Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Membuat Buku dan Sangkuriang yang Tangkuban Perahu

29 September 2015   17:11 Diperbarui: 21 Desember 2018   00:23 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul depan eBook #MeWarKop Melankoli Warung Kopi

Dunia sastra paling mengharamkan plagiasi. Bahkan untuk ide sekalipun. Bahkan untuk kesamaan dalam penuturan gaya tulisan.

Sudah banyak kasus yang merebak soal plagiat-memplagiat. Terakhir, yang membuming adalah Dwitasari, seeorang penulis perempuan yang-dengan-terjun-bebas membuat musikalisasi puisi di akun soundcloud-nya. 

Mungkin jika Dwitasari adalah saya, yang bukan siapa-siapa ini, bukanlah jadi permasalahan besar. Namun, Dwitasari adalah penulis muda yang diberkahi Tuhan talenta menulis. Buku-bukunya mendapat label “best seller”. Blog pribadinya tak sepi dari pengunjung tiap hari. 

Tapi, mungkin hari itu Dwitasari sengaja atau kehabisan ide untuk caper (cari perhatian) pada pembacanya, entahlah, dan rilislah sebuah musikalisasi puisi yang berjudul “Suatu Malam Ketika Aku Merindmu” milik Khrisna Pabichara. 

Daeng, panggilan akrab Khrisna Pabichara, sebenarnya tidak terlalu keberatan atas tindakan Dwitasari. Tapi ketika Daeng mencoba mengklarifikasinya pada Dwitasari, malah ia yang dituduh balik plagiat. Oleh siapa? Penggemar Garis-Keras Dwitasari, tentunya. 

Di situ saya merasa sedih. Saya kenal Daeng. Saya tahu bagaimana ia mentahbiskan dirinya menjadi penulis dengan berhenti menjadi seorang akuntan yang mungkin memiliki gaji sangat lumayan setiap bulan. Lalu Daeng merantau ke Bogor untuk kemudian mendalami dunia kepenulisan. Pilihannya pun sedikit menantang: menjadi penyair! Bukan novelis atau prosais.

Jika pekerjaan menulis bagai sebuah perjalanan yang tak berujung, maka menjadi penyair, jalan itu adalah jalan yang amat gelap. Saya ingat ketika Daeng pernah mengucapkan ini di perayaan malam puisi, “menulis puisi adalah pekerjaan berdamai dengan kenangan. Rawatlah masalalu, kelak ia yang akan menafkahimu.”

Hati saya mendadak basah mendengar itu. Tuhan terlalu cepat mungkin mempertemukan saya pada Daeng Khrisna, seorang yang begitu agung membuat puisi menjadi barang suci. 

Tapi di luar sana, Dwitasari mengotorinya seperti orang yang lupa menyiram air seninya di toilet umum. Membuat dunia kepenulisan menjadi bau. Itu bahaya! Bahaya karena Dwitasari adalah seorang publik figur yang memungkinkan orang-orang yang berdiri satu shaf di belakangnya mengikuti.

Lama dan lama sekali saya menanam ide di kepala. Ingin seperti apa eBook tahun ini. Hingga pada suatu pagi di stasiun Tanah Abang, saya coba menawarkan ide yang kesekian pada Alvi: bagaimana kalau membuat kumpulan cerpen saja? Bukan sekedar kumpulan, tapi cerpen itu mesti dibuat berdasarkan puisi yang sudah ada?

Alvi diam dan saya mencari tiang untuk senderan. Ya, begitu jawabnya. Lalu puisi siapa yang akan saya adaptasi untuk dijadikan cerpen? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun