Suara letupan kecil terdengar, diikuti kepulan asap putih yang perlahan menyebar di udara. Sekilas, pemandangan itu terlihat seperti kembang api yang gagal menyala, namun hanya butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa situasinya sama sekali tidak indah. Orang-orang yang semula berteriak penuh semangat dalam unjuk rasa mulai panik. Ada yang berlari sambil menutup mata, ada yang tersungkur karena batuk tak terkendali, ada pula yang menangis tanpa bisa mengendalikan tubuhnya. Itulah wajah nyata gas air mata di lapangan, sebuah senjata yang diklaim "tidak mematikan," tetapi mampu menimbulkan kepanikan massal dalam hitungan detik.
Bagi banyak orang, gas air mata hanyalah kata yang sering kita dengar di berita. Namun, bagi mereka yang pernah mengalaminya langsung, kepulan asap ini menghadirkan pengalaman traumatis yang sulit dilupakan. Sensasi terbakar di mata, rasa sesak yang membuat dada seolah diremas, serta kepanikan karena tak tahu ke mana harus lari, semuanya berpadu dalam satu momen yang menguji daya tahan tubuh dan mental.
Senyawa Kimia di Balik Asap
Meski disebut gas, zat ini sejatinya bukan gas murni. Gas air mata adalah aerosol yakni cairan atau bubuk kimia yang diubah menjadi partikel halus dan disemprotkan ke udara. Senyawa yang paling umum digunakan antara lain CS (chlorobenzylidenemalononitrile) dan CN (chloroacetophenone). Ada pula variasi lain seperti semprotan merica atau OC (oleoresin capsicum).
Begitu masuk ke tubuh, zat ini bekerja dengan cara yang sederhana tapi brutal: merangsang saraf di mata, hidung, mulut, dan saluran pernapasan sehingga tubuh bereaksi seolah-olah terbakar. Hasilnya adalah mata berair deras, kulit terasa panas, hidung berair, tenggorokan tersedak, hingga sesak napas.
Efeknya muncul cepat, biasanya 20--60 detik setelah paparan, dan bisa bertahan hingga satu jam. Dalam kasus ringan, gejala bisa mereda dengan cepat begitu menjauh dari sumber asap. Namun, pada paparan berat atau di ruang tertutup, dampaknya bisa fatal: kerusakan mata permanen, serangan asma, hingga kematian.
Antara Pengendalian dan Kekerasan
Di banyak negara, gas air mata digunakan sebagai salah satu senjata utama aparat untuk mengendalikan kerumunan. Logikanya sederhana, asap ini membuat orang tidak nyaman sehingga mereka mundur. Namun, praktik di lapangan sering kali tidak sesederhana itu. Ada situasi di mana gas air mata ditembakkan tanpa indikator jelas, atau bahkan diarahkan ke area padat dan tertutup yang justru memperbesar risiko korban.
Kita masih ingat sejumlah tragedi di dunia, di mana gas air mata bukan hanya membubarkan massa, tetapi juga memicu kepanikan massal. Orang-orang saling dorong, terjebak dalam ruang sempit, hingga berujung pada kehilangan nyawa. Semua itu mengingatkan kita bahwa meski disebut "non-lethal weapon" atau senjata tak mematikan, gas air mata tetap memiliki potensi bahaya yang nyata.
Apa yang Bisa Dilakukan Jika Terkena Gas Air Mata?