Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Jenderal Tidak Disilet, Tidak Dicungkil Tapi Diberondong dari Jarak Dekat!

1 Oktober 2015   10:53 Diperbarui: 16 September 2017   09:29 8205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul yang mirip digunakan Tempo.co, edisi 30 September 2015, mempertanyakan benarkah ada penyiksaaan terhadap enam Jenderal dan satu Perwira Pertama TNI AD korban G 30 S/PKI. Yang dimaksud penyiksaan adalah seperti visualisasi peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh Pahlawan Revolusi pada film Pemberontakan G 30 S/PKI yang pada zaman Pemerintahan Presiden Suharto tiap tahun setiap tanggal 30 September ditayangkan di TVRI. Penyiksaan itu diantaranya wajah disilet, disundut rokok, mata dicungkil sebelum mereka setelah jadi mayat dikubur dalam satu lubang sumur.

Tempo.co mengklaim bahwa Prof Dr Arif Budianto-tahun 1965 dokter Arif Budianto masih seorang dokter muda usia belum bergelar profesor-, salah seorang anggota tim forensik, gabungan dokter-dokter dari RSPAD dan FKUI, mengatakan bahwa  pada semua tubuh jenderal ditemukan bekas penembakan jarak dekat, namun penyiksaan pencungkilan mata tidak ada. Tim forensik yakin kondisi mata korban rusak akibat pembusukan. Pada tahun 2002, wartawan TVRI Hendro Subroto memberi kesaksiannya kepada Tempo, ia yang meliput pengangkatan jenazah dari jarak tiga (3) meter saja, tidak melihat bekas penyiksaan pada tubuh para korban, hanya luka tembak.

Jika ada pihak yang mau "meluruskan" sejarah sekitar kejadian pemberontakan G 30 S/PKI, salah satu yang perlu diluruskan barangkali soal penyiksaan terhadap enam jenderal dan satu Letnan Satu TNI AD, agar dihapus dari catatan sejarah, bila diyakini tidak benar sesuai keterangan dua saksi mata, salah satunya saksi ahli yang memeriksa jenazah para korban.

Penyiksaan berbentuk penyiletan, penyundutan, pencungkilan mata kemungkinan tidak ada tapi penembakan dari jarak dekat diyakini terjadi, baik ketika korban penculikan dieksekusi di Lubang Buaya maupun ketika diculik dari rumah para Jenderal tersebut di daerah Menteng dan Kebayoran Baru, Jakarta.

Letnan Jenderal Ahmad Yani, saat itu Menteri/Panglima Angkatan Darat, diberondong di rumahnya ketika dipaksa ikut para penculik yang terdiri dari Cakrabirawa (nama satuan pengawal Presiden zaman Presiden Sukarno) dan Pemuda Rakyat (organisasi pemuda binaan PKI). Beberapa kali -salah satunya pagi ini 1 Oktober 2015 di lokasi upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya Jakarta-  saya menyaksikan Amelia Yani, puteri almarhum Jenderal Ahmad Yani, menceritakan apa yang ia lihat saat ayahnya diberondong senjata otomatis, lalu diseret dimasukkan ke mobil pemberontak.

Penyiksaan dengan cara menyilet, menyundut, mencungkil mata katakanlah tidak ada, tapi memberondong seseorang dengan senapan otomatis dari jarak dekat, lalu diseret dengan sekujur badan berlumuran darah di hadapan anak-anak korban, bukankah ini perbuatan sadis. Ketika Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal DI Panjaitan, Letnan Jenderal MT Haryono, Mayor Jenderal Sutoyo, Letnan Jenderal S. Parman, Letnan Jenderal Suprapto dan Kapten Pierre Tendean diangkut ke Lubang Buaya, apakah yakin selama dalam perjalanan tidak ada penyiksaan fisik berupa pemukulan atau apapun terhadap para korban yang masih hidup?

PKI dari dulu memang lihai. Tahun 1948 memberontak di Madiun disikat TNI. Masih dikasih kesempatan hidup lagi, tahun 1950-an tetap berulah antara lain memusuhi dan membunuh para santri dan ulama NU, memusuhi pelbagai pihak yang sekitar tahun 1964-1965 tak sejalan dengan politik PKI. Puncaknya 30 September 1965 atau lebih tepatnya 1 Oktober 1965 dinihari G 30 S yang dikendalikan para pemimpin PKI menculik Jenderal-Jenderal Angkatan Darat yang mungkin menurut keyakinan PKI saat itu akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno.

PKI akhirnya dimatikan secara politik sejak tahun 1966. Ketetapan no XXV/MPRS/1966 menyatakan PKI dibubarkan dan merupakan organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia, sekaligus pelarangan penyebaran dan pengembangan faham Komunisme dan Marxisme-Leninisme di wilayah Republik Indonesia. Jangan sampai Ketetapan MPRS ini dicabut!

Rekonsiliasi OK, bermaaf-maafan OK, toh anak keturunan PKI saat ini juga sudah bebas merdeka? Ada yang jadi anggota DPR, peneliti dan mungkin juga pejabat tinggi negara lainnya. Perbuatan khianat dan keji PKI yang faktanya ada tidak boleh dihapus begitu saja. Pemberondongan korban G 30 S/PKI dengan senapan otomatis dari jarak dekat merupakan perbuatan sadis yang tak beda dengan penyiksaan ketika dilakukan di hadapan anak-anak korban.

Satu hal lagi mari kita dukung Presiden Jokowi untuk tidak perlu minta maaf kepada ex PKI dan simpatisannya. Dunia terbalik kalau Negara sampai minta maaf pada penjahat yang berbuat keji lebih dulu, bukan hanya terhadap para jenderal korban G 30 S/PKI, tapi sebelumnya juga banyak kekejaman yang PKI lakukan kepada warga negara Indonesia lainnya. Taufik Ismail penyair angkatan 66 dan salah satu Ketua PB NU membacakan datanya pada acara ILC 29 September 2015.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun