Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Membuat Buku dan Sangkuriang yang Tangkuban Perahu

29 September 2015   17:11 Diperbarui: 21 Desember 2018   00:23 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul depan eBook #MeWarKop Melankoli Warung Kopi

MENJADI SANGKURIANG - Dari sekumpulan cerita pendek Agus Noor yang dibukukan dalam “Cerita buat Para Kekasih”, ada satu cerpen (cerita pendek) yang menarik dan sempet koran KOMPAS muat tahun 2012, judulnya: Requiem Kunang-kunang. 

Cerpen itu mengisahkan seekor kunang-kunang yang kembali teringat pada masa di mana kota tempat ia melihat segala indah menjadi mendadak serba gundah. Pembantaian, pembakaran gereja dan sebagainya. Si-Aku dalam cerpen itu, menjadi kunang-kunang terakhir yang dapat menceritakan semua. 

“Kota ini seperti dosa yang pelan-pelan ingin dihanguskan,” begitu yang Agus Noor tulis.

Kunang-kunang itu banyak mengisahkan tentang bagaimana penduduk sebuah kota yang sama sekali begitu mudah melupakan peristiwa masa lalu. 

Dan, salah satu kisahnya adalah perihal kisah cinta Pangeran Ketiga dan Putri Kelima yang saling mencintai. Raja geram pada pertalian cinta keduanya. Tapi cinta, biar bagaimanapun juga, tak pernah bisa memilih akan hinggap ke mana dan pada siapa. 

Tak ada alasan yang masuk akal untuk memisahkan pertalian hubungan Pangeran dan Putri itu. 


Hingga pada satu waktu Permaisuri meminta keduanya untuk mengumpulkan kunang-kunang dalam satu malam yang bila dihamparkan di sebuah teluk dengan rapih maka akan bisa menutupinya.

Pangeran Kelima dan Putri Ketiga yang ternyata adalah saudara sekandung itu menerima permintaan Permaisuri. Lewat kemampuan sihir keduanya, mudah saja dikumpulan semua kunang-kunang yang ada di kota itu. Semua. 

Namun, ketika dikumpulkan ternyata masih jumlah kunang-kunang itu masih kurang. Cinta yang sudah terlampau buta kadang memang bisa membenarkan segala cara, termasuk kekejaman. 

Pangeran dan Putri tak kehabisan akal, maka untuk menutupi kekurangan kunang-kunang itu, mereka berdua mengambil seluruh mata penduduk. Ya, bola mata itu disihir menjadi kunang-kunang.

Pada saat bersamaan Permaisuri mendapat laporan terhadap apa yang dilakukan Pangeran dan Putri mereka. Maka dimintalah prajurit kerajaan untuk mengusir kunang-kunang yang tengah terkumpul di teluk itu agar berterbangan.

Gagal sudah upaya Pangeran dan Putri memenuhi permintaan Permaisuri. 

Di hadapan Raja dan Permaisuri keduanya saling menusuk jantung masing-masing dan mengutuk: akan mengambil seluruh mata penduduk, beserta keturunan yang hidup di kota ini hingga siapapun yang tak harus menanggung dosa menjadi buta. Kamudian mayat keduanya jatuh ke dalam teluk. Dan teluk itu kini bernama: Teluk Duka Cita.

***

Kisah dalam cerpen Requiem Kunang-kunang tersebut, sedikit banyak seperti kembali mengingat pada dongeng Gunung Tangkuban Perahu: kisah cinta Sangkuriang pada Dayang Sumbi yang tak berujung dengan kebahagiaan. 

Sangkuriang diminta oleh Dayang Sumbi membuat perahu dan telaga dalam waktu semalam dengan membendung sungai citarum. Sangkuriang menyanggupi. Lewat bantuan beberapa makhluk halus, tentunya.

Begitu pula ketika membuat proyek eBook ini. Saya, entah mengapa, serasa seperti Sangkuriang saja. Melakukannya atas cinta, meski buta. 

Setiap tahun Perpustakaan Teras Baca dan Saya, secara rutin –paling tidak sudah dilakukan dua tahun belakangan– membuat eBook yang bisa diunduh secara gratisan. Pada tahun ini saya pun ingin mengulanginya untuk yang ketiga kalinya.

Ide membuat eBook ini sudah ada sejak bulan Juni. Dalam pikiran saya selalu bertanya-tanya: eBook seperti apa untuk tahun ini?

Semua memang tidak akan selesai bila hanya dipikirkan. Lambat laun dua bulan lewat begitu saja dengan ide-ide yang berkeliaran di kepala. 

Setiap saya menemukan ide baru, saya selalu konsultasikan pada taman saya, Alvi. Setidaknya ia paham bagaimana aturan main atau paling tidak hukum yang berlaku di dunia sastra. Alvi adalah seorang lulusan Sastra Indonesia, Undip. 

Barangkali itu langkah yang tepat untuk saya menanyakan pada yang memahaminya. Jika membuat ini apa akan tersangkut masalah plagiat atau tidak? Itu yang menjadi patokan saya.

Dunia sastra paling mengharamkan plagiasi. Bahkan untuk ide sekalipun. Bahkan untuk kesamaan dalam penuturan gaya tulisan.

Sudah banyak kasus yang merebak soal plagiat-memplagiat. Terakhir, yang membuming adalah Dwitasari, seeorang penulis perempuan yang-dengan-terjun-bebas membuat musikalisasi puisi di akun soundcloud-nya. 

Mungkin jika Dwitasari adalah saya, yang bukan siapa-siapa ini, bukanlah jadi permasalahan besar. Namun, Dwitasari adalah penulis muda yang diberkahi Tuhan talenta menulis. Buku-bukunya mendapat label “best seller”. Blog pribadinya tak sepi dari pengunjung tiap hari. 

Tapi, mungkin hari itu Dwitasari sengaja atau kehabisan ide untuk caper (cari perhatian) pada pembacanya, entahlah, dan rilislah sebuah musikalisasi puisi yang berjudul “Suatu Malam Ketika Aku Merindmu” milik Khrisna Pabichara. 

Daeng, panggilan akrab Khrisna Pabichara, sebenarnya tidak terlalu keberatan atas tindakan Dwitasari. Tapi ketika Daeng mencoba mengklarifikasinya pada Dwitasari, malah ia yang dituduh balik plagiat. Oleh siapa? Penggemar Garis-Keras Dwitasari, tentunya. 

Di situ saya merasa sedih. Saya kenal Daeng. Saya tahu bagaimana ia mentahbiskan dirinya menjadi penulis dengan berhenti menjadi seorang akuntan yang mungkin memiliki gaji sangat lumayan setiap bulan. Lalu Daeng merantau ke Bogor untuk kemudian mendalami dunia kepenulisan. Pilihannya pun sedikit menantang: menjadi penyair! Bukan novelis atau prosais.

Jika pekerjaan menulis bagai sebuah perjalanan yang tak berujung, maka menjadi penyair, jalan itu adalah jalan yang amat gelap. Saya ingat ketika Daeng pernah mengucapkan ini di perayaan malam puisi, “menulis puisi adalah pekerjaan berdamai dengan kenangan. Rawatlah masalalu, kelak ia yang akan menafkahimu.”

Hati saya mendadak basah mendengar itu. Tuhan terlalu cepat mungkin mempertemukan saya pada Daeng Khrisna, seorang yang begitu agung membuat puisi menjadi barang suci. 

Tapi di luar sana, Dwitasari mengotorinya seperti orang yang lupa menyiram air seninya di toilet umum. Membuat dunia kepenulisan menjadi bau. Itu bahaya! Bahaya karena Dwitasari adalah seorang publik figur yang memungkinkan orang-orang yang berdiri satu shaf di belakangnya mengikuti.

Lama dan lama sekali saya menanam ide di kepala. Ingin seperti apa eBook tahun ini. Hingga pada suatu pagi di stasiun Tanah Abang, saya coba menawarkan ide yang kesekian pada Alvi: bagaimana kalau membuat kumpulan cerpen saja? Bukan sekedar kumpulan, tapi cerpen itu mesti dibuat berdasarkan puisi yang sudah ada?

Alvi diam dan saya mencari tiang untuk senderan. Ya, begitu jawabnya. Lalu puisi siapa yang akan saya adaptasi untuk dijadikan cerpen? 

Itu pun kembali memakan waktu. Maksudnya, apa hanya cukup mencantumkan nama penulisnya maka selesai perkara? Kembali saya mendebatkan itu pada Alvi. Lama. Lama sekali waktu terbuang percuma. Saya coba tanya sana-sini bagaimana hukumnya. 

Pertama saya coba hubungi kritikus sastra yang sedang kekinian, Arman Dhani. Lagi-lagi saya takut kalau eBook itu jatuh ketangannya, akan bernasib seperti karya-karya orang lain yang pernah ia kritisi. Dan yang pernah booming adalah ketika ia mengkritisi lewat tulisan disebuah portal daring, Lima Buku Tak Layak Terbit 2012. 

Sontak heboh, karena kelima buku ditulis oleh penulis-penulis terkenal. Salah satunya Goenawan Mohammad pada bukunya “Catatan Pinggir 9”. Kata Armad Dhani waktu itu pada saya adalah, tidak semua penulis mau karyanya diadaptasi begitu saja, meski sudah diberi nama penulisnya. Kalau memang bisa, lebih baik izin terlebih dulu. 

Izin. Itu benar adanya, sekaligus menyusahkan tentu saja2.

Meresa kurang puas, saya tanya kembali hal yang sama pada Kang Pepih. Jawabannya lebih kurang sama. Bagaimana mungkin saya meminta izin pada penyair-penyair yang ingin saya buatkan cerpen yang kemudian saya buatkan eBook ini? Selain lama, saya sendiri pesimis akan mendapat izinnya.

Tuhan punya caranya sendiri untuk memberi petunjuk. Hari itu, entah ada acara apa, di perpustakaan Teras Baca tiba-tiba menjadi berantakan. Banyak sampah plastik, puntung-puntung rokok berserakan di lantai dan yang membuat saya jengkel adalah buku-buku di sana rapih! 

Sebenarnya apa yang mereka lakukan di perpus tapi, buku-buku tak disentuh sama sekali? Kepalang kesal, saya berantakan saja sekalian. Buku-buku saya turunkan dari rak, buku yang belum sempat saya data ulang dan masih tersimpan di dalam kardus, saya tuang begitu saja. Malam itu perpus berantakan. Tiba-tiba ayah saya menyusul, dan melihat semua berantakan, saya yang kena omelan.

Akhir pekan saya diisi membereskan perpustakaan. Sendirian. Dan di situlah saya kembali bertemu Daeng Khrisna setelah setahun ini tak jumpa --lewat buku puisinya. Ya, dari puisi-puisi dalam bukunya saja. Sehimpun Sajak Rindu, Pohon Duka Tumbuh di Matamu. 

Saya coba kembali menghubungi Daeng untuk meminta izin, tapi tidak bisa. Saya tanya manager-nya, Ameng, ia sedang tidak di Bogor katanya. Lama. Hingga saya tahu kalau katanya Daeng sedang kambuh sakitnya. Ada peradangan pada kepalanya, semacam vertigo, saya sendiri tidak tahu tepatnya. Saya hanya bisa mendoakan kesembuhan untuk Daeng Khrisna.

Jika saat itu Sangkuriang dibantu oleh makhluk-makhluk yang entah apa nama dan bentuknya demi mendapat cinta Dayang Sumbi, sedangkan saya langsung mendapat bantuan dari yang sesama gaib, Tuhan. Lagi-lagi Tuhan campur tangan. Suatu siang yang terik, secara ajaib Daeng menghubungi saya lewat pesan singkat. Ternyata sebelumnya ia terlebih dulu membuat komunikasi pada Ameng. Siang itu Daeng mengizinkan saya memakai puisi-puisnya.

Pada hari itu juga saya konsep eBook supaya cepat selesai. Tujuan awal dari saya dan teman-teman di Perpustakaan Teras Baca adalah mengajak mereka yang semula tidak begitu niat dalam dunia tulis-menulis untuk mengisinya. Dan perpustakaan Teras Baca menjadi wadahnya buat mereka. Menghargai usaha mereka yang semula tidak ada niatan sama sekali dengan serius. Membukukannya. 

Barangkali dari sana mereka serius dan mendalami dunia tulis-menulis. Susah. Namun dari Pandji Pragiwaksono dibukunya “Merdeka Dalam Bercanda”, ada semangat yang ia suguhkan: susah, tapi pasti bisa.

Saya petakan semua konsep yang ada. Saya membuat mind maping-nya. Jadi eBook ini akan ditulis oleh sebelas penulis dari sebelas puisi Daeng Khisna dibuku Sehimpun Sajak Rindu, Pohon Duka Tumbuh di Matamu. 

Saya ajak orang yang saya kenal maupun tidak. Asal mereka minat bergabung, saya sudah bersyukur sejadi-jadinya. Saya ajak mereka yang saya kenal dengan memasang wajah penuh kasihan. Beberapa menolak. Beberapa yang lain saya diacuhkan. Tak apa, untuk hal semacam itu saya sudah biasa. Sudah kebal.

Terkumpul sebelas orang dari latar yang berbeda: IT, mahasiswa ekonomi juga gizi, kurator Kompasiana, web designer, social media activist, dan lain-lain. Karenanya sejak awal saya cukup jadi editor saja. Tidak usah ikut menulis. Tapi seperti kata orang-orang bijak: seburuk apapun kenyataan, masih jauh lebih baik dari khayalan. 

Dari sebelas orang itu, hanya tersisa tiga. Alvi, Widha dan Desol. Artinya saya hanya mendapat tiga cerpen saja dari sebelas. Untuk menambal kekurangan, saya sendiri akhirnya yang menutupi. Puisi-puisi Daeng Khrisna di buku puisinya itu saya serahkan pada Listhia, seorang Kompasianer yang hanya sering dijumpai vote dan komentarnya di kanal fiksi Kompasiana tapi amat jarang menemui tulisan fiksinya. 

Kalaupun ia menulis puisi atau prosa, itu paling sekedar untuk event-event saja. Tapi padanya, saya percaya. Setidaknya itu dia sendiri yang menawarkan diri. Dan untuk urusan ilustrasi, entah mengapa saya ingat teman saya sewaktu kecil yang selalu mengalahkan saya di lomba menggambar saat lomba 17-an. Setiap tahun selalu ia yang menang. Poli, namanya. Beruntunglah, saat itu sepertinya ia tidak sadar ketika saya mengajaknya. Untung dia profesional. Ia menerima tawaran saya meski lupa kapan pernah saya menawarinya dan ia setuju.

Untuk eBook ketiga ini, saya sendiri kaget kalau bisa menyelesaikannya. Walau proses pembuatannya sudah ada dari tiga bulan lalu, tapi saya hanya merasakan baru semalam saja. Baru kemarin dan hari ini eBook ini sudah ada ditangan pembaca saja.

Mohon maaf sebesar-besarnya dari saya untuk hasil yang jauh lebih baik dari apapun bacaan terburuk kalian semua. Terimakasih, Daeng Khrisna Pabichara. Sungguh, rindu saya padamu ingin ditabung sebanyak apa? Tapi seperti katamu: Bila ada rindu melukaimu akan kuasah parang ini. Sekalipun itu hanya sepi.

 

Penggagas, Kangmas Harry

Perpustakaan @TerasBaca, September 2015 | Unduh eBook Melankoli Warung Kopi... di sini! #MeWarKop

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun