Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puasa dan Alasan "Keresahan" yang Membuat Resah

25 Maret 2023   18:30 Diperbarui: 25 Maret 2023   18:31 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan kebetulan kalau di tahun 2023 ini, beberapa aktivitas keagamaan bertemu dalam kurun waktu yang sama. Seperti misalnya, peringatan Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu dan permulaan awal puasa bagi umat muslim, berhimpitan hari dan tanggalnya.

Pada hari Rabu, 22 Maret 2023, umat Hindu memasuki Tahun Baru Saka 1945, yang ditandai salah satunya dengan Nyepi. Esoknya, Kamis, 23 Maret 2023, giliran umat Islam menunaikan kewajibannya dalam berpuasa sebulan penuh.

Sebetulnya, umat Kristen (terutama Katolik) di Indonesia, masa-masa ini juga sedang melaksanakan aktivitas Puasa Prapaskah. Aksi ini berlangsung selama 40 hari, yang dimulai sejak Rabu, 22 Februari 2023 lalu hingga menjelang datangnya Jumat Agung.

Sumber: KabarDamai.id
Sumber: KabarDamai.id

Memaknai Persamaan Ritus

Apa yang dilakukan umat Hindu selama perayaan Nyepi? Pada hari itu, mereka melakukan tapa brata penyepian atau berdiam diri selama waktu 24 jam. Ada empat pantangan yang dilakukan (sumber 1), yaitu:

  • Amati Karya alias tidak melakukan pekerjaan
  • Amati Lelungan alias tidak bepergian atau bepergian keluar rumah
  • Amati Geni alias tidak menyalakan api (memasak), menyalakan lampu, dan menunjukkan perasaan marah
  • Amati Lelanguan alias tidak bersenang-senang

Kalau diperingkas, aktivitas umat Hindu ini identik dengan "puasa". Menyepi, berhenti sejenak dari rutinitas keseharian. Tidak melakukan apa-apa, tidak ke mana-mana. Mengekang diri dari kesenangan duniawi (ragawi). Mengingat kembali hakikat diri kepada Sang Pencipta yang Agung.

Sementara, puasa bagi umat Islam, lamanya waktu keseharian ini dilakukan sebelum dan sesudah matahari terbit dan terbenam. Mereka masih bisa melakukan aktivitas kesehariannya, tidak berhenti total.

Berpuasa diisi dengan berbagai perbuatan baik yang bisa menambah amalan, dengan melakukan sedekah. Mengekang diri dari perkataan kotor dan jorok, dan juga mengaji Kitab Suci, dan lain-lain (sumber 2).

Lalu bagaimana dengan aktivitas yang dilakukan umat Kristen (khususnya Katolik) yang juga punya tradisi puasa? Pada umumnya, "puasa" yang dilakukan ini disertai juga dengan "berpantang". Puasa dilakukan oleh umat yang sudah berusia dewasa (18-60) tahun. Sedangkan "Pantang" dilakukan pleh umat yang sudah berusia 14 tahun ke atas.

Puasa  ini berarti makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Sedangkan pantang dilakukan pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat sampai Jumat Suci (Jumat Agung). Jadi hanya 7 hari selama masa PraPaskah. Pantang bisa dalam arti makanan dan minuman yang disantap (misalnya non daging, non gula/garam), dan kesukaan/kegemaran (hobi, kesenangan pada hiburan) dan lain-lain.

Pada dasarnya, puasa ini bukanlah semata soal ragawi semata (urusan yang terkait perut), namun ditujukan pada latihan rohani. Dengan berpuasa, memurnikan hati untuk lebih memusatkan diri pada doa dan tingkah laku rohani keseharian. Juga sebagai ungkapan syukur atas rahmat Tuhan dan lebih berempati dalam hidup sosial bersama (sumber 3).

Sumber: KabarDamai.id
Sumber: KabarDamai.id

Noda Makna Puasa

Sudah jamak dikatakan kalau puasa itu bukanlah soal menahan lapar dan haus belaka. Meminjam perkataan (maaf) kalau soal itu saja, 'gelandangan' lebih tahan uji.

Puasa adalah pengendalian diri terhadap egoisme. Menata batin untuk tidak terjebak pada keangkuhan bahwa "saya lebih suci". Maka "saya berhak mengatur orang lain" agar "saya bisa mempertahankan kesucian saya."

Pemahaman alias pola pikir seperti ini, yang kerap terjadi dan menjadi tontonan publik, justru mendangkalkan makna puasa yang hendak dibangun. "Mengapa bisa tak tahan godaan, hingga menganggap pihak lain yang bersalah?" Demikianlah kira-kira yang ada di benak orang yang masih waras dan punya akal sehat.

Dua peristiwa yang viral di media jelang tradisi puasa, lagi-lagi seperti lagu lama. Tuduhannya sama. "Atas dasar laporan [ormas], ada kegiatan yang dianggap meresahkan masyarakat." 

Sekali lagi, petugas keamanan atau pemangku kepentingan seperti cenderung lebih berpihak kepada satu kelompok tersebut, tanpa memberikan perlindungan kepada yang lainnya. Padahal sebagai pengayom, mempertimbangkan dan mewadahi semua kepentingan. Tidak malah membuat segregasi mayoritas-minoritas, yang semestinya tak ada dalam kamus.

Tangkapan layar Kompas.com
Tangkapan layar Kompas.com
Di Jawa Timur, tepatnya di Kecamatan Sukun, Kota Malang. Seorang pedagang nasi goreng B2 (babi) yang sudah berjualan di Jalan Terusan Dieng, Kelurahan Pisang Candi sejak tahun 1990 harus berhenti usahanya.

Lancar jaya selama 30 tahun lebih melakukan usaha kuliner khas dan khusus, tetiba pada Senin (21/3/2023), Bambang Dwi Priyanto (65), sang penjual dibuat kaget dan bingung. Dia diminta untuk menandatangani surat pernyataan untuk tidak lagi berjualan nasi goreng babi lagi di wilayah tersebut.

Usahanya itu dianggap telah meresahkan warga. Atas dasar laporan yang diterima, maka Satpol PP bersama pihak Pemerintah Kelurahan Pisang Candi, Polresta Malang Kota dan Babinsa pada akhirnya menggelar ketertiban ini (sumber 4). 

Tangkapan layar HarianJogja.com
Tangkapan layar HarianJogja.com

Sementara di provinsi tetangga di DI Yogyakarta, kejadian lain terjadi di Kulonprogo.  Patung Bunda Maria setinggi 6 meter, akhirnya ditutup terpal biru.

Peristiwa yang viral di media sosial ini tepatnya berada di sebuah area rumah doa di Padukuhan Degolan, Bumirejo, Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Awalnya, beredar kabar kalau penutupan patung tersebut buntut dari protes salah satu ormas keagamaan.

Sebenarnya lokasi ini adalah sebuah kuburan yang berada dalam kompleks yang dinamai Sasana Adhi Rasa "Santo Yakobus". Dari pihak keluarga menutup patung itu setelah ada desakan dari sekelompok warga pada Rabu (22/3/2023). Hal ini sebagai tindak lanjut dari kedatangan ormas Islam yang beberapa waktu sebelumnya merasa tidak nyaman karena keberadaan patung tersebut. Mereka menganggapnya mengganggu umat Islam yang melaksanakan ibadah di Masjid Al-Barokah, yang lokasinya berhadapan (sumber 5).

Dua peristiwa yang terjadi jelang ibadah puasa tahunan oleh umat Islam ini tentu saja mengusik rasa, nalar dan logika. "Mengapa momentumnya sama setiap tahun, menjelang bulan puasa (Islam) tiba? Apakah ini yang dinamakan hidup harmoni dan bertoleransi?" 

Bukankah hal ini justru mengusik nilai dari makna puasa itu sendiri? Lagi-lagi yang terkena imbas tak langsung adalah simbol dan nama kepercayaan umat terkait. Belum lagi citra institusi berwenang yang makin tidak dipercaya oleh netizen.

Apa artinya puasa jika tak sanggup menahan ego diri? Apa arti puasa jika membuat perasaan orang lain menjadi terlukai?

"Inilah puasa yang Ku-kehendaki: Lepaskanlah belenggu penindasan dan beban ketidakadilan, dan bebaskanlah orang-orang yang tertindas."

Kiranya salah satu teks kalimat dalam KItab Suci di atas menjadikan spirit bersama dalam melakukan puasa, sebagaimana keyakinan masing-masing umat. Bahwa puasa bukanlah semata untuk mengejar kesalehan pribadi. Penting juga untuk melakukan kesalehan sosial.  Terlebih lagi dalam hidup berkemajemukan di rumah bersama bernama NKRI.


Hendra Setiawan

25 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun