teleponnya bak seorang ABG yang memang sedang menunggu telpon dari kekasihnya.

BACA JUGA : Bayangan Dosa Menghantui

"Alan sedang apa kamu?" Tanyanya.

"Aku sedang menerima telponmu," kataku bercanda. Terdengar suara Kinanti tertawa.

"Alan hari Rabu dan Kamis besok aku menghadiri Seminar Tanaman Obat di Denpasar. Rencananya mau mampir ke Surabaya." Kata Kinanti.

"Rencana yang bagus. Aku juga sebenarnya mendapat undangan Seminar tersebut tapi tidak bisa hadir namun ada temanku yang mewakili. Kalau Seminarnya di Bandung pasti aku akan hadir."

"Memang apa istimewanya Bandung?" Tanya Kinanti.

"Bandung sangat istimewa karena di sana ada wanita yang sangat aku kagumi dan cintai."

"Oh iya aku tahu. Maksudmu wanita yang sangat kau cintai dan kagumi itu adalah Ibumu ya," kata Kinanti sambil tertawa.

Aku juga tertawa mendengar jawaban Kinanti yang tak terduga itu, padahal yang kumaksud bukan hanya Ibuku tapi juga dirinya.

Semakin terasa bagiku kini Kinanti mulai bisa membuka hatinya untukku. Benarkah? Apakah Kinanti kali ini sudah siap menerima cintaku?

Sabtu pagi udara begitu cerah. Cuaca yang sangat mendukung keceriaan Kinanti. Aku bisa melihat dan merasakan betapa Kinanti begitu ceria dipagi hari ini.

Jumat sore itu aku memang tidak bisa menjemput Kinanti di Bandara Juanda namun Sabtu pagi ini aku sudah berada di Jalan Sulawesi, siap untuk menjemput di tempat kediaman Pamannya tentu saja untuk mengajak Kinanti berakhir pekan.

Semua agenda Laboratorium yang biasa aku kerjakan pada Sabtu itu, sengaja aku tunda. Sabtu ini khusus aku persembahkan untuk Kinanti.

Sudah sepakat acara kami mengunjungi Taman Safari di Pandaan yang letaknya antara Surabaya - Malang.

Perjalanan dari Surabaya menuju Pandaan relatif lancar. Hanya dalam waktu satu setengah jam kami sudah tiba.

Menggunakan mobil khusus Taman Safari, kami berkeliling bersilaturahmi menemui Singa, Macan, Gajah, Jerapah dan semua binatang yang ada.

Sebenarnya selama di Taman Safari itu aku justru lebih banyak memperhatikan Kinanti yang kelihatan menikmati sekali liburan dengan udara sejuk pegunungan.

Wajah wanita cantik ini kelihatan ceria penuh dengan kegembiraan. Kadang kadang Kinanti tertawa lepas diantara dialog yang sengaja aku ucapkan penuh kelucuan.

Melihat hal ini aku bersyukur ternyata Kinanti sudah bisa melupakan kekecewaannya karena kegagalan pernikahannya tempo hari.

Setelah lelah berkeliling aku mengajak Kinanti duduk santai di sebuah cafe kecil yang di depannya ada sungai kecil dengan air jernih yang mengalir ke hilir. Sebuah Mushalla walaupun mungil namun bersih tertata bisa digunakan pengunjung untuk Sholat. Aku dan Kinanti pun sempat sholat Dhuhur.

"Kinanti jangan bertanya menu makanan Priangan di sini ya," sambil aku serahkan daftar menu makanan. Kinanti tersenyum sambil mengambil daftar menu yang aku sodorkan.

"Nah ini Rawon Setan! Dulu aku pernah di ajak makan Rawon setan waktu di Surabaya." Ujar Kinanti.

"Oh iya waktu itu untuk pertama kali makan rawon ya. Tapi belum pernah makan setan," kataku sambil ketawa. Kinanti tertawa lepas. Rawon adalah makanan khas Jawa Timur.

Sungguh aku melihat Kinanti bahagia sekali. Aku merasakan ada yang lain dengan Kinanti. Saat ini sikapnya kepadaku begitu penuh harap seolah dia sedang menunggu wujud sikap dan niatku dulu yang pernah aku utarakan kepadanya.

Aku harus memaklumi tidak mungkin Kinanti membuka duluan lembaran lama tersebut. Akulah yang harus membuka lembaran tersebut dan memulainya lagi untuk mengeja dan membaca hatinya.

Selama menikmati makan siang itu berkali kali aku mencuri pandang menikmati kecantikan wajah Kinanti. Maha Besar Allah yang telah menciptakan mahluk secantik ini.

Kinanti dari sejak SMA dulu sampai sekarang dalam usianya yang sudah kepala empat masih tetap cantik. Andaikan Kinanti berdampingan dengan anak gadisnya, Intan Permatasari, mereka bak kakak beradik.

Orang tidak mungkin menyangka kalau Kinanti adalah Ibunya. Kinanti, wanita berparas cantik dengan mata yang teduh, pandangan tajam, hidung bangir dan bibir selalu berhias senyum. Aku lah lelaki yang dulu waktu SMA pernah jatuh cinta kepadanya.

"Hei! Alan kenapa kamu bengong begitu?" Suara Kinanti membuatku terkejut dan membuyarkan semua angan dan lamunanku.

"Tidak apa-apa," kataku agak gugup.

"Melamun siapa Alan?" Tanya Kinanti langsung menohok tapi sambil tersenyum.

"Iya melamun. Ingat teman waktu SMA dulu."

"Oh ya pasti namanya Kinanti Puspitasari ya. Gadis yang pernah menolak cintamu." Kinanti berkata sambil melirikku dengan tatapan menggoda.

"Tepat!" Kataku sambil tertawa.

"Lalu Alan melamunkan apanya?" Kembali Kinanti bertanya.

"Aku sebenarnya malu kepada diri sendiri kalau ingat peristiwa itu," kataku sedikit agak serius.

"Lho kenapa malu Alan?"

"Kalau saja tahu sebelumnya aku mau ditolak oleh gadis cantik itu, teman SMA ku itu yang sampai sekarang aku masih mengaguminya. Aku pasti tidak akan mengatakan cintaku," kataku polos.

"Oh berarti Alan tidak mencintai gadis teman SMA nya itu!"

"Bukan itu. Maksudnya begini, aku seharusnya waktu itu langsung saja melamarnya menjadi istriku!" Mendengar kata "melamar" kulihat Kinanti tersenyum manis.

"Kalau tetap lamarannya ditolak bagaimana?"

"Tidak apa-apa ditunggu saja sampai lamaranku diterima!"

"Sampai kapan menunggunya?"

"Sampai gadis teman SMA ku itu mau menerima lamaranku!"

"Okey Alan nanti aku sampaikan ya kepada gadis teman SMA mu itu," kata Kinanti sambil tertawa kecil.

Mendengar jawaban Kinanti walaupun dalam bentuk gurauan namun membuatku merasa lega.

Aku seakan kembali memiliki harapan. Inshaa Allah inilah saatnya aku mengutarakan kembali niat tulusku untuk menjadikan Kinanti teman hidupku.

Sore itu kami meninggalkan Taman Safari kembali menuju Surabaya. Setiap Sabtu sore sudah biasa volume kendaraan semakin padat menuju tempat tempat rekreasi di Malang.

Untung saja aku berkendaraan melawan arus yaitu menuju Surabaya jadi relatif lancar sampai tujuan. Sesampai di Gerbang Tol Waru, aku menawarkan Kinanti untuk singgah ke Rumahku di Mananggal.

Kinanti setuju untuk singgah. Ini kedua kalinya Kinanti mengunjungi rumah di Menanggal ini. Aku mempersilakan Kinanti masuk.

"Mau minum teh atau kopi?" Aku menawarkan minuman.

"Teh saja terima kasih!" Jawab Kinanti.

Aku menuju ke belakang meminta Si Mbok untuk membuatkan minuman lalu kembali ke ruang tamu.

"Alan boleh aku bertanya?" kata kinanti.

"Boleh!"

"Aku sudah dua kali ke rumahmu ini tapi tidak ada sebuah fotopun di ruang ini yang kumaksud foto Diana Faria. Maaf Alan aku bertanya seperti ini."

"Tidak apa-apa Kinan. Dulu foto Diana Faria ada di ruang kerjaku tapi sekarang sudah lama aku simpan."

"Alan bolehkah aku berkenalan dengan Diana Faria walaupun hanya melalui foto?" Kata Kinanti sambil memandangku. Aku balik memandangnya lalu mengangguk.

Segera aku bergegas mengambil foto Diana Faria di Box pribadiku yang terkunci rapi. Aku menyerahkan foto itu kepada Kinanti. Sambil memandang foto itu, sejenak Kinanti tertegun.

"Seorang wanita yang cantik. Wajahnya lembut dengan senyum menawan. Iya Daisy Listya mirip dengan Diana Faria. Hanya Diana kulitnya lebih putih. Alan sungguh berbahagia dicintai oleh wanita seperti Diana Faria," kata Kinanti sambil memandang foto itu tak berkedip.

"Ya Kinan terima kasih. Diana Faria sudah ditakdirkan Allah bukan menjadi jodohku walaupun dia mencintaiku. Aku harus ikhlas menerima takdir ini. Sekarang ini aku hanya ingin menunggu takdir Allah yang lain," kataku mulai serius.

Aku masih melihat Kinanti memandangi foto Diana Faria tidak berkedip.

"Hidup ini begitu penuh dengan misteri," kata Kinanti sambil matanya masih memandang foto itu.

Kelihatan mata Kinanti mulai berkaca-kaca. Apa yang dirasakan Kinanti saat ini, tidak ada yang tahu. Kinanti mulai hanyut dalam perasaannya sendiri.

"Alan aku juga sedang menunggu takdir Allah yang lain untukku," kata Kinanti, masih memandang foto Diana Faria.

"Aku seakan bisa merasakan cinta Diana Faria yang sangat tulus kepadamu Alan sama seperti cintanya Daisy Listya," kata Kinanti lagi.

"Andai aku juga mencintaimu Alan namun tidak seperti cintanya Diana Faria dan Daisy Listya," kata Kinanti mulai terisak.

Mendengar ini sungguh aku terkejut dan penuh harap. Perlahan aku pegang kedua tangannya sambil aku tatap tajam wajah Kinanti.

"Kinan cinta seorang hamba Allah tidak bisa disetarakan satu dengan lainnya, karena cinta itu hanya milikNya."

"Aku hanya tidak pantas untukmu Alan!"

"Kinanti pandanglah aku!" Kinanti memandangku dengan air mata yang masih berlinang di pipinya.

"Aku sungguh mencintaimu dan beritikad untuk menjadikanmu istriku, teman hidupku. Apakah kau bersedia?"

"Alan setelah Diana tiada, cintamu itu ada dalam diri Daisy Listya. Dua wanita ini seperti hidup dalam zaman yang berbeda. Aku masih belum pantas," kembali suara Kinanti lirih. Aku memegang tangannya lebih erat lagi.

"Dengar Kinan, mereka sudah menjadi masa laluku. Masa depanku adalah Kinanti Puspitasari. Aku akan menunggumu sampai kau menganggukkan kepala untuk menerima cintaku."

"Alan benarkah kau mencintaiku?" Tanya Kinanti seolah ragu dengan apa yang aku ucapkan.

"Sudahlah Kinanti berhentilah menangis. Aku yakin kau sudah bisa merasakan betapa aku selalu mengharapkanmu menjadi istriku. Kinanti Puspitasari adalah takdirku dariNya." Kataku sambil menghapus air mata dipipinya.

"Kinanti tersenyumlah!" Pintaku sambil aku memandang wajah cantiknya.

Kinanti mulai tersenyum dan aku merasa lega satu himpitan di dadanya sudah lepas. Aku juga sudah merasakan kelegaan suasana hatinya.

"Aku sudah mendapat izin dari Daisy Listya tentu saja juga harus mendapat izin dari Diana Faria," kata Kinanti.

"Kalau begitu sapalah Diana Faria yang ada dalam pangkuanmu. Mintalah izin padanya agar Alan Erlangga diizinkan menjadi suamimu."

Mendengar ini Kinanti tersenyum lalu kembali memandang foto yang ada dalam pangkuannya.

"Alan bantulah aku untuk menghilangkan rasa ragu ini bahwa aku mencintaimu," kata Kinanti.

"Inshaa Allah. Jangan ada lagi keraguan dalam dirimu bahwa kau adalah TakdirNya untukku," kataku memberikan keyakinan kepada Kinanti.

Kami hanya bisa saling bertatapan penuh dengan pancaran cahaya cinta dari mata kami. Maka ruangan itupun sekarang penuh dengan senyum dan kebahagiaan.

@hensa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun