Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli

Kadet Ngopa-ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Konser Semir Sepatu di Stasiun Kereta

7 Desember 2021   19:05 Diperbarui: 7 Desember 2021   19:09 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kotak bercorak hitam elektronik itu masih terus berteriak-teriak tanpa lelah. Teriak yang bernotasi irama balok-balok nada. Kombinasi ketukan getar-getar menambah bising ramai ruang singgah sementara.

Umpatan bercampur istighfar lepas dari bibir pria lajang berambut gondorng lurus. Mengumam, "Sabar po bro, bro. Iya, iya ini berangkat".

Tangan kanan mulai memasuki celah lubang kaos oblong, diikuti dengan tangan kiri. Kini kedua tangannya menyingkap kaos oblong berwarna abu-abu yang tertera tulisan di atas perutnya "Freedom for you".

Tas punggung diraihnya, apapun yang menjadi isi, ah sudahlah lusuh tak apa. Acara untuk tampil di stasiun tipi berakhir dengan pujian-pujian omong kosong. Yang terpenting penghargaan amplop putih cukup untuk menyambung napas.

Bergegas langkah dengan tas yang menempel di punggung beserta gitar kentrung tercincing di pundak. Dilihatnya dengan wajah jengkel, dia lupa tak membeli alas kaki jepit. Terpaksalah sepatu pantofel kw super bekas acara menjadi pilihan utama.

Lagi-lagi terdengar kotak elektronik berlogo buah apel yang sudah keroak basi berteriak. Dipandanginya tertulis nama sahabat karib, digesernya warna hijau pada layar, "Bro, konser ditunda. Ada kisruh sponsor. Berangkat santai saja. Tiket kereta jangan lupa bro, scan di stasiun".

"Aih, jadi apa diriku ini", gumamnya melihat rupa pada diri berdiri. Dengan kotak elektronik masih di genggaman. Kepala menunduk memandangi tubuh berkostum kaos oblong celana hitam mirip levis pendek sedengkul dengan kaki beralas sepatu pantofel.

"Ah, sudahlah", dengan nada lirih. Segera dia tinggalkan kamar itu, dan bergegas menuju tempat loby untuk check out.

Di luar tak jauh dari gedung berbintang lima bahkan konon katanya akan naik status berbintang tujuh tangan melambai-lambai mobil kijang butut. Sang sopir menghampiri "Bang, stasiun bang".

Sang sopir dengan kode kepala satu kali gelengan. Pria Gondrong itupun menaiki mobil kijang butut. Roda karet hitam berputar menuju stasiun. Sesekali berhenti menampung penumpang rakyat negeri.

Di kursi belakang, saling berbagi tempat duduk. Sorot mata terus saja menatap gedung-gedung pencakar langit. "Oh inikah yang katanya kota metropolis", gumam hatinya. 

"Boss. Stasiun Boss" ujar sang sopir. Dia pun beranjak, "Nyuwun sewu, nyuwun sewu". Seluruh mata memandangi Pria Gondrong itu dengan kerut dahi, dia lupa ini metropolis bukan kota timur asal tanah lahirnya.

"Sepuluh rebu Boss," kata sang sopir menagih tarif. Pria Gondrong itu mengeluarkan amplop salam tempel dari acara tipi, nampak tebal seperti buku kamus Inggris-Indonesia. menariknya diantara lembar-lembar kertas berwarna ungu muda.

Belum beranjak satu langkah, satu penumpang berteriak memanggilnya "Maaasss, Topiiii". Dia pun meraih mirip topi pet Pak Tino Sidin miliknya.

Tak lama, Kijang butut kembali beranjak menunaikan tugas trayek di kota metropolis. Dia pun bergegas menuju stasiun yang sepi itu dan menunjukan scan tiket, petugas terkejut ketika menatap pria gondrong seperti pernah mengenal ribuan tahun "Mas, bu-bukannya?,"

"Stttt," ujar Pria Gondrong itu dengan jari telunjuk tepat menempel pada bibir. Dengan pelan petugas kereta mengeluarkan secarik kertas dan bulpen. Pria gondrong itu menangkap pesan bahwa dia harus tanda tangan.

Kemudian sedikit manja petugas itu dengan gaya centil meminta selfi walau cukup di balik kaca peron. "Terima kasih ya Mas," kata petugas kereta itu. "Beres nih" balasnya. "Yaps. Happy nice day" ujarnya singkat penuh senyum bahagia, tak menyangka bertemu satu seniman fenomenal asal kota timur.

Duduk dan menanti kereta terlambat 2 jam, dia memilih kursi paling pojok dan belakang. Sesekali gitar kentrung dipetik mencari kunci-kunci dari lirik yang ada di benak hatinya.

Sesekali dia memajukan topi Pak Tino Sidin untuk menutup wajah, agar orang yang berjalan di depannya tak lama melirik.

Dia pun masih memainkan senar gitar kentrung dengan geleng-geleng pelan. Tak sengaja sorot mata tertuju pada sesosok bocah cilik (Bocil) berbadan kurus, berkalung tali tampar menjuntai.

Alunan gitar kentrung mendadak terhenti, dia mendekati Bocil. Si Bocil nampak sibuk menyalin lirik lagu indie dari hape samsul ke sebuah buku lusuh di atas kotak bernama "Kilat Sepatu", tak dia hiraukan Pria Gondrong yang mendekat.

"Dik, sibukkah?" tanyanya, "Kagak" jawab Bocil singkat, tanpa memandang Pria Gondrong. "Kotak apa tuh?" tanyanya lagi, "Semir Bang" jawabnya lagi singkat.

"Eh, sepatu Abang ya?" kata Pria Gondrong, "Entar ya Bang, tinggal dikit" ujar Bocil cuek, masih menyalin bait terakhir lirik lagu itu.

Sambil menunggu si Bocil, Pria Gondrong itu memainkan gitar kentrung lirik 'Kami rindu lapangan yang hijau...'. "Eh Bang, itu kan lagu [Bola Raya]. Abang juga suka itu lagu" ujar Bocil, sambil memandangi jari-jari Pria Gondrong yang memainkan senar gitar kentrung dengan fasih.

Dengan senyumnya yang khas, Pria Gondrong menjawab "Nah, jangan lupa sepatu Abang". Sontak tangannya bergegas "Eh, iya. Ikut nyanyi bolehkan, lagian nih sepatu butut, KW pula" ujar Bocil, yang mengenal betul jenis-jenis sepatu pantofel asli dan tiruan.

Tak terasa berdua larut di satu lagu 'Bola Raya' dan satu sisi sepatu selesai disemir. "Nah, coba kasih tau tuh lirik di bukumu. Pilihlah satu lagu, ayo kita tuntaskan malam ini" ujar Pria Gondrong itu.

"Oh, ini Bang ya [Malam Jatuh Di Surabaya]," katanya. "Aih, jangan lupa sepatu Abang. Yang satu sisi belum" ujar Pria Gondrong. "Opss, sori, sori" jawab Bocil yang terlena.

Bernyanyilah berdua. Suara Bocil yang fals, namun pas dengan ketukan lagu, mengundang decak kagum orang yang lalu lalang. Beberapa dari mereka berhenti, diamatinya Pria Gondrong itu.

Sontak terjadi kerumunan, namun lagi-lagi Pria Gondrong itu memberikan kode "Sttt" dengan jari telunjuk tepat menempel pada bibir. Lampu-lampu flash blitz kamera smartphone bermunculan bak kunang-kunang, tak menganggu intimnya suasana.

"Bang" tanya Bocil "Gua rikues lagu [Balada Harian] boleh Bang?," ujarnya. "Hmm" ujar Pria Gondrong lirih "Terakhir".

Jreng, mulai dipetiknya senar gitar kentrung mengalun nada demi nada, larut dengan bait-bait lirik. Malam itu, mereka semua seolah sedang di kota timur itu.

Hingga bait '...Kembalilah kepadaku. Padaku. Padaku. O, padaku' merdu suara Pria Gondrong memecah kesepian. Tepuk tangan rasa haru bercampur jadi satu.

"Oke, wis" ujar Pria Gondrong sambil mengenakan sepatu lalu beranjak dengan posisi jongkok, memegang pundak "Adik, berapa duit nih?" katanya. "Ah sudahlah Bang, free" ujar Bocil keminggrisan. "Berapa saudara?" katanya lagi, "3 Bang, adik dua di rumah sama emak" ujar Bocil, mulai menyadari siapa sosok Pria Gondrong itu.

"Salam, untuk adik-adikmu dan emak" gumamnya dengan bibir merapat manggut-manggut. "Bang, Makasi udah nyamperin Gua" kata Bocil berkaca-kaca.

Pria Gondrong mulai bergegas menuju kereta cepat eksekutip yang telah menjemputnya. Para penonton satu-satu menyalami, malam bahagia konser bersama Bocil si semir sepatu di stasiun kereta pun berakhir.

Bocil menatap melepas kepergian itu. Satu kedipan mata sisi kanan salam perpisahan Pria Gondrong sebelum memasuki pintu gerbong kereta. Tak lama kereta melanjutkan perjalanan.

Dilihatnya gerbong demi gerbong permisi hilang di kegelapan malam. Dia seorang diri berdiri masih tak percaya perjumpaannya dengan musisi fenomenal itu. Napas pelan lepas dari bibirnya.

Dia mulai merapikan sikat dan semir sepatu kiwi, satu-persatu dia kumpulkan. Tangan kanannya membuka kotak semir terkaget dia melihat isi.

Dibuka amplop putih itu, dilihat tebal seperti buku kamus Inggris-Indonesia puluhan ribu di dalam. Segera dia menutupnya, dengan memanggul dia pun berlari mengejar gerbong kereta yang hanya menyisakan kenangan di kegelapan malam dan berteriak kencang "Bang, Makasi Bang, MAKASI BANG" teriaknya lebih kencang.

Teriak Bocil itu seperti mengirim modulasi frekuensi ke benak hati Pria Gondrong hingga dia tertidur pulas melepas lelah, tuntas sudah tugas hari ini dari Sang Maha Pencipta. Semakin kencang kereta berjalan, menyisakan suara. Gejes...gejes...gejes...gejes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun