Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen| Pewaris Kuasa

10 Januari 2020   00:00 Diperbarui: 24 Januari 2020   16:07 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berkali-kali namaku disebutkan dengan suara yang keras. Aku berhenti untuk menelanjangi bawang merah yang membuat mataku perih. Dengan sedikit ekspresi bersalah aku mendekati sumber suara yang mengganggu pendengaranku. Selalu ekspresi yang tidak bersahabat dengan manusia, kata-kata yang merobohkan percaya diriku juga tak pernah putus diucapkannya.

"Kau, ga punya kuping ya. Kenapa lambat sekali! Jangan pikir kau masih anak-anak!"

Sekelebat pertanyaan muncul tanpa antrean di otakku. Tentang siapakah laki-laki ini, apa yang membuat dia begitu berwibawa, kesalahan apa yang telah kulakukan, berapa banyak yang harus kubayar menjadi seorang anak, bahkan tak kalah bibirku menggerutu di hadapannya.

"sudah berani kau melawan!" katanay semakin kasar. Aku menatap dia dengan wajah seorang polos dan lugu. Sangat mengejutkan saat hal ini tidak menyentuh seorang yang berada di bawah kendali pikiran setengah matang. Berkali-kali telunjuknya berada di depan mataku. Tak dihiraukannya pupil yang mirip dengannya sedang menahan tubuh yang gemetar dan ingin terisak.

Mama menggantungkan semua pekerjaannya di dapur. Ia menarik keras tanganku dan mengeluarkan kata-kata yang tak kalah terkutuk kepada laki-laki itu. Sekarang mereka yang beradu di ruang yang gaduh tanpa penengah. Laki-laki itu selalu menyalahkan mama. Entah mengapa air mataku terbuang setiap hari. Penolongku hanya di waktu rumah tanpa laki-laki yang setengah sadar setiap kali menerima undangan pesta di kampong.

***

Aku terkejut bukan main melihat botol-botol tuo memenuhi meja para tuan kampung. Rahang binatang berkaki empat sudah berada di depan pemabuk itu. Seketika kedua tanganku berada di mulutku. Ia berdiri di depan masyarakat kampung, berbicara seperti tong kosong. Mataku dipenuhi orang-orang yang sedang bergunjing tentang dia. Ada suara kecil dari seberangku yang berseru "turun..." membuatku tunduk. Tawa pecah bercampur sorak riuh masyarakat kampung selesai ia berpidato.

Langkahnya tak beraturan, dipegangnya tiang-tiang untuk menuntun kembali duduk. Diapitnya gelas kecil yang berada di depannya, bersulang dengan laki-laki yang berdompet tebal di kampung. Ia juga tak kalah mampu, diperlihatkannya berlembar-lembar cetakan bank yang membuat merah mataku.

Penasaranku bertambah melihat amplop tebal di saku bajunya. Kerusuhan apa yang telah menanti di depanku. Aku berjalan kerumah menenteng seplastik daging berkaki empat. Ibu-ibu menunjuk ke arahku dengan tatapan pedas. Sesekali para muda bersiul-siul di sepanjang jalan padaku.

"Anak kepala adat?" terlontar dimulut anak kecil seusiaku. Aku bersikap tegar saat semua ingin menghujatku. Aku berjanji untuk membisu tentang apapun yang kusaksikan tentang dia. Olok-olokkan di sekolahku tak kalah membuatku hancur dan meragu. Kutemukan lelah di wajah ibu yang berteduh di bawah daun rumbian dapur. Ia masih tersenyum kepadaku dan menepuk pundakku. Tiba-tiba tangis membajiri pelupuk matanya. Aku hanya menatap ibu dengan berbagai pertanyaan.

"Entah sampai kapan ayahmu berubah. Ibu dengar, ia mengutang ke warung tuo. Ibu-ibu di ladang juga menertawakan pidatonya. Seandainya kamu laki-laki, hentikan berpura-pura mampu di depan semua orang. Kita terseret-seret melunasi isi perut masyarakat kampung nak, ..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun