Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pertemuan

10 Desember 2020   13:00 Diperbarui: 10 Desember 2020   13:06 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bukankah kita percaya, bahwa Tuhan telah menjadi sebaik-baik penjaga atas apa yang kita harapkan, lalu untuk apa lagi segala keluh kesah, luka lama, hati yang pernah patah dan air mata"

"Kita bisa menjadi apapun, teman dalam segala derita, sahabat di segala usia atau kekasih dalam setiap luka dan air mata, tapi kita perlu saling memahami, sembari belajar menghadirkan hati yang baru, hati yang telah rela atas segala ketentuanNya, hati yang sanggup menerima segala takdir dan ketetapanNya dan hati yang terjaga dari segala prasangka"

Aku berkata sambil merapikan jilbab yang tersampir di bahu kiri. Kita memilih duduk bersisian, agar sama-sama dapat menikmati danau dan semua ketenangannya, mengalunkan nafas seirama gelombangnya yang hampir tak terlihat.

Cangkir kopimu telah kosong, kau telah menyesap seluruh isinya, aku berharap semoga kau juga sanggup menyerap segala hal, yang baru saja aku sampaikan.

Mungkin kita sama-sama pernah menyimpan mimpi, tentang bagaimana menenggelamkan rasa di dasar danau sembari menahan gigil desau angin hingga ke jiwa-jiwa.

Hari mulai memasuki magrib, kabut-kabut kian tebal menutupi danau dan bukit. Kau masih tetap diam, menunggu masih adakah yang akan kukatakan.

Namun, hujan seperti membasahi segala angan. Aku memutuskan untuk menyudahi pembicaraan. Pertemuan ini begitu tiba-tiba dan memaksa, meski aku juga menyukainya.

Aku rela meninggalkan tumpukan pekerjaan dan memilih merasai segenap waktu yang kini dilewatkan bersamamu, menyesap sisa kopi terakhir yang telah dibiarkan dingin sejak ashar.

Aku tahu, kau ingin menyampaikan sesuatu, setelah sekian lama mata kita tak bertatap begitu dalam. Semoga kau paham, kalimatku yang begitu panjang barusan, bukan untuk bermaksud mengkhotbahi atau menghakimi pikiran dan perasaanmu.

Kita pernah menatap satu keindahan dan kesedihan sekaligus, seperti ranting-ranting kering yang tetap kokoh meski tanpa dedaunan, dan kita begitu kagum atasnya. Takjub pada ketegarannya.

Kita juga pernah mendamba sebuah pertemuan, entah kapan, sebab kita tidak dapat memastikan waktu dan ruang yang tepat untuk berbagi beban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun