"Hargailah selagi seseorang yang masih mau bertahan, karena bertahan lebih sulit dibandingkan melepaskan."
Sebuah catatan untuk Prabowo Subianto menjelang Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra, di Sentul Bogor, Jawa Barat (30/7), terkait sikap politik menuju Pemilu Presiden atau Pilpres 2024. [1]
Kalau Megawati dan Presiden Jokowi salah kalkulasi dalam manuvernya menghadapi kandidasi Pilpres 2024, maka akan jadi korban dan Prabowo Subianto diprediksi akan menangkan permainan politik pada masa injury time.
Sangat terbaca matematika strategi politik gerilya Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum DPP Partai Gerindra, pasca kalah di Pilpres 2019. Menerima pinangan Presiden Jokowi, untuk masuk di jajaran Kabinet Jokowi-Ma'ruf dan bersedia duduk pada posisi Menteri Pertahanan.
Prabowo Subianto tidak menjadi oposisi, tapi malah mendukung Jokowi-Ma'ruf yang diusung oleh kompetitor beratnya adalah Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dan Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai NasDem, aneh?.
Tentu ini bukan kalkulasi murahan dari seorang Prabowo Subianto, tapi tentu punya kalkulasi strategi yang matang dan jitu.Â
Berharap jauh ke depan, tentu dengan harap-harap cemas akan mendapat dukungan dari Megawati dan Presiden Jokowi pada Pilpres 2024. Tapi rupanya jauh panggang dari api.Â
Baca juga:Â Mengulik Kontradiktif Keinginan PDI-P dan NasDem di Pilpres 2024.
Prabowo Subianto dengan gerbongnya Partai Gerindra, harus kerja keras untuk mengantar dirinya sendiri menjadi RI satu, dimana pernah gagal sebanyak tiga kali. Tapi sepertinya Prabowo Subianto akan menang di Pilpres 2024, sepanjang punya pasangan yang mumpuni.
Istilah dalam politik "Tiada Kawan dan Lawan Abadi, yang abadi hanyalah Kepentingan" masih ampuh dijadikan sebagai kalimat 'magis' oleh politikus sebagai pembenaran sikap.
Bisa saja dibenarkan dua frasa kata antara "abadi pada kepentingan", namun tentu tidak terlepas dengan perhitungan matang dan yang terkait dengan etika serta konsistensi dalam politik.