Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Dua Hal Penyebab Orang Takut Mati

19 Maret 2019   05:20 Diperbarui: 19 Maret 2019   19:22 3581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar:rthodoxcityhermit

Salah satu bagian dari pekerjaan saya adalah mendampingi orang-orang yang tengah sakit, khususnya mereka yang tengah kritis.

Tugas saya adalah menyiapkan mereka bila saja sakit itu adalah jalan atau cara mereka kembali kepada Sang Pencipta. Tak ada yang tahu pastinya. Namun, sebagai hamba-Nya, saya mengemban tugas untuk menyiapkan hati dan pikiran mereka menghadapi kematian.

Atau, walaupun secara medis mereka "tervonis" tak mungkin sembuh, tetapi bila Penciptanya menetapkan itu bukan waktu baginya untuk pulang kepada-Nya sehingga ternyata ia sembuh, maka mereka pun telah tahu harus bagaimana melanjutkan hidup mereka pada kesempatan kedua yang diberikan Tuhan.

Ada banyak hal yang menyebabkan orang takut mati atau belum siap mati. Dari semua itu, berdasarkan pengalaman, saya menemukan dua hal yang paling dominan atau yang seringkali menjadi kecemasan seseorang akan kematian.

1. Neraka

Tentu saja ini terkait dengan dosa. Ya, dosa bagaikan rel kereta yang akan membawa manusia menuju kota Api Abadi. Umumnya, bila maut seolah sudah di depan mata, maka barulah manusia menjadi sadar akan hal ini. Sadar akan dosa.

Kesadaran akan dosa inilah yang kemudian menimbulkan ketakutan yang teramat sangat akan bayang-bayang kematian, seakan tahu akan masuk neraka.

Akan tetapi, bila belum tiba pada kondisi itu, yakni sebelum maut mengancam, manusia cenderung lebih melihat apa yang benar pada diri daripada apa yang salah. Ketika keadaan baik-baik saja, cermin diri tidaklah dianggap penting.

Oleh sebab itu, janganlah heran bila manusia masih angkuh akan dirinya. Mereka hanya belum merasakan bagaimana rasanya di ambang maut.

Ketika maut serasa sudah dekat, barulah pada saat itu salah diri semua terlihat jelas. Semua kehebatan dan pembenaran diri menjadi tidak ada artinya daripada hidup itu sendiri. Orang akan siap kehilangan apa pun asal masih bisa hidup.

Pentingnya pertobatan baru disadari. Pada saat itu, ucapan doa yang seringkali disampaikan kepada Tuhan adalah meminta Tuhan memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. 

Sebagai pribadi yang sering berhadapan dengan ketakutan akan kematian dari orang-orang yang dalam doanya memohon pengasihan Tuhan untuk diberi kesempatan lagi, maka ijinkan saya, pada kesempatan ini membagikan catatan, bahwa apa pun jenis keberhasilan di dunia ini, semua itu tidak ada artinya apa-apa tatkala maut telah di depan mata.

Bahkan, maaf, sekalipun Anda memiliki titel berlapis tujuh, atau Anda tercatat sebagai orang terkaya di alam semesta ini, atau Anda disebutkan sebagai orang paling luar biasa hebat di antara semua manusia sejagad raya, tetapi kala maut di depan mata, semua itu tidak ada artinya apa-apa!

Sebab, pada detik-detik menakutkan itu, diri tidak lagi melihat kehebatan diri, tetapi kelakuan diri, tabiat diri, karakter, cara hidup, gaya hidup, ucapan dan perbuatan.

Oleh sebab itu, karena belum merasakan bagaimana memohon belas kasihan Tuhan untuk kiranya tidak mencabut nyawa dari raga, baiklah kita, yang masih sehat dan kuat, tidak hanya mengejar menjadi orang hebat di dunia, tetapi pula mengejar bagaimana menjadi manusia terhadap manusia dan bagaimana menjadi manusia terhadap Tuhan.

2. Anak

Hal kedua yang seringkali membuat orang tidak siap mati adalah memikirkan anggota keluarganya yang akan ditinggalkan.

Yang paling berat umumnya adalah anak, khususnya anak yang masih kecil. "Saya belum siap, Bu, anak-anak saya masih kecil". Pernyataan seperti itu sangat sering saya dengar.

Memikirkan mereka yang ditinggalkan adalah wujud kasih yang dimiliki terhadap mereka, khususnya anak. Semua orangtua akan merasakan hal yang sama. Akan tetapi, pandangan ini bisa berbahaya bagi diri sendiri.

Pandangan ini akhirnya memandang Tuhan salah. Pertama: Seolah Tuhan tidak pikir! Mengapa Tuhan hendak mengambil diri sementara anak-anak masih kecil?

Pertanyaan ini sebenarnya adalah sebuah pernyataan, bahwa Tuhan tidak memikirkan anak-anak yang masih kecil. Atau, kalau dibuat lagi menjadi kalimat bertanya, maka menjadi: "Apa Tuhan tidak pikir anak-anak masih kecil?"

Dengan pandangan itu, secara tidak langsung, pada saat yang sama kita membuat diri kita, yang hanya manusia ini, seakan lebih tahu daripada Tuhan, bahkan seolah kita lebih tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik daripada Dia.

Tanpa sadar, pada saat yang sama kita menuding Tuhan tidak pakai otak. Asal bertindak tanpa pikir. Seolah Tuhan tidak tahu kalau anak-anak masih kecil dan masih bergantung sepenuhnya kepada kita.

Sungguh, adalah suatu bahaya yang tidak disadari adalah ketika manusia menganggap diri lebih tahu dari Penciptanya apalagi lebih tahu apa yang baik dan apa yang jahat.

Kedua: Seolah Tuhan tidak punya perasaan! Mengapa Tuhan membiarkan anak-anak itu tanpa ayah atau/dan ibu lagi? Dengan pandangan ini, secara tidak langsung, pada saat yang sama, kita mengecam Tuhan seolah Tuhan tidak punya perasaan.

Bagaimana mungkin? Sementara anak-anak itu Dia-lah yang berikan. Dia yang ciptakan. Kalau kita saja manusia yang tahu berbuat jahat bisa punya rasa kasihan kepada anak-anak yang masih kecil apalagi Tuhan!

Kasih yang kita punyai hanya secuil dari kasih yang Ia punyai. Kasih-Nya sempurna. Kebaikan yang kita punyai tidak ada apa-apanya dari kesempurnaan kebaikan yang ada pada-Nya.

Kalau kita saja manusia bisa mikir bagaimana anak-anak apalagi Tuhan. Apakah Tuhan tidak tahu anak-anak tidak ada ayah atau ibunya lagi? Manusia saja tahu itu apalagi Dia.

Jika Tuhan mengambil kita dari anak-anak, itu berarti Ia telah memikirkan apa yang Ia akan kerjakan selanjutnya untuk anak-anak kita. Tuhan punya cara untuk menyediakan orang-orang yang akan mengasihi anak-anak kita.

Iman itulah yang harus dipunyai oleh semua orangtua. Dengan demikian, orangtua tidak menaruh harap semata-mata pada manusia, tetapi pertama-tama dan terutama kepada Tuhan.

Tuhan-lah yang menciptakan anak-anak menjadi pemberian-Nya untuk kita sehingga menjadikan kita adalah orangtua mereka.

Tanpa Tuhan memberikan mereka kepada kita, kita tidak akan pernah disebut orangtua. Tanpa Tuhan menganugerahkan anak-anak kepada kita, maka kita hanya akan menjadi orang tua tetapi bukan orangtua.

Berat? Ya, paham, sebab kasih orangtua kepada anak bisa melampaui kasih terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi, ada hal mendasar yang harus pula kita insafi, bahwa kita bukan pemilik dan penguasa yang sesungguhnya atas anak-anak kita.

Kita hanya pribadi-pribadi yang dipercayakan Tuhan untuk menjadi orangtua bagi manusia-manusia yang diciptakan-Nya. Pemilik anak-anak kita adalah Tuhan itu sendiri.

Tak hanya anak-anak, orangtua, saudara, istri, suami, kekasih, dan lainnya, bahkan semua hal yang disebutkan adalah milik kita di dunia ini adalah milik Tuhan. Jangankan semua itu, bahkan diri kita sendiri pun bukan milik kita, tetapi milik Dia.

Sekalipun sangat berat, kita tetap harus belajar ikhlas. Tanpa itu kita hanya akan jadi pemberontak.

Penting untuk orangtua memercayakan hidup dan nasib anak-anaknya kepada Tuhan, maka Tuhan akan membuktikan, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya tidak akan kecewa.

Waktu kematian setiap kita tak ada yang tahu. Tak selalu menunggu sakit untuk berpulang kepada-Nya. Tiba-tiba saja kita bisa sudah tidak ada lagi. Semoga ada yang dapat dipetik dari catatan ini.

Salam. HEP.-

Artikel Terkait: Begini Rasanya Roh Dicabut dari Raga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun