Janji Hijau yang Setengah Matang
Rencana pamong negara memperluas penggunaan campuran ethanol dalam bahan bakar tampak seperti langkah hijau yang progresif. Katanya demi menekan impor BBM dan menurunkan emisi karbon. Ide yang tampak cemerlang---sampai orang mulai bertanya: apakah masyarakat sudah siap, atau ini sekadar proyek hijau di atas kertas?
Indonesia memang harus bergerak menuju energi bersih. Tidak ada perdebatan soal itu. Tetapi dalam setiap transisi energi, yang menentukan bukan semangat pejabat, melainkan kesiapan sistem dan hak masyarakat untuk memilih. Di sinilah logika kebijakan sering kehilangan arah: perubahan yang seharusnya bertumpu pada kesadaran publik justru dipaksakan lewat aturan top-down.
Belajar dari Negara Lain
Bahan bakar bercampur ethanol (E5 hingga E10) bukan hal baru. Banyak negara sudah menggunakannya. Bedanya, di sana masyarakat diberi pilihan.
Di SPBU Brasil, Thailand, dan Amerika Serikat, konsumen bebas memilih: bensin murni, campuran ethanol ringan, atau tinggi. Pasar yang memutuskan mana yang lebih efisien dan sesuai kendaraan. Pamong negara hanya mengatur standar dan pajak, bukan memaksa semua kendaraan menelan ethanol tanpa kompromi.
Masalahnya, tidak semua kendaraan di Indonesia siap dengan campuran ethanol. Sebagian besar motor dan mobil lama masih memiliki komponen karet dan logam yang mudah korosi. Konsumen yang salah isi tangki bisa menanggung risiko mesin kasar, konsumsi boros, bahkan kerusakan. Apakah pamong negara siap mengganti semua itu? Atau publik yang akan diminta menanggung konsekuensinya atas nama "energi hijau"?
Kebebasan di SPBU
Kalau pamong negara yakin ethanol adalah masa depan, biarkan keyakinan itu diuji di pasar.
Pertamina boleh menjadi pelopor menyediakan campuran ethanol, tapi SPBU swasta sebaiknya diberi ruang menentukan sendiri: apakah menjual bahan bakar ethanol atau non-ethanol. Masyarakat pun bisa memilih berdasarkan harga, performa, dan keyakinan.
Bukankah kebebasan memilih adalah esensi dari ekonomi pasar yang katanya kita junjung tinggi? Pendekatan berbasis pilihan ini jauh lebih masuk akal ketimbang pemaksaan administratif. Pamong negara tidak perlu menguras energi menjelaskan kenapa mesin mogok setelah kebijakan baru diterapkan. Publik pun tidak merasa jadi kelinci percobaan kebijakan yang belum matang.
Saatnya Bicara Pajak Karbon
Kalau tujuan utamanya memang mengurangi emisi karbon, mengapa tidak memakai instrumen yang sudah lebih dulu disiapkan: pajak karbon?
Sejak Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disahkan tahun 2021, pamong negara sebenarnya sudah memiliki dasar hukum untuk mengenakan pajak tambahan pada aktivitas beremisi tinggi, termasuk bahan bakar fosil. Namun sampai kini implementasinya belum berjalan penuh. Padahal, di situlah peluang cerdas itu berada.