Mohon tunggu...
Haryanto Ibnu Matlap
Haryanto Ibnu Matlap Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Rantau

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Denda Maksimal bagi Penerobos Jalur Busway? Cukup Bayar 20 Ribu Rupiah Aja!

9 Januari 2014   19:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sudah kalau mau dibantu 100rb aja sini”

“Waduh, jangan lah pak, gada saya duit segitu, saya ini mahasiswa rantauan, tinggal numpang dirumah sodara, duit kemarin abis buat bikin skripsi”

“Yaudah, kalo begitu kamu slesaikan di persidangan aja”

“Wah janganlah, tolong dibantu ah pak”

“Yasudah 50rb aja kalo bgitu deh”

“Aduh, Ga ada juga kalo segitu Pak”

“Yasudah, Kamu tandatanganin ini untuk siding di pengadilan hari jumat”

(Saya coret asal - asalan pada kolom tanda tangan kertas tilang)

“Yasudah, sini deh, ada berapa ini?”

“Ya ada lah itu Pak”

(Sambil tanganku menyerahkan 2 lembar 10rb-an melalui “bawah tangan”)

Akhirnya polisi mengembalikan STNK dan KTM-ku serta mepersilakan melanjutkan perjalanan.

Itulah kejadian pada suatu siang karena penulis nekat menerobos jalur busway di depan Stasiun Jatinegara. Kondisi jalan depan stasiun memang selalu macet pada siang hari dan baru lengah setelah masuk tengah malam. Kemacetan ini diakibatkan PKL yang berjualan sembarangan, angkot yang seenaknya nge-tem dan beberapa kendaraan yang parkir liar.

Merasa muak dan sebagai bentuk protes atas kondisi ini, ada kesengajaan penulis untuk menerobos masuk jalur busway yang memang terlihat lengang. Sangat berbeda kondisinya dengan jalan umum yang penuh sesak kendaraan berebutan jalan. Penulis sangat paham dengan konsekuensi apa yang akan diterima. Peraturan penerapan denda maksimal Rp 500.000, bagi pengendara umum yang masuk jalur busway (katanya) telah diterapkan. Benar saja, beberapa polisi telah bersiap menghadang pengendara yang masuk jalur busway tersebut. Petugas polisi sempat menggertak akan mengenakan denda maksimal Rp 500.000,. Ditambah STNK yang telah kadaluarsa dan SIM yang tidak ada, semakin membuat petugas bernafsu memberikan sangsi yang berat. Namun, seperti diaog yang terjadi diawal, penulis berhasil lolos dengan cukup membayar Rp 20.000,- kepada petugas polisi.

Poin yang ingin disampaikan penulis disini adalah bahwa pertama, kebijakan penerapan denda maksimal bagi pengendara umum yang menerobos jalur busway dirasa sangat konyol kalau tidak mau disebut “kejam”. Dengan semrawutnya manajemen transportasi di Jakarta bahkan di semua kota di Indonesia, sangat wajar rasanya jika banyak pelanggaran lalu lintas yang terjadi dijalanan. Pada prinsipnya, penulis yakin tidak ada pengendara yang ingin melanggar aturan tetapi karena kenyataan mereka merasa “tersiksa” dijalan akibat kemacetaan dimana mana, maka pengendara akan melakukan pelangaran agar perjalanannya lancar. Ditambah tidak adanya ketegasan hukum dari para penegak hukum, membuat praktek suap - menyuap dujalanan sudah menjadi kebiasaan yang lumrah selama puluhan tahun.

Kedua, alih – alih melakukan razia rutin bagi pengendara, sebaiknya pihak berwenang (baik polri, dishub, atau apapun) melakukan langkah – langkah konkret berkelanjutan untuk dapat mengurai kemacetan yang semakin menggila. Tindakan – tindakan penertiban PKL atau parkir liar sebagai biang kemacetan mungkin sudah dilakukan, tetapi -istilah umumnya- hanya bersifat “hangat- hangat tai ayam”. Alasan kekurangan personil atau keterbatasan anggaran saya kira sudah terdengar klise jika tidak mau disebut cuma “ngeles”.

Ketiga, sampai kapan kinerja Polri akan terus begini? sudah menjadi rahasia umum bahwa imej institusi polri dimata masyrakat sangat buruk. Beberapa survey bahkan sering menempatkan institusi polri di posisi teratas sebagai salah satu institusi terkorup di negeri ini. Banyaknya pemberitaan mengenai rekening gendut sejumlah pejabat polri bahkan beberapa jendral polri terbukti melakukan tindakan korupsi benar – benar meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada polisi. Jadi, tidak heran jika beberapa waktu lalu banyak kasus penembakan dan teror ditujukan kepada anggota polri. Teror ini bahkan bisa juga diartikan teror kepada institusi polri secara umum. Ironisnya, terhadap kejahatan yang menimpa pada tubuhnya sendiri pun, polri tidak mampu bertindak tegas, yakni dengan menangkap pelaku teror dan memberikan hukuman. Lalu, bagaimana polisi bisa melindungi dan member jaminan rasa keamanan kepada masyarakat?

Keempat, setiap kebijakan pemerintah yang dikeluarkan seharusnya benar – benar disesuaikan dengan realitas di lapangan. Jangan sampai keluarnya suatu kebijakan justru malah membebani dan menyengsarakan masyarakat. Belum siapnya moda transportasi umum yang layak, jelas tidak tepat rasanya jika dibarengi dengan sangsi hukuman yang berat bagi pelanggar lalu lintas (denda maksimal kepada penerobos jalur busway). Ditambah tidak tegasnya penegakan hukum bagi pelanggaran justru membuat seolah – olah kebijakan ini hanya sebagai “guyonan” yang layak dipermainkan. Terlihat bahwa jam – jam sibuk pagi dan sore hari, petugas kepolisian tidak berdaya atau bahkan mempersilahkan pengendara umum masuk kedalam jalur busway. Belum lagi penyerobotan yang dilakukan pejabat pemerintah maupun kendaraan dinas intansi pemerintah lain yang tidak berani ditindak tegas oleh petugas.

Kelima, lalu apa yang kita semua bisa lakukan sekarang? Jawaban dari masing – masing sahabat dan sodara – sodara sekalian saya kira lebih penting dari semua apa yang saya paparkan diatas..

Oleh:

Haryanto

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun