Dalam kurun Januari hingga Agustus 2025, campak kembali menunjukkan wajah mematikannya. Sebanyak 12 anak meninggal dan 1.944 kasus tercatat di Kabupaten Sumenep. Angka ini melonjak tajam dibanding tahun sebelumnya yang hanya 319 kasus, hingga pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
Lonjakan ini bukan sekadar angka statistik. Ia adalah cermin rapuhnya sistem perlindungan kesehatan anak ketika imunisasi terhambat oleh ketakutan, hoaks, dan minimnya edukasi.
Campak yang Diremehkan, Nyawa yang Hilang
Di ruang perawatan Puskesmas Guluk-Guluk, Ahmad Mufidan (7 tahun) dan Moh Syaiful Bahri (3 tahun) terbaring lemah. Keduanya menderita demam tinggi, batuk, dan ruam merah khas campak. Fakta yang menyedihkan: mereka belum pernah divaksin.
Kasus seperti ini banyak ditemukan di Sumenep. Bagi sebagian orang tua, vaksin dianggap menakutkan, bahkan ada yang percaya pada isu "vaksin haram". Ditambah lagi, pandemi Covid-19 membuat ribuan anak kehilangan kesempatan imunisasi. Ketika virus campak kembali merebak, mereka menjadi kelompok paling rentan.
Padahal, campak bukanlah penyakit ringan. Virus ini bisa berujung pada komplikasi serius: pneumonia, radang otak, hingga kematian. Namun anggapan keliru bahwa campak hanyalah penyakit biasa yang akan sembuh dengan sendirinya, masih mengakar di sebagian masyarakat.
Mengapa Kasus Meledak?
Wabah campak di Sumenep adalah hasil dari kombinasi faktor budaya, sosial, agama, dan informasi palsu.
Pertama, hoaks tentang vaksin haram menjadi pemicu utama. Di media sosial, narasi menyesatkan ini menyebar lebih cepat daripada edukasi medis. Bagi banyak keluarga, suara di dunia maya lebih dipercaya dibanding penjelasan tenaga kesehatan.
Kedua, tertundanya imunisasi rutin selama pandemi Covid-19 membuat ribuan anak tidak mendapatkan vaksinasi tepat waktu. Herd immunity melemah, dan begitu ada celah, virus campak langsung merebak luas.