Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan dan sejak 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malayeka, Jin Pesantren yang Cantik

9 Oktober 2020   15:24 Diperbarui: 9 Oktober 2020   16:57 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi Pixabay

Reza tetap tidak percaya ketika aku mengatakan bahwa Malayeka itu cantik. 

Sore itu aku baru saja selesai mengikuti sesi Ilmu Fiqih dan hafalan beberapa Hadits. Berjalan menuju Asrama Santri sambil mengobrol dengan Reza. Hampir dua bulan sudah aku berada di Pesantren Pemulihan Kecanduan Narkoba.

BACA JUGA : Jin di Pesantren Pecandu Narkoba

"Kata Ustad Hakim, Malayeka wajahnya menakutkan." Suara Reza membantah keteranganku. Dia tidak percaya ada Jin berwajah cantik. 

"Aku setiap usai Subuh selalu jumpa dengannya saat Malayeka membaca Al Quran. Dia sangat cantik."Kataku meyakinkan Reza. 

"Aku lebih percaya kepada penjelasan Ustad Hakin." Ujar Reza. 

"Oke Reza, aku juga percaya kepada Beliau. Apalagi Ustad Hakim pembimbing kita. Tapi aku mengalaminya sendiri." Kembali aku berusaha meyakinkan Reza. 

Faktanya, Malayeka setiap bertemu denganku sangat ramah. Wajahnya cantik memiliki sorot mata tajam, indah meneduhkan. Tutur katanya sangat menenteramkan. 

"Hen, baiklah karena aku sendiri belum pernah bertemu dengan Malayeka.Nanti usai Subuh aku ingin ikut denganmu menemuinya."Kata Reza penasaran. 

"Tapi Reza. Sudah sepekan ini aku sudah tidak lagi mendengar alunan Tilawah Al Quran dari Malayeka." 

"Siapa tahu Subuh nanti, Malayeka mengalunkan Tilawah Al Quran di Gedung Tua itu." Kata Reza semakin penasaran ingin bertemu Malayeka. 

"Kamu berani bertemu Malayeka? Kata Ustad Hakim, wajah Malayeka menakutkan," tanyaku. 

"Ya aku hanya ingin tahu saja. Karena kata Ustad Hakim, tidak sembarangan orang bisa ketemu Malayeka."

"Oh begitu?" Reza mangangguk kemudian melanjutkan bicara. "Hen, mangkanya kamu itu punya ilmu yang kamu sendiri tidak menyadari."

"Reza, jangan ngawur. Aku tidak punya ilmu apapun. Kalau aku punya ilmu, mana mungin aku bisa kecanduan obat biadab ini." Kataku sambil tertawa lepas. 

Aku baru tahu dari Reza sahabat baruku di Pesantren itu, bahwa Malayeka adalah mahluk halus yang sering hadir di Masjid Pesantren itu. Tidak semua Santri atau Santriwati mampu memergokinya. 

Menurut penuturan Reza, mereka para pasien kecanduan Narkoba itu jika sudah bertemu Malayeka, umumnya mengalami kesembuhan yang cepat. Aku ingin jujur bahwa hal itu memang benar. Tapi menurutku bukan karena Malayekanya tetapi dari terapi alunan tilawah Al Quran itu dan petuah-petuahnya. 

Petuahnya yang sangat kuat dalam ingatanku adalah : "Peperangan paling berat itu adalah menundukkan diri sendiri." Kalimat yang sangat membara penuh semangat untuk kesembuhanku dari ketergantunganku pada narkoba. 

Usai Subuh itu selesai membaca semua dzikir yang diajarkan di Pesantren ini, aku dan Reza bersepakat untuk menuju Bangunan tua sebelah Barat, dimana biasanya Malayeka membaca Al Quran. 

Kami melangkah menuju ke sana. Ya Tuhan benar saja, suara alunan tilawah Al Quran terdengar sangat damai. 

"Malayeka sedang mengaji Quran. Kamu dengar Reza?"

"Iya!" Jawab Reza sambil tangannya memegang tanganku dengan gemetar. 

Kami menghampiri Malayeka sambil meresapi setiap ayat-ayat Quran yang dibacakannya. Reza memegang tanganku semakin gemetar dengan keringat dingin. 

Selesai mengaji aku memberi salam kepada Malayeka. Dia membalas salamku, menatapku dengan tatapan teduh dan damai dan senyum ramah menghiasi bibirnya. 

Kemudian Malayeka menatap Reza yang semakin gemetar ketakutan. Keringat dingin bercucuran di wajahnya yang semakin pucat. Aku melihat Malayeka tersenyum kepada Reza tapi sahabatku ini tambah ketakutan. Reza akhirnya pingsan menahan rasa takut yang sangat hebat. 

Malayeka sebelum menghilang, dia berpamitan padaku dengan mengucapkan salam dan senyum ramah. 

Hingga saat ini aku masih belum mengerti mengapa Reza pingsan saat bertemu Malayeka. Mungkin benar apa yang dikatakan Ustad Hakim. Tetapi aku tidak pernah membenarkannya.

Esoknya, di Gerbang Pesantren itu Kakek sudah menungguku untuk menyambut kebebasanku. Aku menghampiri Kakek dan memeluknya. Pelukan kemerdekaan dan kemenangan menundukkan diri sendiri. 

Teriring salam untuk Reza dan Malayeka @hensa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun