Bayangkan suatu hari Anda duduk di restoran dan disodori menu dengan pilihan: "Nasi goreng jangkrik, sate ulat sagu, atau burger protein serangga." Apa reaksi pertama Anda? Jijik? Penasaran? Atau justru tertarik?
Meski terdengar eksotis (atau bahkan ekstrem) bagi sebagian orang, serangga sebagai makanan bukanlah hal baru. Di berbagai belahan dunia, seperti Meksiko, Thailand, dan Papua, serangga telah lama menjadi bagian dari kuliner tradisional. Tapi kini, mereka bukan lagi sekadar makanan etnik, serangga mulai dilirik sebagai solusi global untuk krisis pangan dan perubahan iklim.
Makanan Masa Depan: Lebih dari Sekadar Daging
Krisis iklim, melonjaknya populasi, dan terbatasnya sumber daya mendorong ilmuwan dan pelaku industri untuk mencari solusi pangan yang lebih berkelanjutan. Di tengah pencarian itu, muncul pertanyaan besar: dari mana kita akan mendapatkan sumber protein yang cukup di masa depan?
Jawabannya tak selalu daging sapi atau ayam. Saat ini, alternatif seperti jamur, mikroalga, dan serangga muncul sebagai solusi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan tak kalah bergizi.
Mengapa Serangga?
Dibandingkan dengan sapi atau ayam, serangga punya banyak keunggulan:
Tinggi protein, rendah emisi: Kandungan protein ulat dan jangkrik bisa menyaingi daging sapi, tapi dengan jejak karbon yang jauh lebih kecil.
Efisien dalam penggunaan lahan dan air: Serangga bisa dibudidayakan di ruang kecil dan tidak butuh air sebanyak ternak.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!