Mohon tunggu...
Henri Satria Anugrah
Henri Satria Anugrah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten Pengembangan Diri

Membacakan hasil tulisan di channel Youtube bernama Argentum (https://www.youtube.com/c/Argentum-ID/)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konten Sensasional Lebih Viral daripada Edukatif: Mendikbud, Tolonglah SDM Indonesia!

26 Oktober 2019   08:47 Diperbarui: 26 Oktober 2019   08:47 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi viralnya konten sensasional, sumber: tekno.kompas.com

Konten sensasional lebih digemari oleh orang-orang daripada konten edukatif. Hal ini terlihat dari jumlah viewers atau like pada suatu konten, apapun bentuknya (video, gambar, dan audio). 

Memang, konten sensasional bisa menghasilkan hiburan sesaat. Namun, fenomena ini sangat berbahaya bagi perkembangan media sosial dalam jangka panjang.

Pengisi dari media sosial adalah content creator. Setiap hari, mereka membuat konten untuk dipublikasikan pada akun publik (Channel Youtube, akun Instagram, akun Twitter, page Facebook, dll) yang mereka kelola. 

Bahkan, sebagian dari mereka berpenghasilan utama dari menjadi content creator. Lantas, apa dampaknya apabila konten sensasional lebih viral daripada konten edukatif?

Platform penghasil uang di internet mengevaluasi kesuksesan suatu konten secara kuantitatif, bukan kualitatif. Akibatnya, jumlah viewers ialah harga mati. Misalnya, Google Adsense yang membayar blogger/youtuber berdasarkan jumlah yang melihat iklan dan jumlah yang mengklik iklan. 

Kualitas konten? Tidak dinilai sama sekali. Yang penting jumlah viewers banyak, sehingga iklan lebih banyak dilihat orang. Memang, dari sisi penonton konten adalah yang utama, sedangkan iklan hanyalah selingan. Namun dari sisi bisnis, iklan adalah yang utama, sedangkan konten hanyalah selingan. 

Bahkan, Kompasiana pun juga menerapkan sistem yang sama. Untuk memperoleh K-Rewards, diperlukan sebanyak 3000 views setiap bulannya. Tentu, artikel politik akan lebih diuntungkan daripada artikel psikologi seperti saya. 

Bahkan, saya pun pernah "menjual" Rocky Gerung di artikel saya yang berjudul Belajar dari Rocky Gerung Mengenai Seni Memikat Audiens dengan Retorika Logika sehingga mendapat views lebih dari seratus. 

Jika judulnya hanya Seni Memikat Audiens dengan Retorika Logika saja, saya yakin, views 50 sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Apakah Kompasiana berarti buruk? Tidak sama sekali karena sistemnya memang seperti itu. 

Dari mana Kompasiana dan platform-platform lainnya akan mendapatkan keuntungan kalau sistemnya tidak seperti itu? Bagaimana nasib karyawan, bahkan eksistensi dari platform itu sendiri apabila sistem ini tidak diterapkan?

Lantas, Apa Dampaknya Apabila Sistem Kuantitatif Terus Berlanjut?

Tentu, content creator akan berlomba-lomba untuk memperoleh viewers daripada membuat konten itu sendiri. Jika di Kompasiana, dampaknya memang tidak terlalu signifikan. Rp2 juta merupakan hadiah maksimal yang bisa diperoleh dari K-Rewards. 

Jadi, mustahil apabila ada orang yang berpenghasilan utama dari Kompasiana. Pada hakikatnya, Kompasiana adalah platform blog dengan slogan Beyong Blogging, yang artinya lebih dari sekadar platform blog. Jadi, kesenangan untuk menulis artikel jauh lebih penting daripada keuntungan dari artikel yang kita bagikan.

Lain ceritanya yang terjadi di platform lain, misalnya Youtube. Lihatlah sekarang, seluruh trending-nya merupakan konten-konten sensasional, bukan edukatif. 

Urusan rumah tangga keluarga Raffi Ahmad jauh lebih "menarik" daripada konten-konten yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Saya tidak menyalahkan Raffi Ahmad, juga content creator lainnya karena sistemnya memang seperti itu. 

Jika tidak mengikuti sistem, dari mana mereka akan memperoleh uang untuk memberi makan keluarga dan menyekolahkan anak?

Lalu, Apa Solusi dari Fenomena Konten Sensasional Lebih Viral daripada Konten Edukatif

Pendidikan merupakan satu-satunya solusi yang paling efektif. Dengan pendidikan, maka konten-konten sensasional akan tenggelam dengan sendirinya karena penonton bisa memilih sendiri mana konten yang sebaiknya ditonton lebih sering. 

Tentu, solusi ini memerlukan waktu yang sangat lama. Kita hanya bisa berdoa supaya Mendikbud yang baru bisa membuat sistem pendidikan yang membuat seluruh masyarakat Indonesia bisa berpikir kritis. 

Bukan hanya pendidikan berbasis hapalan. Bukan pula Ujian Nasional saja yang memaksa siswa untuk berpikir kritis dengan menerapkan high order thinking skill pada soal-soalnya, sedangkan di sekolah sama sekali tidak diajarkan.

Apakah Konten Sensasional Itu Salah?

Sama sekali tidak. Manusia memanglah makhluk yang bersifat emosional, sehingga secara naluriah, menyenangi konten-konten sensasional. 

Artikel ini mengkritik viralnya konten sensasional, bukan konten sensasional itu sendiri, yang terjadi karena konten sensasional ditonton lebih sering daripada konten edukatif, sehingga "memaksa" content creator untuk membuat konten sensasional. 

Akibatnya, content creator baru lebih termotivasi untuk membuat konten sensasional daripada konten edukatif, sehingga media sosial dipenuhi oleh konten sensasional, tanpa adanya konten edukatif.

Apakah Saya Mengkritik Kompasiana?

Sama sekali tidak. Sebaliknya, saya malah mendukung Kompasiana tetap seperti ini. Jika dari K-Rewards seseorang berpotensi mendapatkan Rp10 juta per bulan, saya yakin konten-konten di Kompasiana akan 100% politik. 

Penulis nonpolitik, apalagi psikologi seperti saya tentu sudah tenggelam dan tidak berada di sini lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun