Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Pak Giri Lumakto yang "#SayaMenyesal" setelah Beliau mendapati pernyataan "Pake Bahasa Inggris, Biar Superior...".Â
Saya memiliki situs Blogspot, namanya HEP, yang saya kelola sejak Mei 2010. Secara khusus blog itu saya peruntukkan untuk umat Kristen sebab isinya fokus pada hal-hal Kristiani. Singkatnya, HEP adalah blog rohani Kristen.Â
Pemilik situs atau orang yang mengendalikan situs disebut Webmaster atau Administrator situs. Webmaster memiliki kendali penuh terhadap situsnya dan memiliki akses yang luas terhadap tool situsnya, termasuk dapat mengetahui hal-hal di balik layar tulisan dari  Webmaster Tool dan Google Analytics.
Blog itu sendiri punya data statistik termasuk data pemirsa atau pengunjung atau pembaca. Sebagian seperti tangkapan layar di blog HEP di bawah ini:Â
Untuk mengetahui lebih detailnya, Google Analytics-lah tempatnya di mana bahasa pengunjung pun dilaporkan di situ.
Pertama kali mengetahui hasil analisis itu, timbul di pikiran untuk menulis artikel dalam bahasa Inggris. Pikir saya, itu akan memudahkan orang-orang asing mengerti apa yang saya tulis.
Walau Bahasa Inggris saya ala kadarnya, tapi jika niat, pasti banyak cara untuk membuat tulisan itu bisa tayang dengan tidak sangat memalukan. Awalnya berpikir begitu.
Namun, saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri saya dan saya pula yang menjawab - tidak ada kerjaan:
- Siapa yang saya inginkan menjadi sasaran utama pembaca tulisan saya? Yang saya utamakan, tentu saja, adalah saudara-saudara Kristiani di Indonesia.
- Apakah mereka semua berpendidikan tinggi dan melek Bahasa Inggris? Tentu tidak.
- Lalu, bahasa apa yang dapat dimengerti semua kalangan bahkan dari berbagai suku di Indonesia? Bahasa Indonesia. Ya, gunakan Bahasa Indonesia.
- Namun, bagaimana dengan pembaca berbahasa asing? Ada Google Translate di blog saya. Mereka fungsikanlah itu.
- Kalau orang Indonesia tak paham bahasa Inggris hendak membaca tulisan mereka harus memakai alat bantu terjemahan, mengapa mereka harus dikhususkan?
- Kalau kita diharuskan menghargai bahasa mereka, mengapa mereka tidak diajar untuk juga menghargai bahasa kita?
- Dan, siapa lagi yang menghargai Bahasa Indonesia, kalau bukan kita sendiri, Warga Negara Indonesia, bila semua sudah di-Bahasa Inggris-kan?Â
Benar juga, pikirku sendiri.
Saya suka membuat pertanyaan untuk diri sendiri bahkan untuk tulisan-tulisan sendiri. Senang saja melakukannya, seperti main catur berpikir sebelum bertindak. Sudah berpikir masih juga bisa salah langkah apalagi tidak.
Lihat:Â Taktik Hidup Ala Catur
Dan lihat, saya menemukan fakta ini:
Oya, "Anonim" sudah saya cek sumbernya, asli, bukan akun palsu, sebab bukan tidak ada yang menggunakan akun tidak jelas di dunia blogger.
Anonim itu bisa muncul karena ketika itu setting-an untuk pembaca blog masih saya pilih "semua orang" sehingga pengguna tidak terdaftar di Google pun dapat masuk berkomentar, yang secara otomatis foto dan nama dirinya tidak termuat.
Satu lagi, yakni ada yang mengritik Bahasa Inggris dalam tulisan itu:
Maka, bertambahlah kepastian saya tidak menulis dalam Bahasa Inggris di blog itu, karena pada faktanya Structure and Written saya rendah nilainya dari yang lain pada tes TOEFL
Bicara dan menulis itu berbeda. Banyak orang fasih bercakap Bahasa Inggris, juga bisa membaca tulisan, tapi kalau disuruh menulis bisa stres.
Tak beda dengan bahasa Indonesia. Hari-hari kita berbahasa Indonesia, tapi tata bahasa kita bisa berantakan kalau harus mengikuti aneka aturan Bahasa Indonesia. Demikian halnya dengan Bahasa Inggris. Menulis dalam bahasa Inggris harus mengerti dan cermat akan paramasastra Bahasa Inggris.
Jangan parah ingin dipandang bisa membuat tulisan Bahasa Inggris padahal dari hasil Google Translate. Hindari hal itu. Google Translate lebih kepada terjemahan saja. Apa arti kata atau kalimat. Akan ketahuan kalau itu hanya hasil mesin penerjemah.
Jadi, kalau tidak tahu-tahu amat, lebih baik tidak usah. Apalagi Jaman Now ini, tulisan kita bisa dibaca dari mana saja. Ntar orang baca sambil senyum-senyum atau langsung kritik.
Kalau Pak Giri Lumakto yang dikritik bisa ia balik kuliahin si kritikus. Nah, kalau saya? Jadi, sudahlah. Saya menulis pakai bahasa Indonesia saja. Lagian untuk Bahasa Inggris ada ruang dan konteksnya.
Saya sangat bersyukur pernah menjadi anak didik Alm. Dr. Nazarius Rumpak di bangku kuliah. Yang beliau tanamkan adalah setinggi apapun pendidikan kita, usahakanlah menggunakan bahasa yang sederhana, karena tujuan yang harus dicapai adalah DIMENGERTI. Hal ini memang terkait dengan pekerjaan kami.
Pekerjaan saya membutuhkan orang mengerti apa yang saya sampaikan. Itu terbawa dalam penulisan saya. Mungkin sahabat Kompasianer sudah bisa melihat itu di seluruh artikel saya di sini. Buku-buku saya pun bahasanya sederhana. Saya sudah terbiasa dengan itu. Kalau itu kekurangan, itulah saya.
Nyaris saya tidak pernah menggunakan yang orang bilang "bahasa tinggi". Sebab, saya membaca dan saya bicara itu berbeda.
Ketika saya membaca, saya yang harus mengerti. Namun, ketika saya bicara, orang harus mengerti.
Jadi, sudahlah! Saya Bahasa Indonesia saja.
Salam. HEP.-