Pernah merasa jantungmu berdebar kencang hanya karena satu pesan masuk dari seseorang yang kamu suka? Atau mendadak kehilangan semangat hidup saat hubungan berakhir? Ternyata, fenomena itu bukan sekadar "baper". Secara ilmiah, cinta romantis memang bisa bekerja lebih adiktif daripada narkoba.
Ya, cinta bukan cuma soal perasaan, tapi juga reaksi kimia yang sangat kompleks di dalam otak. Saat kita jatuh cinta, tubuh memproduksi dopamin, neurotransmitter yang sama aktifnya ketika seseorang mengonsumsi kokain. Dopamin inilah yang membuat kita merasa euforia, penuh gairah, dan tak bisa berhenti memikirkan satu orang. Dalam bahasa otak, cinta adalah reward atau hadiah yang membuat kita terus ingin "mengulang sensasi itu lagi dan lagi."
Penelitian neuroimaging menemukan bahwa area otak yang menyala ketika seseorang jatuh cinta sama persis dengan area yang aktif pada pecandu narkoba saat menggunakan zat adiktif. Maka tak heran, ketika hubungan berakhir, banyak orang mengalami craving (kerinduan yang menyakitkan) dan withdrawal (gejala putus cinta seperti insomnia, cemas, atau kehilangan motivasi), mirip dengan gejala putus obat.
Namun, cinta tidak sesederhana zat yang memabukkan. Ia memiliki sisi paradoks: cinta bisa membuat manusia hancur, tapi juga membuat kita bertumbuh.
Cinta yang Sehat vs. Cinta yang Adiktif
Dari sudut pandang psikologi, cinta yang sehat dan cinta yang adiktif bisa tampak mirip di permukaan yang sama-sama intens, sama-sama penuh emosi. Bedanya terletak pada keseimbangan dan kendali diri.
Cinta yang sehat memberi ruang bagi dua individu untuk bertumbuh. Ada kepercayaan, komunikasi, dan batas yang jelas. Sebaliknya, cinta adiktif adalah ketergantungan emosional obsesif, di mana seseorang tidak bisa hidup tanpa pasangan, terus-menerus membutuhkan validasi, dan menolak kemungkinan kehilangan.
Cinta adiktif sering kali lahir dari trauma masa lalu, harga diri rendah, atau pola asuh yang tidak aman, sehingga hubungan dijadikan satu-satunya sumber kebahagiaan. Sama seperti pecandu yang mencari obat untuk menghilangkan rasa sakit, orang dengan cinta adiktif mencari pasangan untuk menutup luka batin.
Dan ketika hubungan itu berakhir, rasa sakitnya pun serupa dengan gejala withdrawal zat seperti gelisah, kehilangan semangat, bahkan depresi.
Adiksi yang Diciptakan untuk Bertahan Hidup