Dalam negara demokrasi, jabatan publik semestinya dipandang sebagai amanah sementara, bukan profesi seumur hidup. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih untuk menjalankan mandat rakyat selama lima tahun, bukan untuk menjamin kesejahteraan pribadi setelah masa jabatan berakhir. Namun hingga kini, aturan dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 masih memberikan hak uang pensiun seumur hidup kepada setiap mantan anggota DPR, bahkan jika mereka hanya menjabat satu periode.
Secara hukum, dasar kebijakan ini tampak sah karena pensiun dianggap bentuk penghargaan atas pengabdian di lembaga tinggi negara dan jaminan independensi selama menjabat. Tetapi secara moral dan keadilan sosial, sistem ini kini terasa tidak relevan dan tidak adil. Dalam konteks ekonomi dan sosial Indonesia saat ini, pemberian pensiun seumur hidup bagi anggota DPR perlu ditinjau ulang secara serius.
1. Jabatan Politik Bukan Profesi Permanen
Berbeda dengan ASN, guru, tenaga medis, atau aparat negara lain yang bekerja puluhan tahun dalam sistem karier yang berkelanjutan, anggota DPR adalah jabatan politik yang bersifat sementara dan berbasis mandat rakyat. Mereka bukan karyawan tetap negara, melainkan pejabat publik yang menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas selama periode tugasnya.
Di banyak negara demokrasi maju, seperti Inggris, Jerman, dan Australia, anggota parlemen hanya mendapatkan tunjangan pasca-jabatan yang bersifat sementara atau berdasarkan kontribusi pribadi terhadap sistem pensiun nasional. Misalnya, di Inggris, anggota parlemen ikut dalam skema pensiun reguler yang iurannya dipotong dari gaji. Ketika masa jabatan selesai, mereka hanya menerima manfaat sesuai lamanya kontribusi, bukan pensiun seumur hidup dari negara tanpa syarat.
Model semacam ini mencerminkan prinsip keadilan dimana siapa yang bekerja lebih lama dan berkontribusi lebih besar, menerima manfaat lebih. Bukan sekadar karena pernah duduk di kursi kekuasaan selama lima tahun.
2. Ketimpangan Moral dan Sosial di Tengah Ketidaksetaraan
Ironi besar muncul ketika kita melihat konteks sosial ekonomi Indonesia. Banyak pekerja publik, termasuk tenaga honorer, bidan desa, hingga guru non-PNS, tidak memiliki jaminan pensiun sama sekali. Bahkan sebagian dari mereka tetap bekerja hingga usia senja demi menafkahi keluarga.
Sementara itu, anggota DPR yang sudah menerima gaji puluhan juta rupiah, tunjangan rumah, transportasi, staf ahli, dan perjalanan dinas, masih mendapatkan uang pensiun seumur hidup meski hanya bekerja lima tahun. Kebijakan ini terasa seperti menambah kenyamanan bagi yang sudah sejahtera, bukan melindungi yang rentan.
Empati publik terkikis ketika melihat ketimpangan ini. Bukannya menumbuhkan kepercayaan terhadap lembaga legislatif, kebijakan ini justru memperdalam jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.