Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengungkap Detik-detik Peristiwa Kentungan

2 Oktober 2022   02:56 Diperbarui: 2 Oktober 2022   06:05 3400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono (harianmerapi.com)

Tidak hanya di Jakarta, kabar mengenai gerakan 30 September 1965 yang disertai aksi penculikan dan pembunuhan para Jenderal TNI faktanya melebar ke beberapa daerah. Di Jogjakarta, informasi mengenai sikap terhadap Dewan Jenderal dimulai sejak Sekretaris PKI Wirjomartono bertemu dengan Mayor Muljono, untuk membahas gerakan dukungan.

PKI di Jogjakarta memang telah melakukan konsolidasi untuk bersikap atas aksi di Jakarta. Organisasi-organisasi underbow PKI memang telah siap, bila terjadi sesuatu hal yang membuat genting keadaan. Termasuk dengan kalangan tentara yang telah berhasil disusupi oleh PKI.

Pertemuan yang membahas mengenai kekuatan pemukul Dewan Jenderal di Jogjakarta mulai menjadi aksi yang direncanakan. Mayor Muljono sendiri adalah simpatisan PKI yang menjabat sebagai Perwira Seksi V di Korem 072 Jogjakarta. Dimana memang, Jogjakarta kala itu memiliki basis pendukung komunis besar. Baik dari unsur politisi, militer, hingga rakyat yang bersimpati.

Nah, peristiwa yang membuat dua perwira TNI gugur ini, pada dasarnya adalah bentuk aksi dari simpatisan komunis. Mereka hendak memberi dukungan terhadap upaya kudeta di Jakarta. Korbannya adalah Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono, yang disebut-sebut sebagai perwira anti komunis. Fyi, Mayor Muljono ini merupakan bawahan Kolonel Katamso yang berkhianat.

Jogjakarta, 1 Oktober 1965

Pukul 18.00 WIB; Mayor Muljono mengirim seorang Sersan dengan satu regu pasukan untuk menahan Kolonel Katamso di rumahnya. Memang sejak pagi, Muljono selalu membujuk Kolonel Katamso untuk memberikan dukungannya terhadap Gerakan 30 September. Tetapi tidak kunjung mendapatkan jawaban, sehingga Muljono bersama pasukannya, menahan Katamso di Batalyon 451.

Diwaktu yang sama, RRI yang kala itu telah dikuasai oleh kelompok Gerakan 30 September mengumumkan pernyataan Walikota Solo, Utomo Ramelan, yang memberikan dukungannya terhadap upaya kudeta tersebut. Siaran ini menggema hingga Jogjakarta, dengan aksi massa simpatisan PKI bergerak menduduki area vital di pusat kota Jogjakarta.

Pukul 19.30 WIB; Massa pendukung komunis dari berbagai underbow-nya (CGMI, IPPI, dan Pemuda Rakyat), bergerak menuju gedung RRI Jogjakarta. Seraya melakukan aksi perusakan dan teror terhadap lawan politiknya. Mereka bergerak atas arahan Mayor Muljono yang memang bertanggungjawab sebagai eksekutor Gerakan 30 September di Jogjakarta.

Pukul 20.00 WIB; Gedung RRI Jogjakarta telah berhasil dikuasai oleh massa yang mulai beringas dan merangsek masuk seraya melakukan intimidasi terhadap para pekerja stasiun radio tersebut. Aksi-aksi anarkis juga mulai terjadi di beberapa titik lokasi di kota Jogjakarta, seperti di kantor pos dan stasiun kereta yang dikuasai oleh massa buruh dari SBKA/PKI.

Pukul 21.00 WIB; Letkol Sugiyono, yang kala itu menjabat sebagai Ka. Staf Korem 072 ditangkap oleh batalyon L, yang bermarkas di daerah Kentungan, Jogjakarta. Beberapa saat sebelumnya memang ada siaran mengenai berdirinya Dewan Revolusi Jawa Tengah, oleh Kolonel Sahirman dari Kodam Diponegoro. Sahirman pun memberi dukungannya terhadap Gerakan 30 September di Jakarta.

Sekitar pukul 22.00 WIB; Para pasukan penculik Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono mulai mendiskusikan perihal eksekusi bagi kedua perwira TNI tersebut. Mereka hendak "menyelesaikan" dengan cara kekerasan, dengan cara dikuburkan menjadi satu setelah eksekusi.

Malam itu pula, di belakang markas kemudian dipersiapkan lubang untuk mengubur jasad dua pimpinan TNI tersebut. Beberapa sumber mengkisahkan, bahwa upaya intimidasi terhadap keduanya berlangsung terus menerus hingga tengah malam. Ada yang menyebutkan, beberapa dokumen mendukung Gerakan 30 September hingga keterlibatan dengan Dewan Jenderal terus disodorkan.

Menjelang tengah malam, kota Jogjakarta semakin mencekam. Kelompok-kelompok bersenjata yang terindikasi dari unsur komunis, kerap melakukan patroli untuk memantau situasi. Terlebih ketika informasi mengenai keberangkatan D.N. Aidit ke Jogjakarta telah sampai di setiap pimpinan PKI Jogjakarta. Situasi pengamanan "Sang Ketua" menjadi prioritas utama mereka.

Jogjakarta, 2 Oktober 1965

Sekitar pukul 01.30 WIB; Kolonel Katamso bersama Letkol Sugiyono dibawa ke belakang markas dengan mata ditutup kain. Dengan posisi diikat, ia kemudian diintimidasi lagi oleh Sertu Alip Toyo selaku eksekutor. Dan tiba-tiba pukulan dengan benda keras pun mendarat di kepala Kolonel Katamso. Yakni dengan kunci mortir seberat 2 kg, pukulan demi pukulan menghujaninya hingga gugur.

Selanjutnya adalah Letkol Sugiyono, dibunuh dengan cara yang sama. Hantaman kunci mortir pun mendarat di tengkuk kepala dengan keras. Kedua korban (usai diketemukan) memiliki luka yang sama, yakni tempurung kepala pecah. Serta beberapa luka di sekitar leher dan muka.

Jenazahnya diketemukan baru sekitar dua belas hari setelah peristiwa tersebut terjadi. Seiring upaya pembersihan Jogjakarta dari unsur komunis beserta unit-unit militer yang terlibat didalamnya. Keduanya kemudian dikebumikan di TMP Kusumanegaran, Jogjakarta. Serta memperoleh kenaikan pangkat satu tingkat secara anumerta.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun