Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Raja Ampat Terancam, Kontroversi Kembalinya Izin Tambang PT Gag Nikel

13 September 2025   08:48 Diperbarui: 13 September 2025   08:48 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: detik.net.id

Di ujung timur Indonesia, terdapat gugusan pulau yang disebut banyak orang sebagai "surga terakhir di bumi" yakni Raja Ampat. Di balik keindahan lautnya yang menakjubkan, kini bergema polemik yang menguji komitmen negara terhadap lingkungan, hak masyarakat adat, dan keberlanjutan generasi mendatang.

PT Gag Nikel sudah sejak lama membidik Raja Ampat sebagai lokasi eksplorasi dan penambangan nikel. Namun sejak rencana itu muncul, masyarakat adat dan komunitas lokal tegas menolak. Mereka paham betul bahwa kelestarian laut bukan hanya persoalan ekologi, melainkan juga napas kehidupan seperti sumber pangan, identitas budaya, dan masa depan generasi.

Penolakan ini berkembang menjadi gerakan luas. Dari kampung-kampung pesisir hingga ruang publik nasional, suara masyarakat bersatu lewat kampanye #SaveRajaAmpat. Lebih dari 60.000 orang menandatangani petisi menolak tambang, sebuah sinyal kuat bahwa isu ini bukan sekadar lokal, melainkan kepentingan dunia.

Namun, di tengah penolakan yang masif, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) justru memutuskan memberi izin operasi kembali kepada PT Gag Nikel. Keputusan ini tak hanya mengejutkan, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap aspirasi masyarakat dan ancaman nyata bagi kelestarian lingkungan.

Raja Ampat adalah rumah bagi sekitar 75% spesies terumbu karang dunia. Keberadaannya bukan hanya milik Indonesia, tetapi aset global yang harus dijaga. Dengan izin tambang ini, yang terancam bukan hanya keindahan bawah laut, melainkan rantai kehidupan yang menopang masyarakat setempat.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menilai keputusan pemerintah mencerminkan keserakahan yang mengorbankan hak asasi manusia dan lingkungan demi keuntungan jangka pendek. Lebih jauh, Greenpeace menegaskan bahwa izin ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang semestinya melindungi kawasan seperti Raja Ampat dari ancaman tambang.

"Tidak ada keuntungan hasil tambang nikel yang sepadan dengan kerusakan ekosistem Raja Ampat," tegas Arie. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan peringatan bahwa sekali ekosistem ini rusak, tak ada jalan untuk mengembalikannya.

Greenpeace bersama komunitas lokal terus menggerakkan kampanye #SaveRajaAmpat. Mereka mendesak pemerintah mencabut izin PT Gag Nikel serta menghentikan seluruh rencana penambangan dan pembangunan smelter, baik di Sorong maupun Raja Ampat.

Gerakan ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap tambang bukan hanya urusan aktivis, melainkan gelombang kesadaran kolektif untuk menjaga warisan dunia.

Kasus Raja Ampat menggambarkan benturan keras antara dua paradigm yaitu eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan ekonomi jangka pendek versus pelestarian lingkungan dan hak masyarakat adat demi keberlanjutan jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun