Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Lingkaran Setan Solusi Sampah Plastik Indonesia

9 Januari 2020   10:55 Diperbarui: 9 Januari 2020   16:00 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Penggunaan kantong plastik berisi sampah di salah satu TPS di Ciracas Jakarta Timur sebelum sampah diangkut ke TPST Bantargebang Bekasi. Sumber: Dokpri.

Adanya Peraturan Gubernur Jakarta tentang larangan kantong plastik, diprediksi akan menjadi pintu masuk aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang pada kebijakan KPB-KPTG tahun 2016-2019 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Setelah Gubernur Bali dan beberapa Bupati dan Walikota di Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik, PS-Foam dan sedotan plastik. Kini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga ikut-ikutan mengeluarkan kebijakan populis tidak mendidik, malah merugikan berbagai pihak dan termasuk merugikan rakyat serta pemerintah sendiri. 

Keputusan Gubernur Jakarta tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No.  142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Rencananya akan berlaku efektif tanggal 1 Juli 2020. 

Jelas kebijakan ini jauh panggang dari api untuk dijadikan solusi  perubahan paradigma kelola sampah plastik. Terlebih sampah secara umum. Padahal penulis telah menyampaikan secara langsung pada Anies Baswedan, bahwa buatlah kebijakan solusi sampah bersifat makro. Jangan hanya solusi kantong plastik saja, di Balaikota Jakarta (9/8/19)

Bahkan Jakarta lebih parah dari pada daerah lainnya karena mewajibkan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan pada pusat perbelanjaan, toko swalayan dan pasar rakyat. Padahal sesungguhnya tidak ada kantong belanja yang ramah lingkungan bila bersentuhan tanah. Baik itu kantong belanja plastik maupun kertas atau bahan lainnya.

Satu-satunya bahan kantong belanja yang ramah lingkungan, murah dan bisa di daur ulang adalah wadah atau kantong berbahan baku plastik. Seperti yang dipakai selama ini secara umum. Karena kantong tersebut bisa di daur ulang, justru itulah tergolong ramah lingkungan. 

Semua produk plastik atau lainnya akan ramah lingkungan bila kita ramah terhadapnya. Sebaliknya akan tidak ramah lingkungan bila hanya dibiarkan atau dibuang bebas diatas tanah dan air.

Baca juga:

DKI Larang Kantong Plastik, KLHK Siapkan Insentif Rp 11 Miliar  Alasan Anies Baswedan Larang Kantong Plastik Sekali Pakai

Pemerintah hanya membuat plesetan kalimat "ramah lingkungan" yang kekanak-kanakan tidak profesional dan memaknai ramah lingkungan bukan pada substansi yang tertuang dalam regulasi persampahan dengan fokus pada kelola sampah sebagai arti ramah lingkungan.

Kebijakan pelarangan produk kantong plastik, diduga diciptakan sebuah strategi seakan "merencanakan" solusi sampah plastik. Padahal tujuannya tetap pada status quo atau paradigma lama dengan tidak mengelola sampah di sumbernya. Tidak ada niat untuk merubah paradigma. Benar-benar solusi sampah plastik ini seperti lingkaran setan yang diciptakan oleh oknum penguasa dan pengusaha. 

Issu plastik dipopulerkan untuk menghindari aplikasi Pasal 13,21 dan 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Dimana solusi sampah seharusnya dikelola pada sumber timbulannya, bukan di kelola pada Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA). TPA diperuntukkan hanya menampung residu sampah. 

Artinya Sampah harus dikelola, itu paradigma baru kelola sampah berbasis UUPS dan bukan menghindari adanya sampah dengan cara melarang menggunakan produk plastik. 

Sampah tercipta, berarti ada peningkatan daya beli. Larangan penggunaan produk itu merupakan solusi pembohongan dan pembodohan publik. Itupun tidak ada dalam regulasi. Hanya akal-akalan saja oleh oknum penguasa dan pengusaha. 

Melarang penggunaan produk dalam solusi sampah sama saja mengingkari peradaban. Banyaknya produksi sampah linear dengan peningkatan daya beli atau meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat. Karena adanya produksi berarti mengisi ceruk pasar atas adanya kebutuhan masyarakat. Hanya saja sampahnya harus dikelola dengan baik di sumbernya. 

Tugas pemerintah, pengusaha dan masyarakat bersinergi menciptakan sistem tata  kelola yang baik dengan pendekatan berbasis regulasi. Baik pendekatan sosial budaya maupun pendekatan bisnis. Karena sampah merupakan komoditi industri. Berarti ada ekonomi dalam sampah. 

Ilustrasi: Bukti penjualan kantong plastik atas kebijakan KPB-KPTG oleh KLHK 2016-2020 dimana harganya bervariasi diantaranya 200, 400 dll. Sumber: Dokpri.
Ilustrasi: Bukti penjualan kantong plastik atas kebijakan KPB-KPTG oleh KLHK 2016-2020 dimana harganya bervariasi diantaranya 200, 400 dll. Sumber: Dokpri.
KPB-KPTG vs Larangan Kantong Plastik

Kebijakan pelarangan penggunaan produk yang dilakukan pemerintah itu sekaligus terindikasi adanya dorongan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dari dulu ingin menutup borok kebijakannya yang sangat keliru atas Kantong Plastik Berbayar (KPB) sejak 21 Februari 2016. 

Beberapa bulan kemudian karena adanya protes masyarakat, KPB diganti nama menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) dan KPB-KPTG telah dilaksanakan penjualan kantong plastik sejak tahun 2016 sampai sekarang di ritel dan pasar modern lainnya. Ahirnya merebaklah issu plastik yang berkepanjangan sampai sekarang.

Atas dasar issu plastik inilah, muncul berbagai gerakan populis seremoni dari lintas kementerian lembaga (K/L) sampai dengan kegiatan peduli lingkungan di masyarakat yang tidak terstruktur atau tidak terpola dengan sebuah sistem yang berbasis regulasi. 

Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati menuturkan pelarangan ini akan mengurangi sampah plastik yang dihasilkan rumah tangga. 

Pernyataan Dirjen PSLB3 KLHK sangat keliru dan tidak memahami masalah dengan peningkatan peradaban dan bagaimana harusnya menciptakan solusi sampah. Juga tidak memahami hakekat sinergitas K/L dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Jaktranas Sampah. 

"Kita siapkan dana insentif daerah untuk Pemda yang (berhasil) mengurangi sampah," kata Vivien di Istana Wakil Presiden Jakarta, (8/7/2020). Ya benar Bu Dirjen, tapi insentif itu memang kewajiban pemerintah. Tapi mengurangi sampah bukan melarang penggunaan produk itu. 

Malah seharusnya Dirjen PSLB3 KLHK memberi insentif kepada pemulung, pelapak, pengelola sampah atau bank sampah bersama industri daur ulang yang selama ini beraktifitas mengurangi dan mengelola sampah. Padahal semua sudah diatur dalam Pasal 21 UUPS. Tapi yang diiming-iming insentif adalah pemda yang melarang kantong plastik. Bukankah itu sebuah tindakan subyektif ? 

Sebijaknya Ibu Vivien meluruskan kebijakan KPB-KPTG yang bermasalah sejak ditinggalkan Ibu Tuti Hendrawati Mintarsih mantan Dirjen PSLB3 KLHK. Jangan dibiarkan begitu saja, karena jelas akan menjadi masalah besar dikemudian hari. 

Harap buka dan baca solusi yang telah kami Green Indonesia Foundation berikan ke Ditjen PSLB3 KLHK ahir 2016 lalu dan telaah bersama lintas K/L dan asosiasi kompeten. Jangan menambah masalah diatas masalah. Triliunan rupiah hasil penjualan kantong plastik oleh ritel pasar modern sejak 2016 sampai sekarang. Kemana uang itu ? Pastilah rakyat akan kejar dana KPB-KPTG itu. 

Aneh, satu sisi KLHK membiarkan penjualan kantong plastik sejak 2016 sampai sekarang dan dilain sisi mendorong pelarangan penggunaan kantong plastik. Seharusnya aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dan penyidikan (lidik/sidik) atas kebijakan yang kontra produktif.

Baca juga:
Mulai 1 Juli, Pemprov DKI Larang Swalayan & Pasar Tradisional Pakai Kantong Plastik
Sah! Gubernur Anies Larang Penggunaan Plastik Sekali Pakai

Pelarangan Berbuah Resistensi

Banyak kalangan protes kebijakan pelarangan ini, mulai dari masyarakat, dunia usaha industri daur ulang plastik sampai pada para pedagang pasar rakyat ataupun pasar modern. 

Bagi mereka, peraturan itu dinilai akan menyusahkan karena belum ada alternatif pengganti kantong plastik. Juga sama saja pemerintah dan pemda menyuruh pedagang melanggar hukum atas kewajiban penjual yang harus menyiapkan kantong belanja secara gratis (pelayanan konsumen). Walau sesungguhnya tidak gratis, karena nilainya diakumulasi pada barang jualannya. 

Para pedagang menganggap pengganti kantong plastik yang diarahkan pemerintah seperti tas belanja yang bisa digunakan berulang kali menyulitkan pembeli dan dirinya sebagai pedagang. Pakai apa nanti kalau tidak pakai kantong plastik. Kantong plastiklah sebagai wadah yang umum dan murah, serta ramah lingkungan karena kantong plastik 100% dapat di daur ulang.

Sekedar diketahui bahwa pembeli yang datang dari rumah bisa saja tidak merasa keberatan membawa tas tersebut. Namun, pembeli yang mampir ke pasar seperti pegawai kantoran, atau bisa spontan belanja, pasti akan merasa kesulitan bila pedagang tidak menyiapkan wadah tempat barang belanjaan. Kantong belanja merupakan hak konsumen dan kewajiban penjual atau pedagang.

Hal itu tidak dipikirkan oleh pemerintah dan pemda. Hanya ciptakan solusi tanpa pertimbangan matang. Mengabaikan regulasi persampahan serta beragam solusinya berbasis komunal. Bukankah hal itu memotong leher usaha industri daur ulang plastik dengan cara melarang pakai produk industrinya yang nyata mendukung para pengelola sampah. 

Dalam UUPS tidak ada satupun prasa atau kata "melarang" didalamnya dalam solusi sampah. Tapi dalam regulasi, sampah harus dikelola di sumber timbulannya (Pasal 13 dan 45 UUPS). Pasal 45 UUPS dengan tegas tertulis "wajib" dijalankan sejak 2009, setahun setelah UUPS diundangkan pada tahun 2008.

Baca juga:

Kebijakan Hoaks Melarang Penggunaan Kantong Plastik Sampah Plastik Tidak Ramah Tanah

Ilustrasi: Penulis bersama lintas asosiasi plastik audience dengan Anies Baswedan Gubernur Jakarta (9/12/2019). Sumber: Dokpri
Ilustrasi: Penulis bersama lintas asosiasi plastik audience dengan Anies Baswedan Gubernur Jakarta (9/12/2019). Sumber: Dokpri
Gubernur Jakarta Tidak Komitmen.

Pada bulan Agustus 2019, penulis bersama pengurus pusat Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), INAPLAS dan ASPADIN menemui Gubernur Jakarta Anies Baswedan di Balaikota Jakarta dalam masalah pelarangan kantong plastik dan menyampaikan hal ihwal efek buruk dari pelarangan dan solusinya.

Anies berjanji dan menyatakan tidak akan gegabah mengeluarkan kebijakan yang bisa merugikan semua pihak. Karena Anies berpendapat bahwa dalam mengatasi sampah, perlu kajian mendalam dan ada dua hal mendasari yang perlu jadi perhatian yaitu ecologi dan economi.

"Selaku Gubernur Jakarta menyatakan bahwa, yakinlah kami tidak akan mengeluarkan kebijakan pelarangan mengikuti pemda lain seakan dikejar deadline" demikian Anies didepan penulis beserta pengurus asosiasi tersebut yang hadir di Balaikota Jakarta (9/8/2019).

Tapi pada kenyataannya Anies selaku Gubernur Jakarta ahirnya mengeluarkan juga kebijakan pelarangan kantong plastik tersebut yang akan diberlakukan efektif tanggal 1 Juli 2020. Anies benar-benar tidak komitmen dan ingkar kata pada apa yang diucapkannya. 

Sepertinya Anies dan staf ahlinya bersama Kadis Lingkungan Hidup DKI Jakarta tidak faham masalah plastik sekali pakai (PSP) dan regulasi sampah, bila hanya menyasar kantong plastik yang dianggap PSP dan tidak membandingkan PSP lainnya serta bagaimana solusi sampah yang sebenarnya. Istilah PSP semakin bias dan tidak jelas arahnya. 

Selain kantong plastik sangat dibutuhkan dalam proses jual beli barang di pasar rakyat dan pasar modern. Pedagang wajib menyerahkan barang yang dibeli secara utuh dan sempurna kepada pembeli, artinya barang harus dilengkapi dengan wadah atau kantong kemasan kepada pembeli. Hal ini juga tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Maka dapat disimpulkan bahwa kantong plastik itu berfungsi ganda. Baik sebagai wadah tempat barang belanjaan atau barang bawaan maupun sebagai tempat sampah. Juga menjadi bahan baku yang dapat di daur ulang oleh industri berbahan baku kantong plastik. Berarti kantong plastik tidak tergolong PSP dan layak di daur ulang. 

Parahnya karena fokus pelarangan adalah kantong plastik sebagaimana pada Pasal 5 Ayat 1 aturan tersebut menyebutkan pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat wajib mengunakan kantong belanja ramah lingkungan. Namun, dalam pasal 5 Ayat 2, diatur larangan kantong belanja plastik sekali pakai.

Padahal masih banyak juga jenis PSP lainnya yang tidak diberlakukan bila alasan mengurangi sampah. Berdasarkan pemantauan di lapangan, dari sekitar 7.000 ton sampah Jakarta per hari itu, di kisaran 14 persennya adalah sampah-sampah yang berasal dari material plastik. Ada sekitar 1 persen adalah kantong kresek (plastik). Kenapa dengan jumlah kecil itu bisa meresahkan ?

Sangat keliru pemerintah dan pemda bila keputusan ini atas dasar pertimbangan mengurangi timbunan sampah yang bersumber dari kantong plastik dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan terwujudnya lingkungan yang bersih dan sehat. Solusi mati akal karena bukan demikian solusinya.

Solusi akal-akalan saja, kenapa sekalian saja Presiden Jokowi mengeluarkan keputusan larangan memproduksi kantong plastik kalau dianggap bermasalah plastik ini. 

Tindakan pemerintah ini sangat curang karena perusahaan dituntut kewajiban bayar pajak, tapi dilarang produknya untuk dipakai. Lebih parahnya pemerintah tidak membuat analisa masalah dan solusinya sebelum menerbitkan kebijakan.

Strategi yang komprehensif dan terpadu dalam upaya pencegahan dan penanganan terhadap dampak negatif penggunaan plastik bukan dengan pembatasan penggunaan kantong belanja berbahan plastik. 

Tapi pembatasan sampahnya ke TPA, dengan cara mengelola sampah plastik setelah dipergunakan. Plastik apapun jenisnya bisa dan layak dikelola bila memenuhi standar atau volume kapasitas mesin terpasang.

Baca juga:
Masih Gunakan Kantong Plastik, Pusat Perbelanjaan Bakal Didenda Rp 25 Juta Hingga Cabut Izin Usaha

KLHK selaku leading sector persampahan, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.75/Menlhk/Setjen/Kum/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. Permen LH ini diundangkan Tanggal 5 Desember 2019, sedangkan Pergub  Jakarta diundangkan 31 Desember 2019.

Pemerintah dan pemda dalam sikapi sampah plastik, terlalu berputar-putar dengan sumbunya hanya berpikir pada sampah plastik. Terkhusus pada kantong plastik. Terlalu dihebohkan, ahirnya mengabaikan sampah organik yang volunenya dominan di Indonesia untuk dikelola menjadi pupuk organik dan biogas.

Kelihatan dan sangat jelas bahwa dorongan kebijakan pelarangan kantong plastik ini bersumber pada kegagalan atau tidak lancarnya rencana semu oleh oknum elit penguasa dan pengusaha atas KPB-KPTG sejak tanggal 21 Februari 2016 dan sampai saat ini masih berjalan. Alibi dan modusnya sangat jelas ingin menyelamatkan dana triliunan KPB-KPTG. Diduga dana KPB-KPTG sudah liar kesana kemari bermodel gratifikasi. 

Pemerintah dan pemda sangat keliru sikapi regulasi sampah, karena kantong plastik yang dilarang tersebut juga belum ada alternatif pengganti. Harusnya disiapkan penggantinya baru berlakukan kebijakan pelarangan bila dianggap merusak lingkungan.

Ada sebagian perusahaan mengklaim produknya ramah lingkungan bila tersentuh dengan tanah, itu hanya halusinasi atau merupakan pembohongan publik saja. Sesungguhnya tidak ada plastik yang ramah lingkungan dengan bersentuhan tanah kecuali hanya bisa di daur ulang.

Pemerintah salah sikap terhadap PSP yang katanya tidak bisa di daur ulang. Semua plastik yang beredar bisa di daur ulang. Kecuali jenis oxo harus tunggal sejenis. Artinya tidak bisa dimix dengan plastik konvensional.

Paling penting pula pemerintah terlebih dahulu memerintahkan industri untuk melakukan perubahan bahan baku atau revormula dan redesign agar produk plastiknya dapat bernilai ekonomi untuk di daur ulang sehingga tidak menjadi sampah.

Watampone, 9 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun