Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sikap Priyayi: Perusak Mental dan Moral, Apa Solusinya?

31 Juli 2022   00:59 Diperbarui: 31 Juli 2022   01:04 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi otak. 2012 Sumber: Shutterstock/pixeldreams.eu by merdeka.com

 

"Sikap mental melayani merupakan langkah kongkrit memulai perubahan, menjadi pejuang pembaharu dan penyebar benih unggul kebajikan dalam terciptanya kebaruan dan kemaslahatan bangsa dan negara, maka perubahan merupakan harga mati menuju kebajikan."

Mungkin akibat Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda dan Jepang, sehingga mental priyayi ini mengakar dan menembus sumsum tulang rakyat Indonesia, sehingga masih terasa pengaruhnya sampai sekarang.

Manusia yang bersikap priyayi sudah terbiasa dihormati dan dilayani, bukan melayani. Mental priyayi seperti ini tidak terlepas dari pengaruh kedudukan atau status sosial, sehingga selalu ingin dihormati, dipuja dan dipuji.

Paradigma berpikir dan bermental priyayi di masyarakat, diidentikkan pada posisi sebagai "penguasa". Sehingga mindset itulah yang membawa arah menuju cita-cita dan keinginan untuk mendapat sebuah pengakuan.

Pendapat umum di masyarakat bahwa kesempatan terbaik mendapatkan posisi itu, hanya bisa melalui satu jalan adalah menjadi aparat birokrasi - mindset pegawai - pegawai negeri sipil atau aparat sipil negara terlebih dahulu.

Terbentuk Dalam Keluarga

Segala sesuatu kegiatan, sejak dini dari rumah atau sikap orang tua, pendidikan di sekolah - intrakurikuler/ekstrakurikuler - semua membentuk pikiran "keinginan" kuat dan keras menjadi aparat negara saja.

Terlebih desakan datang dari orang tua, ingin anaknya menjadi pegawai kantoran. Orang tua baru merasa sukses atau hanya bisa bangga kalau sang anak menjadi pegawai kantoran yang bergaji tetap, dibanding meniti karir menjadi seorang pengusaha.

Hal inilah yang merasuki otak bangsa Indonesia, sehingga pemikiran anak bangsa lumpuh dan tidak memiliki keberanian mandiri dan sikap kritis menjadi hilang ditelan hedonisme.

Karena tertanam mindset pegawai, bukan mental bebas sebagai pengusaha atau entrepreneurship. Lingkungan yang "memaksa" membentuk mindset pegawai, ini merupakan benih mental korup, terlahir sejak dini.

Birokrasi Bermental Priyayi

Sampai pada ahirnya duduk menjadi aparat di birokrasi, mental priyayi itu terbawa. Berlagak penguasa yang ingin selalu diberi "karpet merah" kemanapun pergi dan berada.

Pada saat duduk jadi pejabat, tidak boleh disanggah. Sedikit ada yang kritis, sudah dianggap menentang atau membangkan, dinilai salah dan tidak sopan dalam menyampaikan setiap pendapatnya.

Padahal sikap kritis adalah sikap peka terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar lingkungan. Berpikir kritis adalah berpikir secara cerdas dan solutif dengan narasi dan sumber-sumber yang jelas dan logis.

Rakyat selalu diminta menundukkan pandangan, dilarang menaikkan suara. Persis Kasta jelata masa EDO (era shogun) di Jepang, yang mana rakyat bisa dipancung hanya karena menatap bangsawan.

Penghambat revolusi mental itu karena mental priyayi ini belum berubah di masa orde reformasi, terus berlanjut sejak masa penjajahan - kerajaan - ke masa orde baru, tanpa ikut direformasi.

Jadi, modal profesionalisme tidak terlalu dibutuhkan dalam tugas keseharian. Tidak jadi soal mau mampu atau tidaknya dalam bekerja, yang penting masih kerabat dan bersedia menjadi pengikut apa kata paduka.

Bila demikian adanya, maka yang harus dimiliki adalah skill atau kemampuan menguasai tatakrama "3S" yaitu sowan, sungkem dan setor. Jadi penurut saja - ABS/AIS - sebagai modal utamanya.

Perlakuan super spesialis inilah yang mempatri mentalitas aparat birokrasi yang masih menggrogoti bangsa Indonesia, inilah sebenarnya yang dimaksud perlunya "revolusi mental" yang diinginkan oleh Nawacita Presiden Jokowi.

Bagaimana Solusinya?

Langkah pertama harus disadari untuk segera merubah mindset bahwa aparat birokrasi itu justru bukan dilayani tapi melayani untuk berbuat kebajikan kepada rakyat dan bangsa.

Melayani berarti tangan di atas dan akan lebih mulia daripada tangan di bawah atau dilayani. Maka jadilah pelayan dengan cara entrepreneurship mindset, apapun bidang pekerjaannya, pegawai negeri ataupun swasta.

Mutlak dan harga mati untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih produktif - entrepreneurship mindset - yang memiliki keyakinan kuat bahwa hidup dapat diperbaiki dan menjalani hidup dengan cara mereka sendiri untuk bisa dilaksanakan.

Artinya kalau mau hidup bebas dan menjadi kaya, jangan bermindset pegawai. Tapi rubah mindset menjadi entrepreneurship mindset. Jangan jadikan alternatif sebagai pengusaha, tapi sebuah pilihan. Bila terjadi kondisi demikian maka sikap priyayi akan ikut terkikis.

Seluruh komponen bangsa, mulai dari rumah tangga, masuk ke dunia pendidikan, pekerjaan, perusahaan, bisnis dan aparat birokrasi perlu diberikan program utama dengan pemahaman terhadap produktifitas serta bagaimana memiliki jiwa wiraswasta atau entrepreneurship mindset.

Termasuk birokrasi perlu berjiwa bisnis, agar memahami proses. Ahirnya tidak menghalalkan segala cara yang licik untuk memenuhi keinginannya. Tapi bila memahami proses, tentu akan berpikir dan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya yang mengikuti proses.

Sebagai kunci mendobrak mental dan moral yang sakit akibat sikap priyayi yang kental. Agar kepekaan terhadap ilmu pengetahuan, emosional dan spritual bisa linier menuju hidup dan kehidupan yang kritis, solutif untuk memberi kebajikan.

Karena hanya sikap kritis yang bisa membangun mental dan moral yang Pancasilais, untuk menjadi pelayan bagi diri, keluarga dan rakyat Indonesia yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bukan bermental dilayani,tapi melayani.

Ahirnya solusi atas revolusi mental dapat membongkar pola pikir dan pola tindak negatif serta mentalitas lama - priyayi - sehingga lebih terbuka dalam menyingkapi berbagai tantangan pembangunan yang ada.

Jakarta, 31 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun