"Kita harus rapat!"
Ada apa?
Telunjuk :Â Akulah yang dipakai guru menjadikan manusia makhluk pintar, tahu ini dan itu. Aku yang menunjukkan ini 'a', ini 'b'. Ini benar, itu salah. Ini kanan, itu kiri. Jawabannya bukan itu, tapi ini.
Namun, lihat! Di mana-mana "suka" itu Jempol. "Hebat, top, mantap, jago", semuanya Jempol. Harusnya aku! Sebab akulah yang menunjuk baik, buruk, benar, salah, ini, itu, dan sebagainya!
Jempol :Â Ya, kamu yang membuat manusia menjadi tahu segalanya, tetapi kamu juga yang membuat manusia tidak tahu akan dirinya sendiri. Menunjuk orang lain, enggan menunjuk diri sendiri.
Kamu yang membuat manusia itu pintar bahkan terlalu pintar hingga tidak tahu apa itu bodoh. Dengan mata jasmani mereka melihat, tetapi dengan mata hati mereka membuta.
Bagaimana mungkin kamu menuntut untuk dipuji, bila kamu yang menunjuk yang baik, tetapi kamu pula yang merusak yang baik itu?!
Tengah :Â Hei, sudahlah! Buka mata kalian! Aku yang paling tinggi di antara kalian semua. Itu fakta!
Diakui atau tidak, dipuji atau tidak, tetap saja akulah yang paling tinggi. Kalian tidak lebih tinggi dariku. Oleh sebab itu aku santai-santai saja.
Telunjuk :Â Ya, kamu paling tinggi. Oleh sebab itu kamu tidak mau merendah. Kamu tidak perduli orang lain, tidak perduli apa pun. Kamu hanya ada untuk dirimu sendiri dan kepentinganmu sendiri.
Tak heran pada abad ke-4 filsuf Diogenes sudah menggunakan kamu. Ia mengacungkan jari tengahnya ke arah politisi Demotheses sebagai tanda celaan.
Mengacungkan jari tengah itu sebagai simbol kemaluan laki-laki. Tanda penghinaan, bahwa untuk apa kamu menganggap dirimu tinggi kalau kamu tidak bisa menjaga martabatmu sendiri?
Manis :Â Tidak usah heran terhadap Tengah. Ia hanya mencintai dirinya sendiri. Tidak seperti aku. Padaku disematkan tanda cinta manusia. Oleh karena itu aku disebut "manis", sebab cinta itu manis.
Ayo, mana, tunjukkan diri kalian, apakah ada tanda cinta disematkan pada kalian? Tidak. Aku. Manis. Akulah yang memiliki tanda cinta itu.
Telunjuk :Â Helloooo! Tidak sadarkah dirimu bahwa kamu itu hanya simbol, hah?! Sekali lagi, sim-bol.
Ingat, cinta itu bukan simbol. Cinta itu nyata dalam ucap dan laku. Jangan bangga kamu dengan tanda ikatan cinta yang hanya benda mati itu! Tuh, lihat, rumpun jari manis penuh dengan simbol cinta, tetapi apakah mereka melakukan cinta itu dengan benar?
Banyak manusia bicara cinta tapi mereka tidak hidup dalam cinta. Manusia mengagungkan cinta namun manusia pula yang merusak cinta kala cinta hanyalah kata dan simbol belaka!
Kelingking :Â Ups!
Telunjuk :Â Dan kau, Kelingking! Dari tadi aku memerhatikan kamu hanya mengorek-ngorek kuping! Kita sedang membahas hal yang serius! Fokus!
Kelingking :Â Bagaimana bisa fokus bila tidak mendengar?
Manusia juga harus mendengar untuk bisa tahu dan mengerti. Bicara apa pun kalau tidak mau didengar, apa gunanya?
Oleh sebab itu, aku mengorek kuping manusia, supaya manusia jernih mendengar, mau mendengar dan saling mendengar.
Jika tidak, jadinya seperti kalian ini. Hanya mau didengar. Berdebat tak berujung karena keakuan dan pembenaran diri sendiri.
Apakah kalian lupa, saat kita masih kecil, perselisihan manusia diakhiri dengan kelingking bertaut?
Bayangkanlah jika tak ada damai. Manusia terus berselisih bahkan berperang dan berperang hingga semua manusia habis di tangan sesamanya manusia.
Banyak negara yang tidak kunjung menjadi maju, karena hilangnya perdamaian. Apa yang bisa dibangun dari peperangan dan perpecahan?
Kita bersyukur, kita masih berdamai. Perdamaian yang bukan sekadar kata cinta apalagi simbol belaka melainkan sikap hati dan tindakan nyata.
Itulah yang harus kita jaga, yakni kita tetap saling mendengar, saling menerima, dan saling menghargai perbedaan.
Tengah :Â Ah, bicara apa kau! Kecil begitu! Tahu apa kamu tentang kehidupan?!
Kelingking :Â Kecil? Apakah karena aku kecil, maka kalian menganggap aku tidak ada artinya bagi hidup manusia?
Baik, sekarang potonglah aku. Buanglah aku yang kecil ini dari kalian, kalau kalian menganggap tanpa aku kalian kuat.
Laurie Rogers :Â Jangan!!
Laurie Rogers adalah seorang ahli terapi okupasi, yang merupakan ahli terapi tangan National Rehabilitation Hospital Washington menyatakan hasil penelitiannya bahwa tanpa jari kelingking manusia akan kehilangan 50% kekuatan tangannya. - The New York Times.
**
Terkadang manusia menganggap apa yang terlihat kecil itu tidak punya arti. Manusia mengira tanpa yang kecil, ia kuat. Namun ternyata, tanpa yang kecil, manusia akan kehilangan separuh kekuatannya.Â
Kelingking perdamaian dan kekuatan itu mengingatkan kita bahwa hanya dengan saling mendengar, saling menerima, dan saling menghargai, maka perdamaian itu dapat terwujud.
Kekuatan kita penuh karena kita tetap bersama dan bersatu. Kekuatan kita adalah perdamaian.
Salam. HEP.-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI