Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Layar Peristiwa Jogja Kembali

29 Juni 2022   06:00 Diperbarui: 29 Juni 2022   06:06 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Jogja Kembali (wikipedia)

Pada 29 Juni 1985 Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama dengan Sri Paduka Paku Alaman VIII melakukan kegiatan peletakan batu pertama sebagai bagian dari agenda pendirian Monumen Jogja Kembali, atau Monjali. Pembangunan ini berangkat dari gagasan Kolonel Soegiarto, selaku Walikota Jogjakarta, dalam upaya mengenang peristiwa penting yang terjadi di Jogjakarta pada 29 Juni 1949 silam.

Kita ketahui bahwa peristiwa Jogja kembali adalah momentum mundurnya pasukan Belanda dari Jogjakarta sebagai proses peralihan kekuasaan usai perjanjian Roem Royen. Walau pada awalnya, Belanda tetap bersikap enggan untuk menuruti hasil perjanjian tersebut. Tetapi, atas desakan dunia internasional, secara berangsur Belanda mulai meninggalkan Jogjakarta sejak awal Juni 1949.

Proses peralihan kekuasaan ini tidaklah semudah yang kita bayangkan. Sebelumnya dalam peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Soekarno, Moh. Hatta, beserta jajaran Pemerintahan lainnya telah ditangkap oleh Belanda. Mereka semua akhirnya diasingkan ke Muntok, pulau Bangka, walau awalnya Soekarno dan beberapa tokoh lainnya sempat dikirim ke Brastagi dan Parapat.

Lantas siapa penanggung jawab pemerintahan kala itu, bila semua pemimpin ditangkap?

Hal ini telah dijawab melalui skenario pemindahan kekuasaan dan kepemerintahan darurat di Sumatera Barat. Dimana pemegang tampuk kekuasaan secara sementara diwakilkan oleh Syafruddin Prawiranegara. Bagaimana dengan Jogjakarta yang kala itu tengah diduduki oleh Belanda?

Tokoh dibalik layar eksistensi Pemerintah di Jogjakarta secara de facto diwakili oleh Sultan Hamengkubuwana IX. Dimana secara kritis telah penulis ulas dalam artikel Menggugat Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebagai seorang Sultan, keterlibatan beliau tidak hanya terbatas dalam peran administratif kala itu, "klik" dengan para pejuang adalah bagian dari perjalanan hidup beliau sebagai seorang Sultan pejuang.

Sejak tanggal 29 Juni 1949, secara politis Jogjakarta tidak lagi berada lagi dibawah pemerintah militer Belanda. Namun secara fungsional, pemerintahan secara langsung akan beralih kepada Sultan Hamengkubuwono IX selaku penguasa administratif di Jogjakarta. Hal ini telah diungkapkan oleh Moh. Hatta dalam bukunya, "Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi".

"Pada tanggal 27 Juni 1949 kami mendengar berita radio yang mengatakan bahwa Sultan Hamengkubuwono pada tanggal 30 Juni akan mengambil alih kekuasaan di Jogja dari tangan Belanda". Moh. Hatta memprediksi, bahwa kemungkinan pada tanggal 5 atau 6 Juli mereka akan segera kembali ke Jogjakarta.

Salah satu diorama di dalam monumen (wikipedia)
Salah satu diorama di dalam monumen (wikipedia)

Pemerintahan yang mulai berjalan terhitung sejak 1 Juli 1949, membuat Sultan bergegas untuk berkunjung ke Bangka. Kunjungannya kala itu bermaksud untuk berdialog mengenai proses-proses peralihan kekuasaan. Selain daripada persoalan finansial Negara, yang kala itu belum dapat dikatakan baik.

Tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan Moh. Hatta telah kembali dari pengasingannya di Bangka. Sultan Hamengkubuwono IX kala itu "dapat saja" mengikrarkan dirinya sebagai pimpinan kekuasaan Republik, tetapi hal itu tidak terjadi. Sultan menyerahkan mandat kepada Soekarno untuk kembali memimpin bangsa ini, dimana Jogjakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia.

Suatu sikap ksatria dan luar biasa tentunya. Terlebih dalam mengatasi persoalan finansial Negara, Pemerintah mendapatkan dukungan dana yang luar biasa dari Sultan Hamengkubuwono IX, yakni sebesar 6,5 juta gulden atau sekitar 530 miliar rupiah. Kisaran yang sangat fantastif bila disesuaikan dengan kurs saat itu.

Maka, tidak ada yang perlu diragukan kembali mengenai eksistensi Sultan Hamengkubuwono IX sejak masa revolusi fisik terjadi. Bukan sekedar mendukung pemerintahan, selama masa-masa gerilya, para pejuang juga senantiasa mendapatkan suplay logistik secara sistematis dari Sultan. Begitupula hubungannya dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Itulah sekiranya yang dapat penulis sampaikan. Peristiwa Jogja Kembali, bukan hanya persoalan peralihan kekuasaan antara Belanda kepada Indonesia. Melainkan siapa tokoh dibalik layar yang memuluskan proses-proses peralihan tersebut, untuk dapat diungkap kepada publik sesuai fakta dan data sejarah yang ada. Dari peristiwa Jogja Kembali kita ambil hikmah. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun