Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT. Instagram: hendra.setiawan.17

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghadapi Modus Penipuan Lewat Telepon Rumah

18 Maret 2023   18:00 Diperbarui: 18 Maret 2023   18:05 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menghadapi modus penipuan lewat telepon rumah (sumber: istock.com)

Entah sudah kali ke berapa, telepon rumah mendapat serangan "teror" dari oknum-oknum geje (gak jelas). Akibatnya, sekarang jadi malas untuk mengangkat dering panggilan telepon.

Konsekuensinya, jadi bahan pembicaraan ketika bertemu langsung dengan si penelepon. "Saya tadi telepon, kok gak diangkat? Apa tidak ada orang di rumah?"

Waduh, salah duga nih... "Wah, maaf, Mbak. Ya, ada di rumah sih tadi. Mau saya angkat kok ragu-ragu."

Lalu saling berceritalah sesama lansia ini saat keduanya bertemu. Mereka berbagi pengalaman masing-masing, yang ternyata serupa saat mendapatkan panggilan telepon masuk. Ketika diangkat, dikatakan bahwa mereka belum membayar tagihan telepon rumah. Imbasnya, telepon akan diblokir jika tak segera melunasi tagihan.

Nah, sebut saja, kisah orang I. Dia lantas membalas dengan ketus sosok di seberang sana. "Hei, jangan macam-macam, ya... Saya ini gak punya utang. Tagihan sudah saya bayar di awal bulan." Bla-bla-bla.... Ceklek, ditutup gagang teleponnya.

Sebelumnya ia memang sempat merasa kuatir juga. Hingga kemudian bertanya kepada sang cucu yang biasa membantu mengurusi soal pembayaran tagihan telepon. 

"Sudah, kok, Nek. Sudah dibayar. Wah, itu kayaknya penipuan. Kalau ada telepon lagi seperti itu, jangan ditanggapi." Begitu respon yang diberikan si cucu.

Identik dengan itu, kisah orang II juga nyaris sama. Ia mendapat telepon yang menyampaikan bahwa pelanggan masih punya tunggakan pembayaran. Segeralah, seraya ketar-ketir dengan telepon yang baru diterimanya, ia menghubungi nomor hape anaknya.

 "Sudah kok Mi (mami), sudah beres."

"Lha, tapi ini tadi katanya kok belum dibayar."

"Sudah gakpapa. Abaikan saja kalau ada yang telepon lagi.

"Ya wes-lah kalau sudah lunas. Berarti gak ada masalah."

Tenang dan Waspada

Memiliki nomor telepon rumah yang masih aktif di masa kini, bisa jadi kian langka. Hanya segelintir orang yang masih setia mempergunakannya. Banyak pelanggan yang sudah beralih ke telepon seluler karena bisa mobile dan lebih hemat tagihan (katanya). Sebab, biaya abonemen (biaya sewa) perangkat telepon yang harus dibayarkan setiap bulan sudah berlebih jika digantikan dengan membayar pulsa bulanan.

Soal "kesetiaan" dengan telepon rumah ini, ada kalanya memang dilarang untuk diputus. Dalam keluarga tersebut, ada si anak yang sudah berkeluarga dan tidak tinggal bersama dengan orang tuanya lagi. Telepon rumah menjadi salah satu modal komunikasi anak dengan orang tua. Maklum, ada orang tua yang serasa gagap dengan kehadiran teknologi baru. Telepon rumah, sudah sangat familier baginya.

Namun ketika akhir-akhir ini mengalami kondisi seperti cerita di atas tadi, memang bisa jadi jengkel bagi si penerima telepon. Bayangkan jika tak ada hujan tak ada angin, tahu-tahu mendapat berita yang tak menyenangkan seperti itu. Orang tua (lansia) yang pas tinggal sendiri, bisa jadi seperti kehilangan kendali. Gampang diombang-ambingkan secara emosionalnya. Tak bisa berpikiran jernih dan mencerna secara baik dengan cepat sebuah informasi yang datang.

Jangankan lansia, orang muda saja, berpendidikan tinggi, kalau lagi blank, gak konsen, juga bisa terbujuk. Misalnya jam-jam orang tidur lelap lalu mendapat bunyi panggilan telepon.

"Halo, selamat malam. Kami menginformasikan, anak Bapak masuk rumah sakit. Atau, selamat pagi, anak Ibu saat ini ada di kantor polisi."

Astaga, ini masih jam 2 malam. Terbangun gegara berita ngadi-ngadi (aneh-aneh) begini. Kesadaran otak belum utuh betul. Buat orang yang kagetan, gampang tersulut emosi, bisa jadi akan terpancing. Lalu seperti bebek bego, menurut saja apa yang dikehendaki oleh suara si penipu di seberang sana.

Jelas sekali pemilihan waktu akan berpengaruh. Peristiwa yang seperti ini memang tujuannya mempermainkan unsur psikologis seseorang. Targetnya, justru ketika orang mudah mengalami kepanikan, di situlah kawanan penipu asyik bekerja.

Biasanya, ketika si target sudah mulai masuk perangkap, kalau mau izin berbicara dulu dengan orang lain di sekitarnya (pendamping), malah tidak diperbolehkan. Penelepon akan tahu, usahanya untuk melakukan penipuan akan gagal ketika pembicaraan terputus. Jadi ia atau mereka akan mengondisikan taget merasa kebingungan dengan kejadian yang sedang terjadi. Dan mereka menawarkan diri bisa membantu atau memberikan jalan keluarnya. Tapi, tentu saja hasil akhirnya tidak gratis.

Tips dan Trik Sederhana

Kecuali memang jika dirasa perlu dan penting, pengguna yang merasa jadi korban penipuan, bisa melakukan konfirmasi kepada institusi yang namanya dicatut. Bisa via no kontak langsung atau akun media sosial resminya.

Beberapa jurus penting ketika menghadapi modus penipuan melalui telepon rumah, antara lain bisa memperhatikan tanda-tanda berikut.

1.  Pastikan untuk memperhatikan dari siapa penelepon berasal.

Dalam kejadian di atas, ada dua versi.

a. Telepon dengan suara mesin penjawab atau recorder.

Namanya saja mesin otomatis, dia tidak bisa berkomunikasi dua arah. Jadi percuma untuk diajak ngobrol.

Ketika gagang telepon diangkat, dan keluar kalimat , "Pelanggan yang terhormat, telepon Anda akan diblokir. Tekan angka 9 (atau berapapun) untuk mengecek informasi... " dan seterusnya. Jangan pernah sekalipun memencet angka seperti yang disarankan. Bisa tambah panjang urusannya. Diminta identitas diri yang semestinya rahasia. Kalau tak sadar, kan bahaya...

Kalau tak mau bertele-tele, langsung tutup saja teleponnya, kecuali ingin jadi detektif, haha... Tak usah meladeni hal-hal yang kelihatannya sepele seperti ini. Jika diteruskan jadi berabe (bermasalah).

Setidak sopannya penelepon yang berasal dari institusi penyedia jasa, mereka tidak akan serta merta mengaktifkan suara mesin sebelum ada percakapan antar-manusia terlebih dulu. Ada perkenalan si penelepon berasal dari mana atau namanya siapa. Baru kemudian menanyakan berbicara dengan siapa. Kemudian menjelaskan maksud pembicaraan.

Misalnya, "Selamat siang, saya Ayu dari PT Telepon. Dengan siapa saya berbicara?" Lha, kan jadi aneh kalau begitu gagang telepon diangkat, langsung keluar suara dari mesin. Justru kecurigaan pertama semacam ini akan menyelamatkan seseorang dari tindak penipuan.

b. Telepon langsung dengan suara manusia

Modus penipuan versi lain adalah dengan memanfaatkan celah kesadaran seseorang. Biasanya gaya bicara si penelepon cepat, sehingga pada rentang waktu semacam ini, orang yang diajak telepon tidak sanggup untuk mengolah dan mencerna informasi itu secara tepat.

Gaya seperti ini tidak dilakukan sendirian. Ada pemain watak lain yang bisa berperan sebagai anggota keluarga yang sedang dirundung duka. Ada yang berpura-pura sebagai "polisi atau customer service" yang siap membantu masalah dari orang yang ditelepon tadi.

Waktu yang dipilihnya, yang paling disukai adalah jam-jam ketika orang lagi nyenyak beristirahat. Ketika orang belum berada pada tingkat kesadaran normal untuk berpikir dan mengambil keputusan secara jernih.

Orang yang gampang dibuat panik, terlalu jujur untuk menceritakan keadaan, juga rawan menjadi korban. Misalnya ditanya penelepon yang ngasal saja ngomong kalau ia berasal dari rumah sakit, kantor polisi dan sebagainya. Si calon korban lantas percaya betul dan menjawab nama dirinya siapa, ia tinggal dengan siapa atau bersama dengan siapa saat itu (sendiri atau ada yang menemani). Dan seterusnya... tanpa disadarinya info-info penting tadi meluncur.

Jangan pernah biarkan terbawa arus pembicaraan dengan lawan telepon. Kalau ia tak memperbolehkan bicara dengan orang lain di rumah atau setidaknya mau konfimasi dulu, itu tandanya jelas. Ada maksud penipuan di sana.

Orang dengan maksud baik, pasti akan mempersilakan lawan bicara untuk mengambil keputusan dengan baik dan bijak. Bukan harus sekarang (saat telepon berlangsung) dan tidak bisa ditunda atau ditawar lagi tanpa pertimbangan matang sebelumnya.

2. Membekali diri dengan wawasan

Modus penipuan akan terus berkembang. Jadi upayakan juga untuk terus meng-up grade wawasan, pengetahuan, apa saja yang terus berkembang.

Jangan biarkan diri sibuk dengan urusan pribadi. Bersosialisasi itu penting, sebab bisa saling mengisi, memberi informasi. Syukur-syukur dengan berbagi aneka tips dan trik jitu yang bisa membuat jera si pelaku.

3. Gertak balik

Jika dirasa si penelepon mulai pasang tampang sangar dengan nada ancaman, lawan balik. Toh tidak berhadapan muka dengan muka saja :). Perang keberanian semacam ini lumayan bisa mengendorkan arogansi si penelepon. Atau sebaliknya, menunjukkan sifat asli, yang justru berbanding terbalik saat pertama menelepon. Dari semula ramah jadi marah-marah.

Misalnya, ia mengatakan kalau tidak segera diproses (upaya damai maksudnya), anggota keluarga ibu masuk jeruji besi (kalau si oknum ngaku polisi). Atau anggota keluarga ini harus segera mendapat tindakan medis dengan operasi biar tertolong nyawanya (misalnya kalau si oknum ngaku sedang atau jadi pegawai RS).

Gertak balik misalnya dengan cara mengatakan kalau telepon rumah sudah dipasang "alat perekam suara atau nomor telepon yang masuk". Atau suruh si penelepon untuk mengaku nama, pangkat, kerja di bagian apa, dan lain-lain. Supaya bisa di-cek benar atau tidaknya. Mau minta tolong pada kerabat (padahal tak punya kenalan :P). Seringkali kalau identitas ini ditanya, jawabnya akan berputar-putar, tak segera menjawab dengan pasti dan jelas.  

4. Tetap tenang dan tahan emosi berlebihan

Kepanikan sesaat bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri. Justru sikap santuy (santai) dan tekesan abai, tak minat pada obrolan, mampu menyelamatkan dari upaya penipuan terorganisasi dan terencana.

Ah, ya sedikit kisah penutup yang bikin senyum dan ketawa bersama. Suatu ketika, di rumah saudara, sesaat keponakan baru tiba dari pulang sekolah. Kira-kira waktu itu ia masih SMP dan sekarang sudah kuliah. Lalu berderinglah telepon...

"Halo..."

Lalu, belum sadar nih! Si penelepon lantas menanyakan keberadaan Bapak A  (sebut saja demikian). Kemudian dengan nada bicara yang seperti KA ekspres tiada henti, ia mengabarkan kalau anaknya yang masih SD tadi terjatuh dari tangga sekolah waktu bermain. Kondisinya agak gawat sehingga harus dilarikan ke rumah sakit dan seterusnya bla-bla-bla...

Eh, lha kok tanpa ba-bi-bu, tak lama kemudian "klek". Mati suara telepon dari seberang tanpa ada kejelasan berikutnya. Gak sopan banget, ya....

Lantas, saya pikir apa karena tadi saya cuma jawab, "Oh, ya..." begitu saja dengan nada datar. Tak seperti orang yang sedang kebingungan karena ada anggota keluarga yang sedang sakit atau sekarat. Sehingga perlu untuk segera mendapatkan bantuan perawatan medis. Jika tidak, ancaman nyawa bisa melayang.

Lalu, si keponakan tadi tanya, dari siapa dan ada apa? Hahaha... kami jadi tertawa lepas membahasnya kemudian. Lha si keponakan tadi masih dengan seragam birunya, belum ganti pakaian rumah. Posisinya dekat dengan pesawat telepon.

Dia kan juga anak tunggal. Lha, terus adiknya yang SD mengalami kecelakaan saat bermain di sekolah, itu siapa?!

Astaganaga, baru ngeh, tersadar kalau itu tadi adalah upaya penipuan. Rapi banget, jalan ceritanya. Wkwkwk....

Hendra Setiawan

18 Maret 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun