Mohon tunggu...
Hendy Mustiko Aji
Hendy Mustiko Aji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Universitas Islam Indonesia

Dosen di Universitas Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Diterima Kerja karena Sudah Menikah adalah Sebuah Diskriminasi

26 Oktober 2017   05:14 Diperbarui: 26 Oktober 2017   09:44 16366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, sumber: https://blog.udemy.com/

Saya memiliki pengalaman cukup berkesan ketika melamar perkerjaan dahulu kala. Pengalaman ini berkaitan dengan status saya yang sudah menikah. Tulisan ini dibuat untuk memberikan saran kepada pihak perusahaan dan inspirasi kepada anak muda untuk tidak ragu menikah muda. 

Dulu sekitar tahun 2012-an saya pernah diwawancara oleh seorang HRD sebuah perusahaan ketika melamar kerja. Interviewer saat itu bertanya kepada saya setelah membaca informasi dalam CV saya bahwa saya sudah menikah dan memiliki satu orang anak. Padahal usia saya saat melamar kerja baru sekitar 22 tahun. Beliau ingin mengonfirmasi apakah informasi yang dituliskan dalam CV sudah benar. Saya pun mengkonfirmasinya tanpa ragu dan malu. 

Setelah itu saya berikan beberapa jawaban prinsipil dan alasan logis kepada interviewer di balik keputusan saya karena sudah menikah dan memiliki seorang anak saat itu. Tanpa ragu saya katakan bahwa alasan saya menikah muda adalah karena tidak mau pacaran (lagi). Itu adalah jawaban prinsipil saya. 

Prinsipil maksudnya berkaitan dengan prinsip hidup. Jika membawa prinsip hidup, pasti selalu melibatkan keyakinan keagamaan. Saya meyakini bahwa agama saya melarang pacaran sebelum menikah. Saya juga meyakini adanya pahala dan berkah ketika melakukan dan/atau meninggalkan sesuatu karena alasan agama. 

Namun, saya paham sekali jawaban prinsipil tidak akan banyak membantu. Kebanyakan orang ketika diberikan jawaban prinsipil seperti itu akan langsung berpikiran negatif dan men-judge ekstrim kepada pelakunya. Untuk mencegah hal tersebut saya kemudian memberikan jawaban logis. Saya katakan kepada interviewer bahwa anak muda yang sudah menikah memiliki empat keunggulan kompetitif dibanding anak muda yang belum menikah:

  1. Lebih bertanggung jawab, karena mereka sudah dibebankan tanggung jawab kepada anak dan istrinya. Anak muda yang belum menikah masih tidak memiliki tanggung jawab kepada anak dan istri. Logikanya, besar kemungkinan orang yang bertanggung jawab kepada anak dan istri akan bertanggung jawab juga kepada pekerjaannya. 
  2. Lebih peduli, karena mereka harus perduli kepada anak dan istrinya. Tingkat dan kualitas kepedulian kepada anak dan istri jelas lebih tinggi daripada kepada pacar. Keluarga sudah pasti bermakna segalanya. Dengan demikian, logikanya, orang yang memiliki kualitas kepedulian yang lebih kepada keluarganya besar kemungkinan juga akan perduli kepada pekerjaannya. 
  3. Lebih loyal, karena untuk resign dan berganti-ganti perusahaan mereka akan berpikir dua kali karena faktor kepedulian kepada anak dan istrinya. Dengan demikian, logikanya, anak muda yang sudah menikah akan relatif lebih loyal dibanding anak muda yang belum menikah kepada pekerjaan (perusahaan). 
  4. Lebih dewasa, karena sikap dan sifat dewasa dibutuhkan seorang ayah atau ibu. Orang yang sudah menikah asumsinya relatif lebih dewasa dibanding orang yang belum menikah. Dengan demikian, orang yang lebih dewasa akan meng-handle pekerjaannya dengan lebih dewasa pula. 

Lifeby.com
Lifeby.com
Tentu jawaban logis di atas tidak bisa digeneralisasi kepada semua orang yang sudah menikah. Namun, paling tidak jawaban di atas sudah sesuai dengan logika dan asumsi dasar. Faktanya, setelah memberikan jawaban prinsipil dan logis di atas saya lolos ke tahap selanjutnya untuk interview dengan direksi. Hanya saya seorang di antara beberapa kandidat saat itu. Ini menunjukkan interviewer saat itu dapat mencerna secara logis jawaban yang saya berikan.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak perusahaan saat ini mensyaratkan status "belum menikah" kepada pelamar kerja. Persyaratan seperti itu sangat subjektif dan diskriminatif serta tidak logis. Jika perusahaan beralasan bahwa syarat tersebut diberikan karena asumsi orang yang sudah menikah tidak lebih produktif dibanding yang belum menikah, maka logikanya seharusnya seluruh karyawan di dalam perusahaan tidak boleh menikah karena dapat mengurangi produktivitas. 

Kemudian, jika perusahaan beralasan bahwa dengan memperkerjakan orang yang sudah menikah akan menambah beban keuangan karena harus membayar tunjangan anak-istri, maka seharusnya hal tersebut bisa dinegosiasikan/dikomunikasikan saat wawancara. Saya yakin pelamar yang sudah menikah tidak akan keberatan jika tidak/belum mendapatkan tunjangan anak-istri pada awal karier, karena kembali ke jawaban logis di atas bahwa asumsinya orang yang sudah menikah relatif lebih bertanggung jawab, peduli, dewasa dan loyal. Mereka ingin mendapatkan pekerjaan hanya untuk menafkahi anak dan istri, bukan untuk pamer gaji!

Selanjutnya, jika perusahaan beralasan bahwa akan sulit memberikan tugas yang bersifat mobile (keluar kota/keluar negeri) untuk mereka yang sudah menikah, maka seharusnya mereka berkaca pada fakta. Faktanya, banyak sekali orang yang sudah berkeluarga namun pekerjaannya mobile. Hal tersebut menunjukkan bahwa menikah atau berkeluarga tidak menjadi masalah untuk bekerja mobile. 

Dengan demikian, tulisan ini menyimpulkan bahwa persyaratan status belum menikah kepada pelamar kerja adalah satu bentuk diskriminasi kerja yang tidak relevan dan tidak logis untuk diterapkan. Status "sudah menikah" tidak berkaitan langsung dengan produktivitas pekerjaan seseorang. 

Produktif atau tidaknya seorang karyawan dapat disebabkan oleh motivasi yang kurang (baik intrinsik atau ekstrinsik), tim yang tidak kooperatif, atau mungkin suasana tempat kerja yang tidak kondusif. Semoga tulisan ini menjadi pertimbangan HRD perusahaan dalam merekrut karyawan dan menjadi inspirasi bagi para anak muda untuk tidak takut menikah muda demi menghindari perilaku seks bebas. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun