Mohon tunggu...
Jendry Kremilo
Jendry Kremilo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Sanata Dharma

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mutualisme Korupsi dan Urgensitas Peran Mahasiswa

23 April 2022   08:36 Diperbarui: 25 April 2022   18:57 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prolog
Diskursus perihal praktik korupsi sangatlah lumrah dalam konteks peradaban bangsa Indonesia sejak masa Orde Lama hingga era reformasi sekarang ini. Betapa tidak, korupsi tidak hanya terjadi di pemerintah pusat tetapi kian menggurita sampai ke pemerintah daerah. Ide otonomi daerah dan sistem desentralisasi politik yang berintensi untuk menghindari pemerintahan yang otoriter dan korup mengalami kegagalan karena sistem tersebut justru mendesentralisasikan wabah korupsi.

 Berbagai macam upaya pemberantasan korupsi belum menimbulkan efek jera bagi para koruptor.
Skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia menunjukkan penurunan dari angka 40 pada 2019 menjadi 37 pada tahun 2020.  Meskipun demikian, penurunan tersebut bukanlah pencapaian yang luar biasa, mengingat masih maraknya perilaku koruptif terutama selama masa pandemi COVID-19. Sebut saja, kasus korupsi dana bantuan sosial COVID-19 oleh Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara. 

Di tengah kemerosotan dan kelumpuhan ekonomi, masih ada pejabat publik yang melakukan praktik suap-menyuap.
Bukan tidak mungkin, praktik korupsi menghambat pencapaian visi Indonesia 2045. Praktik korupsi mencederai upaya kolektif bangsa Indonesia dalam mencapai Indonesia yang maju, adil, makmur, dan berdaulat 100 tahun mendatang. Cita-cita emas bangsa Indonesia menjadi buyar akibat perilaku tak senonoh dari pejabat publik terutama di era new normal sekarang ini. 

Namun, jika menelisik kasus korupsi yang lazim terjadi di Indonesia, keserakahan dan kerakusan bukan lagi menjadi penyebabnya. Penyebab utamanyanya adalah relasi kuasa antara elite politik dengan para pemodal yang mengonstruksi hubungan predatoris. Esai sederhana ini ingin menyoal tentang korupsi akibat relasi kuasa dan peran mahasiswa dalam menghadapi problematika korupsi di Indonesia.

Relasi Kuasa sebagai Akar Budaya Korupsi: Menelisik pada Tingkat Lokal
Desentralisasi kekuasaan adalah salah satu produk reformasi pasca Orde Baru yang memberikan kemandirian kepada setiap daerah untuk mengurus sendiri otonomi daerahnya. Namun, lokalisasi kekuasaan tersebut justru mendesentralisasikan malpraktik kepada daerah-daerah otonom, tidak terkecuali praktik korupsi. Era Soeharto yang santer dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih mengakar kuat dalam pemerintahan era reformasi, terutama pada lini pemerintahan lokal. 

Korupsi pada tingkat lokal sebenarnya membuktikan kegagalan sistem desentralisasi.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2020 menunjukkan sebanyak 21 gubernur serta 122 bupati dan wali kota yang telah terdakwa. Selain itu, survei lembaga antirasuah tersebut pada tahun 2018 menyodorkan bahwa terdapat 82,3 persen dari calon kepala daerah memiliki donatur untuk pendanaan pilkada.  Menurut KPK, hal tersebut menimbulkan pretensi para sponsor tersebut untuk mendapatkan kemudahan perizinan menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnisnya. Contohnya yaitu kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang menerbitkan izin kepada PT Anugerah Harisma Barakah ("PT AHB") yaitu Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT AHB. Total kerugian negara dalam kasus ini mencapai 4,3 trilyun atau setidaknya sebesar 1,5 trilyun.

  Jika menelisik lebih jauh, tidaklah salah jika mengatakan bahwa penyebab timbulnya korupsi pada pemerintahan lokal adalah adanya relasi kuasa antara pemerintah dengan pebisnis. Pebisnis yang dimaksud adalah kaum beruang atau pemodal/pengusaha pada tingkat lokal. Relasi kuasa keduanya adalah persekongkolan predatoris yang meraup profit pribadi dengan membajak aset dan harta publik. Dalam hal ini, korupsi adalah kejahatan tak terhindarkan dalam relasi kuasa politisi dan pebisnis dalam rangka mengamankan kekuasaan politik (pemerintah lokal) dan harta kekayaan (pebisnis). 

Berkaitan dengan hal ini, mekanisme elektoral juga dibajak agar selalu menguntungkan posisi elite, misalnya dalam praktik politik uang, patronase, dan klientelistik. Relasi bisnis-politik tersebut merupakan produk rezim oligarki yang menandakan adanya kemunduran demokrasi pasca reformasi. Relasi predatoris tersebut secara gamblang merugikan masyarakat (lokal) karena penguasaan terhadap aset-aset publik oleh pemerintah dan pebisnis. Masyarakat kemudian teralienasi dan hanya bisa menyaksikan kerusakan ekologis akibat adanya perilaku eksploitasi.  

Relasi kuasa antara pebisnis dan pemerintah lokal yang menelurkan praktik korupsi berawal dari money politic dalam kontestasi pilkada. Money politic ditempuh karena adanya perbedaan biaya pencalonan dan gaji para elite lokal. Dikutip dari cnbcindonesia.com, biaya pencalonan bupati mencapai 30 milyar, sementara akumulasi dari pemasukan gaji per satu tahun hanya 2,4 milyar, dan per lima tahun 12 milyar. Berdasarkan penelitian The Indonesian Institute pada pilkada 2018 silam, pencalonan gubernur membutuhkan dana berkisar antara 20 milyar sampai 100 milyar, sementara rata-rata kekayaan pribadi cagub di Indonesia hanya mencapai 21,1 milyar.  


 Kepemilikan uang menentukan akses ke dalam partai politik dan selanjutnya menentukan pula kemenangan dalam pilkada. Akses menuju partai politik tidak dapat diperoleh tanpa uang karena partai-partai politik menetapkan standar mahar bagi kandidat kepala daerah sebagai syarat dukungan. Money politic dalam pilkada membuktikan bahwa tanpa adanya sumber daya ekonomi yang memadai, seseorang tidak dapat menjadi kandidat kepala daerah. Kepentingan yang saling terkait antara politisi dan pebisnis lokal dalam semangat akumulasi kapital kian mengiringi perjalanan demokrasi elektoral di level lokal saat ini. Partai-partai politik sejak tahun 1999 sangat bergantung pada partisipasi pengusaha lokal sebagai supplier finansial untuk kemenangan pilkada. 

Pengusaha yang berkepentingan pada sektor ekonomi, proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, dan sumber daya alam menggandrungi jatah proyek pada elite politik lokal. Sementara itu, politisi yang memerlukan biaya elektoral yang besar untuk mendulang suara pemilih bersekongkol dengan pengusaha yang memiliki banyak modal (uang). Simbiosis mutualisme antara politisi dan pebisnis di level lokal kemudian berkembang dari saling mendukung dalam pilkada menuju praktik korupsi dalam birokrasi. Menurut Yves Meny, seperti dikutip  Suradika, korupsi tersebut tergolong dalam korupsi jalan pintas yang mana sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik.  Para elite lokal mengonstruksi relasi patron-klien dengan pengusaha dalam rangka membagi hasil kekayaan dari proyek pembangunan. 

Korupsi bercorak patronase tersebut terjadi dalam bentuk proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, dan eksploitasi sumber daya alam. Politisi mendistribusikan sumber daya kekuasaan secara personal dan illegal kepada pengusaha untuk mendapatkan jatah keuntungan finansial. Sebagai klien, pengusaha berkesempatan mengoperasikan proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa atau eksploitasi tambang.

Urgensitas Peran Mahasiswa
Perjalanan bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran mahasiswa sebagai kaum muda yang mengusung agenda perubahan sosial. Tentu masih segar dalam ingatan kita, andil mahasiswa pada tahun 1908 sebagai pelopor kebangkitan nasional dengan bersekutu melawan segala bentuk imperialisme bangsa asing.

 Selain itu, pada tahun 1928, mahasiswa menjadi pelopor sumpah pemuda yang menyatukan tendensi kedaerahan dalam unitas berbangsa, berbahasa, dan bertanah air. Selanjutnya, tahun 1988 mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim Soeharto. 

Tidak sampai di situ, mahasiswa juga berhasil melawan bonsai otoriter Soeharto pada Orde Lama sehingga mengantar bangsa Indonesia menuju pintu gerbang reformasi. Sederet peristiwa tersebut menunjukkan bahwa urgensitas peran mahasiswa sangat dibutuhkan dalam dinamika politik di Indonesia. Namun perlu diakui bahwa akhir-akhir ini mahasiswa seakan apatis dan enggan untuk berpolitik. Hal ini dibuktikan dengan survei CICS pada November 2017 yang menunjukkan hanya 2,3 persen generasi milenial berminat pada isu sosial politik dan isu tersebut menjadi isu yang paling tidak diminati.  Sekarang ini, tidak sedikit juga mahasiswa yang berkarakter individualis dan hedonis serta terlibat dalam perilaku seks bebas, kekerasan, tawuran, dan bahkan mengonsumsi narkoba.

 Namun, perlu diakui bahwa tidak sedikit mahasiswa yang memiliki kemampuan kognitif tinggi yang dibuktikan dengan IPK tinggi, tetapi minim daya kritis. Mereka hanya mampu pada ranah konseptual tetapi susah untuk mengaktualisasikan pengetahuannya pada ranah praktis.  

Dalam memerangi korupsi, mahasiswa perlu memulainya dengan mengonstruksi sense of crisis. M. Hatta menggarisbawahi pentingnya perguruan tinggi membentuk sense of crisis agar mahasiswa sebagai kaum intelektual berempati terhadap kondisi sosial politik bangsanya sehingga dapat menawarkan berbagai langkah solutif atas problem yang dihadapi. Sense of crisis dapat dibangun dengan memberdayakan fasilitas teknologi seperti media sosial dan internet untuk menggali informasi tentang dunia perpolitikan Indonesia. 

Dalam hal ini mahasiswa perlu mendongkrak kultur literasi politik dan menyeimbangkannya dengan informasi yang tidak penting dan sebatas hiburan semata. Sense of crisis perlu dibarengi dengan pemberdayaan nilai kejujuran melalui pendalaman ilmu Pancasila pada mata kuliah pendidikan Pancasila atau pendidikan kewarganegaraan. Contoh konkret pemberdayaan nilai kejujuran dalam lingkungan kampus adalah menindak tegas perilaku mencontek, menghindari perilaku plagiat, mencontohi keteladanan para dosen, dan menghindari nepotisme antara dosen dan mahasiswa. Para mahasiswa juga dapat secara giat mengikuti pendidikan anti korupsi melalui kegiatan-kegiatan edukatif seperti seminar/webinar, diskusi, dan dialog.

 Selain itu, mahasiswa juga mesti berpartisipasi dalam berbagai macam perlombaan yang berintensi memupuk semangat anti korupsi seperti perlombaan karya tulis (artikel, esai, dan karya ilmiah), perlombaan seni (teater, lukisan, lukisan, lagu, tarian, dll), perlombaan debat, dan lain-lain.
Mahasiswa juga dapat memanfaatkan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk mensosialisasikan anti korupsi kepada masyarakat luas. Sosialisasi dapat dilakukan mulai dari mendidik karakter anak usia dini pada pendidikan dasar tentang penyebab dan bahaya perilaku korupsi. 

Tujuannya adalah untuk menanamkan nilai anti korupsi sedini mungkin agar tebiasa dengan perliaku jujur. Selain itu, mahasiswa dapat terjun untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat umum tentang korupsi dan merangsang kepekaan terhadap perilaku korupsi yang ada di sekitarnya, mulai dari tingkat RT/RW, desa/kelurahan, ataupun kecamatan. Mahasiswa dapat melakukan pelatihan membuat dan membaca anggaran yang berdasar pada nilai dan prinisip anti korupsi. Kegiatan pemberdayaan ini pada akhirnya dapat menciptakan gerakan masyarakat anti korupsi.

Pada tataran yang lebih kompleks, mahasiswa perlu melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dalam hal ini, mahasiswa perlu menentukan sikapnya terhadap setiap kebijakan publik yang dihasilkan. Misalnya, penggerakan organisasi kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk membuat kajian atau artikel berupa tanggapan kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kebijakan yang ada perlu dianalisis agar tetap berjalan dalam koridor nilai dan prinsip anti korupsi, seperti yang dilakukan oleh Satgas Muda Anti Korupsi Kota Yogyakarta yang mengkritisi Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip anti korupsi.  

Kebijakan pemerintah yang mendatangkan investor untuk mengelola pariwisata yang tidak berbasis ekologi dan memarginalisasi masyarakat perlu dilawan, seperti kebijakan pengelolaan wisata Taman Nasional Komodo yang merugikan ekosistem dan warga setempat. Hal ini bertujuan untuk mencegah relasi kuasa antara elite politik (lokal) dengan pengusaha atau investor. Jika kebijakan pemerintah dirasa merugikan masyarakat, maka perlu adanya gerakan perlawanan mahasiswa melalui aksi demonstrasi dan menyuarakan opini lewat media massa ataupun media sosial. 

Sebagai kekuatan kritis, mahasiswa mesti menjembatani kepentingan masyarakat dan menjadi komunikator publik yang mewadahi komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Maka, mahasiswa harus lebih proaktif dalam merangkul masyarakat kelas bawah agar aspirasinya tersampaikan ke pemerintah.

Akhir Kata

Pada galibnya, upaya mencegah praktik koruptif adalah tanggung jawab moral mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa. Mahasiswa adalah generasi emas bangsa yang memiliki jiwa visioner, kreatif, inovatif, pemikiran kritis, idealisme, dan kecakapan intelektual yang mumpuni. Semua hal tersebut merupakan modal berharga dalam upaya preventif mengatasi praktik korupsi di Indonesia.

 Mahasiswa harus menepis keengganannya untuk peduli dengan kondisi sosial politik bangsa Indonesia yang carut-marut akibat kerakusan para penguasa. Mahasiswa mesti tampil di garda terdepan untuk melawan perilaku koruptif agar terciptanya peradaban bangsa Indonesia yang jujur, adil, makmur, dan sejahtera.

Oleh karena itu, mahasiswa sebagai eksekutor visi Indonesia 100 tahun mendatang harus mempersiapkan diri sejak sekarang ini agar tidak terjerumus pada praktik korupsi. Cita-cita bangsa Indonesia yang maju, adil, makmur, dan berdaulat mesti diperjuangkan dari sekarang dengan meghindari praktik korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun