[caption id="attachment_391135" align="aligncenter" width="600" caption="Kisah Sepi dan Kopi"][/caption]
Malam itu, Saya tak lagi jaga sendiri, kini ada yang menemani, Sepi. Lewat tengah malam,
Sepi membuatkan Saya kopi hitam. Lalu diaduknya perlahan kopi itu, dalam
keheningan, suara sendok yang sesekali menyentuh bibir cangkir, terdengar merdu;
telinga dibuat manja. Seperti alunan lagu melankoli yang mendayu.
Kau mesti tahu, kata Sepi,
kopi tak hanya membuat matamu terjaga dari kantuk
tapi, menlindungimu terhindar dari kutuk.
Diletakkan
kopi itu di meja,
dan
Sepi duduk di pangkuan Saya.
Jemari tangan Sepi merapihkan rambut Saya yang tutupi telinga.
Didekatkan bibir mungil Sepi tepat di mulut telinga Saya. Hangat hembus nafasnya.
"Kopi, seperti halnya lorong waktu,
bisa bawamu ke masa lalu,"
"tapi, kopi
tak mampu hidupkan yang terdahulu," kata Saya,
menimpali ucapan Sepi.
"Biarlah
yang mati itu tenang, kau cukup kenang
apa-apa saja yang membahagiakan --juga yang menyedihkan."
Sedikit diminumnya kopi itu oleh Sepi. Dari bibir mungilnya,
ia tuangkan kopi ke mulut Saya.
Bahkan, kopi dan ciuman,
tak sanggup menolong Saya dari kesepian.
Palmerah, 15 Januari 2015
buat L