Namun, di balik sisi kelam itu, cinta sebenarnya adalah "adiksi alami" yang diciptakan oleh alam untuk memastikan manusia bertahan hidup. Evolusi membuat otak kita merasakan cinta sebagai sesuatu yang menyenangkan agar kita terdorong untuk membangun hubungan, melahirkan, dan melindungi keturunan.
Perbedaannya, cinta tidak menghancurkan sistem regulasi emosi seperti narkoba. Justru sebaliknya --- ketika sehat, cinta membantu membentuk empati, ikatan sosial, dan rasa aman. Karena itu, cinta sering disebut sebagai zat adiktif paling mulia: memabukkan, tapi juga menyembuhkan.
Mengelola Cinta agar Tidak Menguasai
Kita tidak bisa berhenti jatuh cinta dan seharusnya tidak perlu. Yang penting adalah belajar membedakan antara cinta yang menumbuhkan dan cinta yang mengikat.
Beberapa tanda cinta yang sehat antara lain tetap punya identitas dan tujuan hidup sendiri, bisa jujur tanpa takut ditinggalkan, merasa tenang dan bukan cemas, serta mencintai bukan mengendalikan. Cinta adiktif akan terus menuntut "lebih" dan membuatmu kehilangan kendali. Cinta sejati membuatmu berani memberi tanpa kehilangan diri.
Cinta memang bisa membuatmu ketagihan tapi tidak seperti narkoba, ia juga bisa jadi jalan menuju kesembuhan. Karena pada akhirnya, cinta adalah bukti bahwa otak manusia diciptakan bukan untuk kesendirian, melainkan untuk koneksi yang membuat hidup terasa berarti.
Referensi:
- Fisher et al., "Romantic Love: A Mammalian Brain System for Mate Choice," Philosophical Transactions of the Royal Society B (2016).
- Addiction Center, "Love Addiction: Behavioral Addictions."
- Frontiers in Psychology, "The Brain in Love: Neuroimaging Evidence."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI